OASIS Schoolyards: Ketika Perubahan Iklim Diajarkan Lewat Taman Sekolah

null

Pameran praktik program OASIS Schoolyards SDN 01 Gebangsari Semarang dengan berbagai macam proyek cinta lingkungan. (Foto: Milk Life)

Mendorong budaya peduli lingkungan sejak dini, PT Global Dairi Alami (MilkLife) menggandeng Resilient Cities Network (R-Cities) dan Pemerintah Kota Semarang dalam program OASIS Schoolyards Semarang. Program ini dirancang sebagai solusi inovatif untuk mengintegrasikan pendidikan perubahan iklim dan ruang terbuka hijau di lingkungan sekolah.

Inisiatif ini mendampingi lima sekolah dasar dan madrasah—MI Darul Ulum, MI Mirfa’ul Ulum, SDN Gebangsari 01, SDN Kaligawe, dan SD Marsudirini Gedangan—melalui pelatihan guru, pengembangan kurikulum, dan perancangan halaman sekolah berbasis solusi alam. Siswa dan orang tua pun dilibatkan aktif dalam prosesnya.

Diluncurkan pada September 2024, OASIS Schoolyards Semarang menjadi tonggak penting dalam menjadikan ruang terbuka sebagai area multifungsi—tempat bermain, belajar, dan membangun ketangguhan terhadap perubahan iklim.

“Program OASIS Schoolyards membuktikan bahwa tindakan kecil dapat berdampak besar ketika menjadi budaya bersama,” ujar Vanessa Ingrid Pamela, Group Brand Head MilkLife.

Namun ia menegaskan, “Tantangan perubahan iklim masih sangat luas dan kompleks, membutuhkan keterlibatan lebih banyak pihak dan solusi kreatif baru.”

Ia pun berharap program ini bisa menjadi pemicu kolaborasi lebih besar. “Kami berharap praktik dari program ini bisa menjadi salah satu katalis yang menginspirasi lebih banyak pihak, termasuk sektor swasta, untuk turut berkontribusi,” katanya dalam siaran pers yang diterima SWA.co.id, Kamis (12/6).

Dari sisi pendidikan, Ananto Kusuma Seta, Koordinator Nasional Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan, Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, menilai program ini berhasil menerjemahkan prinsip pendidikan perubahan iklim—yang selaras dengan kebijakan nasional dan kerangka internasional—ke dalam praktik nyata di sekolah-sekolah Indonesia.

“UNESCO menyoroti bahwa krisis terbesar dunia adalah perubahan iklim, bukan perang, sehingga pendidikan perubahan iklim adalah prioritas utama,” tegas Ananto. Ia juga mengingatkan bahwa “Saat ini 73% sekolah di Indonesia berada di area rawan banjir.”

Bagi Ananto, sekolah adalah laboratorium hidup. “Melalui program OASIS Schoolyards ini, sekolah yang merupakan ‘rumah kedua’ untuk anak, juga menjadi laboratorium hidup untuk kehidupan yang berkelanjutan, dari sekolah ke masyarakat. Semarang sudah ‘membeli’ masa depan dengan harga sekarang,” ujarnya.

Pemerintah Kota Semarang menyambut baik kolaborasi lintas sektor ini. PLH Wali Kota Semarang yang diwakili oleh Kepala Bappeda Kota Semarang, Budi Prakosa, menyampaikan bahwa inisiatif ini sangat strategis.

“Di satu sisi pendidikan ditujukan untuk anak-anak usia sekolah sejak dini, di sisi yang lain dapat menginspirasi masyarakat sekitarnya agar lebih peduli lingkungan dan melakukan aksi-aksi ketahanan iklim di Kota Semarang,” tuturnya.

Budi menambahkan, “Kami melihat program percontohan ini sebagai pondasi awal yang kuat. Harapannya, perubahan yang sudah tercipta bisa berkelanjutan dan diperluas, tidak hanya di Semarang tetapi juga di kota-kota lain.”

Sementara itu, Nini Purwajati, Kepala Hubungan Kemitraan Regional Asia-Pasifik R-Cities, menekankan pentingnya membangun ketangguhan iklim dari komunitas lokal sebagai pusat inovasi. Ia mencatat bahwa salah satu kekuatan OASIS Schoolyards adalah kemampuannya menyatukan praktik global dari Paris dengan kekuatan lokal Indonesia, termasuk integrasi dengan program sekolah Adiwiyata.

Pencapaian program ini dipamerkan dalam acara Penutupan & Showcase OASIS Schoolyards Semarang di Balai Kota Semarang, Kamis (12/6), yang dihadiri sekitar 96 pendidik SD/MI, perwakilan perangkat daerah, dan pegiat filantropi.

Ada tiga pencapaian utama yang dihasilkan dari program ini. Pertama, peningkatan kapasitas guru: 82% guru melaporkan peningkatan signifikan dalam metode pengajaran perubahan iklim, dan 59% merasa jauh lebih percaya diri dalam mengedukasi komunitas.

Kedua, integrasi pendidikan ketangguhan terhadap perubahan iklim: sebanyak 29 modul ajar dikembangkan dan diterapkan, disertai dengan SOP pengelolaan sampah, air, energi, tanaman, dan sanitasi.

Ketiga, transformasi halaman sekolah: lima ruang terbuka multifungsi berhasil dirancang bersama siswa dan orang tua dengan prinsip desain berbasis solusi alam. Hasilnya, interaksi sosial meningkat, budaya peduli lingkungan tumbuh, dan praktik ketangguhan iklim mulai tertanam dalam keseharian. (*)