null — Anjungan pengeboran minyak di lepas pantai. (Ilustrasi foto : Istimewa).

Ketegangan geopolitik meningkat tajam setelah AS meluncurkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir utama Iran, Fordow, Natanz, dan Isfahan, yang menandai eskalasi besar dalam konflik Israel-Iran. Langkah ini mendapat dukungan dari Israel, tetapi menuai kecaman keras dari sejumlah kekuatan global karena dianggap melanggar hukum internasional dan memperburuk stabilitas kawasan.

Iran merespons dengan cepat lewat serangan drone dan rudal balasan ke wilayah Israel, sekaligus menuduh Amerika Serikat (AS) dan Israel menghancurkan upaya diplomasi yang sedang berlangsung. Risiko eskalasi yang lebih luas masih tinggi, terutama di sekitar Selat Hormuz, jalur penting bagi perdagangan minyak dunia.

Menurut kami, ketidakpastian geopolitik ini bisa membebani sentimen pasar, mengganggu aliran energi global, dan mendorong permintaan aset safe-haven dalam jangka pendek, khususnya komoditas dan treasury AS.

AS mendesak Tiongkok untuk mencegah Iran menutup Selat Hormuz, jalur penting bagi sekitar 20% perdagangan minyak global, di tengah meningkatnya ketegangan pasca serangan udara AS. Meski parlemen Iran mendukung penutupan selat, keputusan akhir ada di Dewan Keamanan Nasional Iran. Jika ditutup, bisa terjadi guncangan energi global, aliran minyak mentah ke Tiongkok terganggu, dan harga minyak berpotensi menembus US$100 per barel.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan asumsi harga minyak global pada APBN 2025 sebesar US$82 per barel. Harga ini dipatok Kemenkeu sebagai dasar dalam perhitungan penerimaan negara dari sektor energi.

Karinska Salsabila Priyatno, analis di PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia (Mirae Sekuritas), mengatakan pihaknya mencermati ketegangan geopolitik yang berkepanjangan meningkatkan risiko inflasi yang dipicu oleh lonjakan harga minyak, yang dapat membuat The Fed (bank sentral AS) menunda pemangkasan suku bunga dan mendorong imbal hasil (yield) US treasury (UST) berpeluang naik.

Untuk Indonesia, situasi ini bisa menekan sentimen pasar SBN, karena yield UST yang lebih tinggi dapat memicu arus keluar modal dan menekan pasar SBN. "Kami melihat potensi kenaikan yield jangka panjang, terutama jika tekanan global berlanjut dan kebutuhan pembiayaan domestik meningkat di paruh kedua 2025," ujar Karinska pada risetnya di Jakarta, Senin (23/6/2025).

Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya menjaga disiplin fiskal dengan menargetkan defisit anggaran 2025 tetap di bawah 2,53% dari produk domestik bruto (PDB), meskipun tekanan belanja makin besar. "Kami melihat bila kebutuhan fiskal meningkat, penerbitan SBN bisa bertambah di semester kedua 2025, berpotensi mendorong yield naik, kecuali ada dukungan dari sisi permintaan atau alternatif pendanaan lain seperti obligasi ritel dan private placements," tutur Karinska.

Pada Mei 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatatkan defisit sebesar Rp21 triliun, setara dengan 0,09% terhadap (PDB). Angka ini berbalik dari posisi surplus Rp4,3 triliun pada April tahun ini.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan perlambatan penerimaan pajak menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kembalinya defisit dalam APBN. Sepanjang Januari hingga Mei 2025, pendapatan negara mencapai Rp995,3 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak berkontribusi sebesar Rp683,3 triliun atau 31,2% dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,2 triliun. “Dari overall balance, keseimbangan keseluruhan APBN KiTa, posisi APBN Mei 2025 mengalami defisit Rp21 triliun. Kita sudah mengumpulkan 33,1% dari target pendapatan tahun ini,” ujar Sri Mulyani pada konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, kinerja penerimaan pajak menurun 11,28% dari pencapaian di Mei 2024 sebesar Rp760,38 triliun. Di sisi lain, realisasi belanja negara hingga Mei 2025 telah mencapai Rp1.016,3 triliun atau 28,1% dari total pagu anggaran tahun ini. Belanja tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp694,2 triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) senilai Rp322 triliun.

Kemudian, keseimbangan primer tetap mencatatkan angka positif. Per Mei 2025, surplus keseimbangan primer tercatat sebesar Rp192,1 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Mei 2024 yang mencapai Rp184,2 triliun, dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan April 2025 yang tercatat sebesar Rp173,9 triliun. (*)