The Freelancer's Architect: Bagaimana Ryan Bangun Sribu.com Jadi Rumah Bagi 1,3 Juta Freelancer

Sebagai mahasiswa jurusan Teknik Elektro di Purdue University pada awal 2000-an, Ryan Gondokusumo tidak hanya belajar soal rangkaian listrik dan sistem digital, tapi juga menyerap napas ekosistem teknologi Amerika yang sedang bergolak.
Di sela kunjungan ke Silicon Valley dan kota-kota industri seperti Chicago, ia mendapati betapa rapi dan efisiennya cara kerja perusahaan rintisan digital. Salah satu perusahaan di Chicago, khususnya, meninggalkan kesan mendalam: hanya lima belas karyawan, namun melayani seratus ribu klien.
“Kalau kita mau scaling bisnis tanpa scaling tim, kita harus punya platform,” katanya dalam acara BizzComm Podcast, mengenang apa yang dilihatnya. Sebuah pelajaran yang disimpan lama, dan akhirnya ditanamkan ke dalam fondasi startup yang dibangunnya: Sribu.com. Tapi itu perlu waktu.
Sribu dan Awal yang Belum Siap
Tahun-tahun berikutnya, Ryan kembali ke Indonesia di tengah krisis subprime mortgage yang melanda Amerika pada 2007. Ia sempat bekerja di sejumlah perusahaan, dari Telkom Sigma hingga Bayu Buana.
Namun benih yang ditanam sejak Chicago terus mendesak untuk tumbuh. Pada Juni 2011, ia memberanikan diri memulai Sribu — sebuah platform digital yang kelak menghubungkan jutaan freelancer dengan puluhan ribu klien. “Cuma buat produk, gak ngerti apa-apa,” ujarnya.
Saat itu, Sribu belum berbadan hukum, belum memiliki tim, dan belum tahu ke mana akan melangkah. Baru pada Februari 2012, ia mendirikan perusahaan secara resmi, tepat saat ekosistem startup lokal masih dalam tahap meraba-raba arah.
Titik tolaknya bukanlah proposal bisnis atau investor pitch, melainkan kebingungan mendesain kalender kantor. Tiga bos, tiga selera, dan nol titik temu.
Ryan, yang kala itu bekerja di Bayu Buana, memutuskan untuk melewati jalur konvensional. Ia membuat kontes desain di Kaskus, forum digital terbesar Indonesia saat itu, dan menawarkan satu unit Blackberry sebagai hadiah. Dalam tujuh hari, 364 desain masuk. Angka yang cukup untuk menutupi seluruh lantai kantor.
Dari situ, ia belajar tentang kekuatan crowdsourcing, satu konsep yang belum punya nama jelas dalam kosa kata bisnis lokal saat itu. Sribu pun dimulai dari sana: kontes desain dengan sistem seleksi terbuka, di mana klien memilih pemenang dan platform mengambil komisi.
“Klien bisa pilih paket, lalu pilih pemenang dari desain yang masuk,” katanya. Model ini kemudian bermetamorfosis menjadi pasar dua sisi, tempat bertemunya para pencari jasa dan pemberi kerja dalam suasana yang lebih tertata.
Waktu berjalan dan Sribu menjelma menjadi ekosistem. Kini, ada tujuh kategori layanan: dari desain kemasan, voice over, hingga produksi audio-visual. Klien tinggal mengetikkan kata kunci dan memilih dari barisan portofolio yang dikurasi. “Fitur search kita salah satu yang paling canggih,” ujarnya.
Tapi mungkin lebih penting dari semua fitur itu adalah kenyataan bahwa Sribu kini menjadi rumah digital bagi 1,3 juta freelancer, dan telah menyambungkan mereka ke lebih dari 50 ribu klien.
Meski angka-angka saat ini mengesankan — 1,3 juta freelancer, 50 ribu klien — jalan yang dilalui tidak selalu datar. Sribu, seperti banyak startup lain yang lahir lebih dini dari kesiapan pasar, pernah merasa berjalan sendirian.
Ryan mengingat bagaimana di tahun-tahun pertama, ia harus bertemu langsung dengan klien, mengetikkan sendiri brief mereka, dan menerima pembayaran tunai. “Itu bener-bener kita meeting. Aku yang ngetikin buat mereka kayak asisten,” kenangnya. Bahkan ketika sudah ada sistem digital, sebagian klien tetap memilih menyerahkan uang dalam bentuk tunai.
Sribu tumbuh lebih cepat daripada pemahaman Ryan soal membangun tim. Ia mengaku menjadi solo founder bukan hanya kesepian, tapi juga rawan kesalahan. “Kesalahan itu terjadi karena ketidaktahuan, ego, dan gak ada yang nge-challenge,” ujarnya. Tanpa rekan untuk berdiskusi atau berbagi tekanan, setiap keputusan terasa seperti taruhan, dan banyak di antaranya berujung pada jalan buntu.
Zombie Period: Bertahan Tanpa Napas
Satu titik balik terjadi ketika ia menerima pendanaan dari East Ventures, sekitar delapan bulan sejak peluncuran. Tanpa pengalaman mengelola dana investor, Ryan membelanjakannya untuk merekrut orang sebanyak-banyaknya.
Sayangnya, proses rekrutmen dilakukan tanpa KPI yang jelas atau masa percobaan yang ketat. “Orang yang aku anggap itu second person, ternyata malah toxic,” ujarnya. Dalam satu tahun, 15 dari 20 orang harus diberhentikan, menyisakan trauma, moral yang runtuh, dan kas yang hampir habis.
Namun yang paling membekas bukan hanya kehilangan uang, melainkan hilangnya kepercayaan pada arah yang ia bangun. Ryan menyebut fase ini sebagai zombie period: waktu di mana perusahaan tidak tumbang, tapi juga tak bisa hidup penuh. “Kita gak mulai dari nol, kita mulai dari minus,” katanya.
Selama dua tahun, Sribu hidup dari bulan ke bulan. Satu waktu bisa mencetak untung, bulan berikutnya langsung habis untuk bayar THR.
Seperti banyak kisah pengusaha yang terpaksa matang lebih cepat, Ryan tak punya pilihan selain bertahan. Ia mulai menyederhanakan operasional, mengejar profitabilitas kecil-kecilan, dan menolak tekanan untuk membakar uang hanya demi ekspansi cepat. “Saya mau mainnya ke arah profitability,” ujarnya.
Saat startup lain mengandalkan narasi besar untuk menarik investor, Sribu justru pelan-pelan memperbaiki model bisnis dan menambal kebocoran yang selama ini tersembunyi.
Mengangkat Derajat Freelancer Lokal
Transformasi besar dimulai ketika Sribu bergeser dari sekadar penyelenggara kontes desain menjadi marketplace kreatif penuh. Di balik itu, ada kebutuhan untuk mengurangi ketergantungan pada model bisnis musiman dan memperluas kategori layanan.
Dari hanya desain grafis, kini Sribu mencakup voice over, pemasaran digital, bahkan produksi video. “Kami mulai nambahin kategori dari desain, marketing, voice, video, audio,” ujar Ryan. Evolusi ini bukan hanya soal bertumbuh, tapi soal bertahan dalam industri yang menuntut ketepatan pasar dan kecepatan eksekusi.
Namun, semakin terbuka pasar, semakin kompleks pula tantangan. Klien yang kecewa pada freelancer tidak hanya menyalahkan pekerja lepas, tetapi langsung menunjuk Sribu. “Kalau klien dapat freelancer yang nggak oke, dia komplainnya bukan ke freelancer. Komplainnya tuh Sribu,” katanya.
Maka, pengawasan menjadi keharusan. Sribu menerapkan sistem escrow — klien membayar di awal, dana disimpan oleh platform, dan hanya ditransfer setelah proyek selesai. Jika ada sengketa, Sribu menjadi mediator, bukan penonton.
Tantangan lain muncul dari sisi supply: bagaimana memastikan para freelancer — yang berasal dari berbagai latar belakang dan kota — mampu berkomunikasi dengan baik, terlebih saat melayani klien luar negeri.
Ryan melihat celah ini sebagai peluang untuk membina, bukan sekadar menyaring. “Kalau freelancer kita mau bisa handle klien luar negeri, pertama itu dia harus bisa bahasa Inggris,” ujarnya. Bahasa, komunikasi, dan cara presentasi menjadi bagian dari kurikulum tak resmi yang perlahan dibentuk oleh platform.
Upaya itu diformalkan melalui peluncuran Sribu Academy: sebuah program pelatihan dan sertifikasi bagi freelancer yang ingin naik kelas. Di dalamnya, mereka akan belajar tentang penulisan profil, penyusunan portofolio, hingga teknik client handling.
“Kami mau naikin derajat mereka. Supaya mereka itu nggak cuma dari pekerjaan yang mereka dapat, tapi secara skill pun diakui,” kata Ryan. Misinya sederhana tapi radikal: menjadikan pekerja lepas Indonesia bukan hanya kompetitif, tapi juga kredibel di mata dunia.
Kini, di tahun ke-13 Sribu, Ryan tidak lagi mencari kemenangan cepat. Ia memilih stabilitas daripada ledakan, profitabilitas daripada headline, pembelajaran daripada glamor. Ia tak ragu mengatakan bahwa entrepreneur bukan jalan semua orang. “Entrepreneurship memang nggak untuk semua orang,” ujarnya, dengan tanpa maksud meremehkan.
Tapi bagi mereka yang cukup sabar untuk belajar dari kegagalan, cukup keras kepala untuk bertahan saat sunyi, dan cukup jujur untuk mengenali keterbatasan diri — jalan sukses itu mungkin akan menemukan jalannya sendiri. (*)