null — Yufardis, Direktur PT Quantum Tosan Internasional (kiri) bersama BunLi, *Head of* R&D dan *Matress Division* PT Quantum Tosan Internasional. (Foto: Agung Sudrajat)

Studio SWA, 6 Juni 2025. Siang itu langit Jakarta cerah ketika Yufardis, Direktur PT Quantum Tosan Internasional, membuka pembicaraan dalam acara podcast "Dari Redaksi SWA" dengan nada rendah tapi teguh: “Yang lebih berbahaya ini global brand yang tidak terlihat.”

Kalimat itu menggantung sejenak di udara, cukup untuk memberi kita gambaran tentang dunia bisnis springbed yang jarang terdengar hiruk-pikuknya, namun ternyata riuh oleh kompetisi yang tak kasat mata.

Bayang-Bayang Kompetitor Gelap

Lelaki kelahiran Jakarta ini tak sedang berbicara tentang pasar bebas yang sehat, melainkan tentang produk-produk impor ilegal yang membanjiri pasar, menekan harga, dan menggoyang posisi brand lokal yang bekerja sesuai aturan.

Di dunia yang sebagian besar orang anggap hanya selembar busa dan pegas tersembunyi, Yufardis melihat lebih dari sekadar tempat tidur. Ia melihat medan persaingan, strategi bertahan, dan identitas lokal yang dipertaruhkan. “Barang-barang itu muncul tiba-tiba di pasar. Tidak ada pabrik yang bisa dilacak. Kita telusuri, yang ada cuma alamat kantor,” ungkapnya.

Sebagai pemain yang telah membangun reputasi sejak 1999 — atau bahkan sejak 1989 jika menghitung masa-masa sebelum legalisasi — ia paham bahwa sebuah merek tak hanya dibangun dari produk, melainkan dari kredibilitas dan ketekunan menjaga kualitas.

Quantum, nama yang sejak awal dirancang untuk menyasar kelas menengah ke atas, berdiri di tengah lanskap industri yang penuh paradoks: di satu sisi, masyarakat semakin sadar akan kualitas tidur dan kesehatan; di sisi lain, iming-iming harga murah kerap menumpulkan sensitivitas akan kualitas.

Di tengah itulah Quantum berdiri — dengan pilihan sadar untuk tidak sekadar menjadi produk, tapi menjadi pengalaman. “Kalau kita sudah memenuhi kebutuhan konsumen, otomatis mereka akan loyal kepada kita,” ujar Yufardis (yang akrab disapa Yus), lebih sebagai prinsip hidup daripada sekadar strategi bisnis.

Namun, loyalitas konsumen bukanlah warisan yang datang begitu saja. Di ruang yang makin didikte oleh klik-klik cepat dan komentar netizen yang menggema dalam hitungan detik, BunLi — Head of R&D dan Matress Division — menjadi garda depan perusahaan dalam merespons perubahan. Ia menyebutnya sebagai pergeseran besar dalam perilaku belanja.

“Dulu orang ke toko, sekarang klik-klik langsung sampai di rumah,” ujarnya. Dalam perubahan itu, mereka tak sekadar menyesuaikan jalur distribusi, tetapi juga menanamkan narasi kesehatan dan transparansi sebagai nilai jual utama.

Konsumen hari ini, kata BunLi, bukan lagi pembeli pasif. Mereka menuntut kejelasan, bukan hanya kenyamanan. Mereka ingin tahu, busa apa yang digunakan, apakah mengandung logam berat, bagaimana proses produksinya, dan siapa yang membuatnya. “Kami bikin busa yang bebas dari kandungan logam berat. Itu kasur yang memang sehat,” jelasnya.

Inovasi di Atas Pegas

Di balik kenyamanan, ada laboratorium. Di balik empuknya kasur, ada riset yang panjang. Quantum tak ingin produknya hanya menjadi benda mati di sudut kamar, melainkan bagian dari narasi hidup yang menyehatkan dan menenangkan.

Inovasi di Quantum bukanlah kegiatan musiman yang dikelola saat pasar sepi. Ia adalah denyut harian, hampir seperti napas, yang memastikan brand ini tetap relevan dalam lanskap industri yang berubah lebih cepat dari tidur siang yang terganggu. Salah satu inovasi yang mereka banggakan adalah kasur dengan dua tingkat kelembutan dalam satu permukaan.

“Biasanya, pasangan itu beda kebutuhannya. Yang laki-laki maunya keras, yang perempuan lebih empuk. Kita ciptakan kasur yang bisa dua-duanya,” terang BunLi. Dalam satu produk, Quantum menjahit kompromi. Dan kompromi itu — menariknya — membuat tidur lebih damai.

Yang tak kalah menarik adalah upaya mereka menjadikan “topper” sebagai bagian dari percakapan publik. Di saat banyak orang masih bingung membedakan antara lapisan dan kasur, Quantum justru menjadikan topper sebagai primadona penjualan. “Kita mungkin salah satu perusahaan yang berhasil merajai penjualan topper, baik online maupun offline,” kata BunLi.

Di tangan mereka, barang yang semula dianggap pelengkap kini menjadi penentu, pengubah kenyamanan tidur, dan bukti bahwa edukasi konsumen bukan hanya mungkin, tapi penting.

Lalu ada “kasur dingin”, seolah menyentuh ambisi yang lebih futuristik dari sekadar tempat tidur. Quantum berkolaborasi dengan perusahaan asal Belgia untuk menciptakan lapisan kain yang ketika disentuh langsung memberi sensasi dingin. “Gak usah pakai AC,” ujar mereka dalam nada separuh bercanda, separuh serius.

Produk ini — dengan brand Quantum Dreambox — tak hanya menawarkan kenyamanan termal, tapi juga menyiratkan betapa dalamnya pemahaman mereka terhadap cuaca tropis Indonesia dan keinginan masyarakat akan solusi praktis yang tak membebani listrik.

Namun, di balik semua produk dan inovasi itu, Yufardis menekankan satu hal: pengalaman tidur adalah ujian kepercayaan. Ia berkisah tentang seorang pemilik hotel di Padang yang, sebelum memilih kasur untuk hotel barunya, memutuskan untuk “menginap riset” selama empat malam di empat hotel berbeda.

Hasilnya, ia memilih Quantum. Bukan karena iklan, bukan karena promosi, tapi karena tubuhnya bicara. “Kasur itu dirasakan,” ujar Yufardis. Dalam dunia di mana segalanya bisa dimanipulasi oleh citra, tidur tetaplah jujur.

Dan mungkin itu pula yang menjelaskan mengapa Quantum percaya pada kekuatan pengalaman sebagai alat marketing terbaik mereka. Mereka tahu bahwa sekali seseorang tidur di kasur Quantum dan bangun dengan punggung yang tidak nyeri, pikiran yang jernih, dan hati yang entah mengapa terasa lebih ringan, maka itu akan menjadi cerita yang dibawa pulang.

“Itu pasti dibuka,” kata Yufardis tentang pelanggan hotel yang penasaran dengan merek kasur tempat mereka bermalam. “Dan begitu tahu itu Quantum, mereka pulang dan beli.” Dalam dunia digital yang penuh iklan, ini semacam keajaiban analog.

Merawat Narasi, Menjawab Netizen

Quantum, sebagaimana merek lokal yang tangguh lainnya, tumbuh bukan karena dipermudah oleh keadaan, melainkan justru karena terbiasa bergulat dengan keterbatasan.

Dalam produksi, mereka mengandalkan bahan baku lokal hingga 90 persen — dari pegas hingga busa, semua diramu di dalam negeri. Hanya sekitar 10 persen komponen, seperti kain khusus, masih diimpor, utamanya dari Belgia. “Karena kualitas kainnya memang nomor satu,” kata Yufardis. Tapi selebihnya, adalah soal percaya pada kemampuan sendiri. Di tengah tren globalisasi, Quantum memilih merakit kualitas dari tanahnya sendiri.

Dan kualitas itu tak berhenti pada produk. Di era digital, di mana netizen menjadi juri yang paling vokal, Quantum tidak tinggal diam. Mereka membentuk tim media sosial yang terdiri dari 60 orang, yang bukan hanya bertugas memajang promosi, tetapi mengelola percakapan.

Dalam sesi live streaming, pertanyaan tentang nyeri punggung atau bahu menjadi titik temu antara kekhawatiran pribadi konsumen dan solusi yang bisa mereka tawarkan. “Host kita sudah dilatih menjelaskan produk sesuai kebutuhan,” ujar BunLi. Ini bukan hanya jualan, ini adalah konsultasi terbuka dalam format dua arah.

Lebih jauh lagi, edukasi dijadikan sistem. Setiap bulan, tim digital Quantum menargetkan produksi konten video yang menyelipkan proses produksi, riset di balik kasur ortopedi, dan pengenalan busa sehat dalam narasi yang mudah dicerna.

“Transparansi itu penting,” ujar BunLi. Di balik layar, mereka memperlihatkan pabrik, lapisan demi lapisan busa, hingga logika ilmiah dari sebuah kenyamanan. Mereka tidak hanya menjual barang, tapi mengajak konsumen memahami mengapa sebuah kasur layak dihargai lebih dari sekadar angka diskon.

Menembus Batas, Tetap Membumi

Tak mengherankan jika merek ini tidak hanya berjaya di pasar lokal, tetapi juga mulai menjangkau dunia. Sejak satu dekade terakhir, Quantum telah menembus pasar Eropa lewat Praha, Republik Ceko, tempat mereka bahkan memiliki showroom sendiri. Dari titik itu, produk Quantum menyebar ke Italia, Swiss, dan negara-negara sekitarnya.

“Brand-nya tetap pakai nama Quantum,” kata Yufardis, menekankan bahwa ini bukan sekadar ekspor tanpa identitas. Mereka hadir sebagai diri mereka sendiri, membawa nama Indonesia tanpa penyamaran.

Meski demikian, porsi penjualan ekspor masih sekitar 10 persen, sisanya 90 persen masih berasal dari pasar domestik. Tapi ekspansi bukan tujuan akhir. Yufardis menyebut rencana memasuki pasar Amerika pada 2027, seraya membuka kemungkinan kerja sama dengan mitra distribusi.

Tapi ia tidak terburu-buru. “Karena masuk ke sana itu urusannya bukan cuma soal jualan. Itu kualitas. Itu sertifikasi. Itu standar yang harus kita penuhi,” katanya. Dalam nadanya ada kehati-hatian, tapi juga kesiapan—seperti seseorang yang tahu bahwa langkah besar hanya bisa diambil jika fondasinya kokoh.

Tentu, di balik pencapaian internasional, Quantum tak lupa pada rumahnya sendiri. Mereka masih mencari mitra distribusi di wilayah yang belum tergarap optimal: Papua, Aceh, dan Bali. Bukan semata-mata demi memperluas angka penjualan, tetapi untuk menjawab visi yang telah mereka rumuskan sejak awal: menjadikan Quantum sebagai bagian dari setiap keluarga Indonesia.

“Kalau dulu Bill Gates bilang, satu rumah satu komputer, kami maunya satu keluarga satu Quantum,” ujar Yufardis, setengah bercanda.

Visi ini bukan fatamorgana ambisi. Dengan pabrik seluas 16 hektare di Parung dan fasilitas tambahan di Makassar, Semarang, serta Banjarmasin, kapasitas produksi Quantum nyaris tak terbatas. Bahkan, seperti diungkapkan Yufardis, mereka mampu membuat busa sepanjang 60 meter dalam satu cetakan.

“Kalau orang lain bikin seblok-seblok, kita bisa langsung panjang,” ujarnya dengan nada bangga. Di balik kesederhanaan penampilan, tersimpan infrastruktur modern yang menjadi kekuatan tersembunyi merek ini.

Namun, semua ambisi itu, menurut mereka, tak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan satu hal: kepuasan pelanggan. Di sinilah filosofi kualitas mereka bersandar. “Customer puas, mereka akan loyal kepada merek kita,” kata Yufardis. Dan loyalitas bukanlah hasil dari promosi besar-besaran, tetapi dari konsistensi kualitas yang dirasakan langsung, malam demi malam, di antara keheningan kamar tidur.

Dalam banyak hal, cerita Quantum bukanlah kisah spektakuler tentang unicorn atau disruptor digital. Ini adalah cerita tentang bisnis yang tumbuh pelan-pelan, dengan arah yang jelas, nilai yang dipegang erat, dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap pengalaman pelanggan.

Di dunia yang makin riuh oleh gebrakan cepat dan citra palsu, ada sesuatu yang menenangkan dari keteguhan seperti ini. Bahwa dalam ranjang yang diam, ada perusahaan yang tak pernah lelah bergerak.

Dan mungkin, itu pula sebabnya mengapa merek ini terasa istimewa sehingga selalu menjadi Indonesia Original Brands versi SWA. Quantum tak sedang membangun kerajaan kasur; mereka sedang membangun kepercayaan.

Dari setiap pegas yang tidak berderit, dari setiap lapisan busa yang tak mengandung logam berat, dari setiap malam tidur yang tak terusik. Dan seperti tidur yang baik, mereka tahu bahwa keberhasilan tidak perlu gaduh. Cukup terasa. (*)