Bias Gender Masih Mengakar di Indonesia, Kolaborasi Jadi Kunci Kesetaraan

Jumpa pers Bank OCBC. (Foto: Audrey Aulivia Wiranto/SWA)
Jumpa pers Bank OCBC. (Foto: Audrey Aulivia Wiranto/SWA)

Dalam sebuah forum diskusi terbaru yang membahas perjalanan menuju pemberdayaan dan penghapusan bias gender, terungkap bahwa bias gender masih sangat dominan di Indonesia, dengan prevalensi mencapai 99,7 persen, terutama dalam dimensi politik dan ekonomi.

Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2022 menunjukkan bahwa norma gender memengaruhi empat aspek utama kehidupan manusia: pendidikan, kesehatan, integritas fisik, dan ekonomi.

Studi tersebut menyoroti pandangan masyarakat terhadap peran laki-laki dalam memperoleh pekerjaan dan menduduki posisi kepemimpinan bisnis. Hasilnya mengindikasikan bahwa bias gender masih signifikan, meski ada kemajuan positif di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Dalam forum tersebut, Betti Alisjahbana — Komisaris Independen OCBC dan perempuan pertama yang menduduki posisi tersebut di sebuah perusahaan teknologi internasional di Asia Pasifik — membagikan pengalamannya menembus stigma gender di sektor teknologi yang didominasi laki-laki.

Berbekal latar belakang pendidikan arsitektur, Betti membuktikan bahwa perempuan memiliki potensi setara dengan laki-laki dan dapat memimpin secara efektif melalui kerja keras dan dedikasi.

Tren positif juga terlihat dari meningkatnya keterwakilan perempuan di sektor teknologi dan pendidikan. Persentase karyawan perempuan di perusahaan teknologi yang dipimpin Betti naik dari 10 persen menjadi 51 persen. Di perguruan tinggi, 63 persen mahasiswa baru di Indonesia adalah perempuan.

“Saya menekankan pentingnya mentoring, coaching, dan keberadaan role model sebagai kunci pemberdayaan perempuan untuk mengatasi hambatan internal dan meningkatkan rasa percaya diri dalam meraih kesempatan setara,” ujarnya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (13/8/2025).

Forum ini turut menyoroti peran penting laki-laki dalam meredefinisi norma sosial dan budaya demi mendorong kesetaraan gender. Banyak laki-laki kini mulai berperan aktif dalam tugas domestik, meskipun hambatan sosial dan budaya masih ada. Dukungan keluarga dan lingkungan menjadi faktor krusial dalam perubahan ini.

Namun, beban ganda perempuan yang harus menyeimbangkan pekerjaan dan tanggung jawab domestik masih menjadi tantangan utama. Partisipasi perempuan di pasar kerja formal masih jauh lebih rendah dibanding laki-laki, dan diskriminasi dalam promosi serta kesempatan kerja kerap menjadi penghalang untuk mencapai posisi strategis.

Karena itu, perubahan sistemik dan kebijakan pendukung kesetaraan gender menjadi kebutuhan mendesak. Perusahaan dan institusi perlu membangun ekosistem inklusif, mulai dari rekrutmen hingga promosi, serta menyediakan program dukungan psikologis dan pelatihan bagi pekerja. (*)

# Tag