Liga Paling Kaya, Klub Paling Mahal: Mengintip Valuasi 20 Klub Premier League 2025/2026

Liga Paling Kaya, Klub Paling Mahal: Mengintip Valuasi 20 Klub Premier League 2025/2026

Premier League sudah lama diterima sebagai liga terkaya — lahir pada 1992, dan 33 tahun kemudian ia berdiri sebagai “rumah” uang paling berisik di sepak bola dunia.

Di setiap bursa transfer, klub-klub Inggris belanja seperti tak punya pesaing. Dominasi Premier League bahkan terlihat di pos yang paling sensitif: gaji. Pada 2023–24, dari 20 klub dengan pembayaran gaji tertinggi di Eropa, sembilan di antaranya berasal dari Inggris.

Karena uang berputar demikian besar, maka kepemilikan pun ikut menjadi cerita lintas negara: 78% dari 20 klub musim 2025–26 dimiliki individu atau entitas non-UK, dengan sumber kekayaan dari industri yang beragam.

Yang menarik, begitu masuk ke soal valuasi, logikanya mendadak berkelok. “Pendapatan besar” tidak otomatis berarti “harga tinggi” dengan cara yang rapi. Sejak awal musim 2019/2020 — ketika pandemi memukul industri — dari 102 laporan laba-rugi pra-pajak klub Premier League, hanya 27 (26%) yang mencatat untung. Bahkan setelah badai mereda, banyak klub tetap tekor karena gaji dan biaya transfer tumbuh lebih cepat daripada pendapatan yang mereka kejar.

Di titik itulah paradoksnya terasa paling terang. Roger Bell, yang memantau angka industri, menyebut dalam 16 musim (2008/2009 hingga 2023/2024), klub-klub Premier League mencatat “economic loss” total £7,87 miliar (sekitar Rp178,37 triliun).

Yang membuatnya makin ironis, sekitar separuh kerugian itu justru berasal dari enam klub yang paling sering dinobatkan paling mahal: Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, dan Tottenham.

Lalu, kalau banyak yang rugi, kenapa mereka tetap mahal?

Karena terkadang sepak bola bukan bisnis normal. Di sini prestise ikut menjadi mesin ekonomi. Nilai klub tidak hanya ditopang arus kas, tetapi juga merek yang hidup di kepala jutaan orang, status yang tak bisa dibeli dengan iklan biasa, dan keyakinan investor bahwa dalam permainan ini, harga akhirnya lebih sering ditentukan oleh siapa pembeli berikutnya daripada sekadar laporan keuangan tahun ini.

Valuasi klub-klub Liga Inggris musim 2025/2026

The Big Six

Banyak pemilik klub percaya pada satu hal yang diam-diam justru menjadi mesin utama industri ini: nilai klub akan terus naik di mata pembeli berikutnya — bukan lewat dividen tahunan, melainkan lewat exit yang menguntungkan suatu hari nanti.

Dari keyakinan inilah, valuasi klub sepak bola sering berperilaku seperti cerita: tidak selalu rapi seperti neraca keuangan, tapi terus bergerak mengikuti ekspektasi, prestise, serta momentum.

Dengan kacamata itu, The Athletic menyusun estimasi valuasi Premier League secara komposit: menelaah valuasi industri, membaca laporan keuangan terbaru, lalu merangkumnya menjadi kisaran nilai untuk tiap klub. Karena harga klub memang bergerak — terutama bagi tim yang sewaktu-waktu bisa terlempar ke Championship — mereka tidak memaksakan satu angka tunggal. Yang dipakai adalah sistem “bucket” dan rentang valuasi, dengan rujukan dari estimasi The Athletic sendiri serta Football Benchmark, Forbes, Kinnaird, dan Sportico.

Di puncak piramida, berada kelompok “Big Six” yang dibuka oleh Manchester United dengan estimasi £4,2–£4,6 miliar. Menariknya, sebagai klub publik, United punya harga harian di pasar: saat sahamnya berada di sekitar US$16, market cap-nya terbaca sekitar £2,06 miliar, sementara enterprise value sekitar £2,7 miliar; angka yang terlihat lebih rendah daripada persepsi umum tentang besarnya merek United.

Patokan yang lebih “keras” justru datang dari transaksi: pada Februari 2024, Sir Jim Ratcliffe masuk pada US$33 per saham, yang mengindikasikan valuasi klub sekitar £4,3 miliar. Di titik ini, kita melihat paradoks yang khas: performa bisa naik-turun, tetapi merek United tetap diperlakukan sebagai aset premium.

Meski tak dalam performa terbaik, valuasi MU tetap teratas. (Foto: si.com)

Manchester City berada di kisaran £4,0–£4,4 miliar, tetapi menghitungnya tidak sesederhana memisahkan klub dari organisasi induknya. City sulit dilepaskan dari City Football Group (CFG): Silver Lake pernah membeli 10,4% CFG senilai US$500 juta (sekitar £388 juta saat itu), yang menilai CFG di angka US$4,8 miliar (sekitar £3,7 miliar).

Ada detail menarik lain yang memperlihatkan kompleksitas grup ini: laporan UEFA menunjukkan wage bill City 15% lebih tinggi daripada yang tampak di laporan klub Premier League-nya, seolah menegaskan bahwa operasi klub dan kontribusi CFG saling bertaut.

Sementara itu, Liverpool ditaksir bernilai £3,9–£4,3 miliar; kisah yang terasa seperti eskalator panjang dari satu dekade terakhir. Fenway Sports Group membeli Liverpool pada 2010 seharga £230,4 juta; lima belas tahun kemudian, klub itu bahkan sanggup belanja sekitar £400 juta pemain dalam satu bursa — sesuatu yang sebelumnya hanya satu klub Inggris lain pernah lakukan.

Lalu, pada September 2023, sebuah transaksi minoritas “membuka kartu”: Dynasty Equity membeli sekitar 3%, dan dari arus £127,3 juta yang masuk ke kas klub, The Athletic menaksir valuasi Liverpool £4,24 miliar; lebih dari 18 kali harga beli pada 2010.

Dari London Utara, Arsenal berada pada rentang £3,2–£3,5 miliar, dengan cerita yang menarik karena disebut memiliki “range” paling lebar di antara 20 klub. Pada 2018, Stan Kroenke (KSE) membeli 30,05% saham dari Alisher Usmanov senilai £550 juta, yang menilai Arsenal £1,83 miliar.

Kini, faktor pengerek utamanya adalah pertumbuhan pendapatan: turnover naik 24% dan bertambah £150 juta pada 2023/2024, dengan potensi kenaikan tambahan lebih dari £50 juta pada 2024/2025. Dalam bahasa lain: performa kompetitif kembali “menyalakan” mesin komersial.

Masih dari London Utara, Tottenham Hotspur berada di kisaran £2,9–£3,2 miliar. Spekulasi jual-beli sempat menguat ketika Spurs mencari investasi eksternal lewat Rothschild & Co, lalu mereda ketika ENIC menegaskan tidak ingin menjual.

Sang pemilik Tottenham Hotspur, Daniel Levy pernah menginginkan valuasi jual £3,75 miliar, tetapi banyak pengamat menilai angka yang lebih masuk akal berada di sekitar £3 miliar — dan kartu utama Tottenham tetap satu hal yang tidak bisa ditiru cepat-cepat: stadion modern yang membuat banyak klub lain iri.

Sementara dari London Barat, Chelsea ditaksir £2,5–£2,7 miliar, dengan “harga transaksi” yang masih segar di ingatan pasar. Penjualan 2022 membuat konsorsium Clearlake membayar £2,5 miliar, dengan £150 juta deferred consideration (dibayar belakangan) yang—menurut akun perusahaan penjual milik Abramovich — dinilai kecil kemungkinan harus dibayar.

Pemilik baru (Todd Boehly) juga berkomitmen menginvestasikan £1,75 miliar selama 10 tahun, dan hampir £800 juta pendanaan pemilik sudah masuk pada dua musim pertama. Di sini, valuasi bukan hanya tentang reputasi klub; ia juga menjadi janji: bahwa proyek besar di belakang layar akan mengubah kapasitas klub untuk menghasilkan uang di masa depan.

The Contenders

Setelah “Big Six”, peta valuasi Premier League tidak langsung jatuh jauh. Ia turun bertahap ke kelompok “contenders” — klub-klub dengan nilai di atas £500 juta, tetapi posisinya lebih rapuh karena harga mereka sangat sensitif terhadap dua hal: performa di lapangan dan kesiapan infrastruktur.

Di barisan ini, West Ham berada di depan dengan estimasi £710–£780 juta. Patokannya cukup konkret: pada November 2021, grup 1890s Holdings yang dipimpin Daniel Kretinsky membeli 26,99% saham senilai £182,5 juta, yang berarti West Ham dinilai £676 juta.

Namun, The Athletic menekankan sisi rapuhnya: musim ini mereka berada dalam situasi yang “jelas” sebagai pertarungan degradasi, dan jika sampai turun kasta, nilainya berpotensi paling “jatuh” dibanding klub lain dalam daftar. Uniknya, meski mereka tidak memiliki London Stadium, lease yang dipegang sangat panjang hingga 2115 — semacam anomali finansial yang membuat West Ham tetap menarik di atas kertas.

Tertatih-tatih di musim 2025/2026, West Ham memimpin valuasi kelompok "contenders". (Ist)

Tepat di belakangnya, Newcastle ditaksir £700–£770 juta — empat tahun setelah takeover yang dinilai “murah” senilai £305 juta oleh konsorsium yang dipimpin PIF untuk mengakhiri era Mike Ashley.

Aturan PSR (Profitability and Sustainability Rules) memang menahan banjir uang seperti yang dulu dinikmati Manchester City, tapi Newcastle tetap kebagian dukungan pemilik yang besar: share issue £45 juta membuat total cash baru ke klub mendekati £500 juta dalam empat tahun.

Dan ketika euforia takeover sudah berubah menjadi bisnis yang lebih matang, tantangan berikutnya justru terdengar sederhana: stadion. Pemilik belum menentukan apakah akan merenovasi St James’ Park atau membangun rumah baru. Padahal keputusan inilah yang disebut menjadi penghambat utama untuk eskalasi nilai tahap berikutnya.

Stadion St. James Park. (Foto: Tripadvisor)
Stadion St. James Park. (Foto: Tripadvisor)

Lalu ada Aston Villa di rentang £660–£730 juta, contoh klasik bagaimana valuasi bisa melompat ketika “krisis” diganti “ambisi”. Ketika dibeli Nassef Sawiris dan Wes Edens pada 2018, Villa masih klub Championship dan sedang berada dalam krisis finansial; kini mereka bahkan sempat mencapai perempat final Liga Champions.

Momentum itu tercermin pada transaksi level holding: Atairos menginvestasikan hampir £100 juta ke V Sports pada 2024, yang jika diekstrapolasi memberi valuasi grup £1,021 miliar (sebagian besar terkait Villa). Tetapi The Athletic menambahkan catatan: banyak pihak menganggap angka itu terlalu bullish, dan Villa akan lebih masuk akal tetap di bawah £1 miliar sampai proyek perbaikan stadion benar-benar tuntas.

Di bagian yang lebih “sunyi” tapi elegan, Brighton (£610–£670 juta) dan Fulham (£560–£620 juta) menunjukkan dua cara membangun nilai: yang satu melalui kecerdasan model, yang satu lagi melalui daya tarik lokasi + investasi fasilitas.

Brighton sering dipuji sebagai salah satu klub paling pintar di Inggris; mereka punya stadion modern berkapasitas mendekati 32.000, dan model player trading mereka bahkan membuat klub mampu membayar kembali Tony Bloom lebih dari £100 juta shareholder loans — utang yang sempat menembus £400 juta — meski saat terakhir masih tersisa sedikit di bawah £300 juta.

Fulham, sebaliknya, sedang mengubah Stadion Craven Cottage menjadi mesin cashflow lewat selesainya Riverside Stand baru. Shahid Khan membeli Fulham seharga £121,1 juta pada Juli 2013, namun investasi sejak itu jauh melampaui harga beli; pada November 2024 diperkirakan sudah menembus £766 juta.

Artinya, balik modal lewat penjualan memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin, terutama jika stand baru itu benar-benar menghasilkan arus kas yang bisa mendorong valuasi menuju total investasi yang disebut mendekati £900 juta.

Dua nama di ambang bawah kelompok ini — masing-masing £500–£550 juta — menutup cerita dengan nuansa berbeda: Everton tentang stabilisasi, Leeds tentang proyeksi. Everton baru saja berganti pemilik pada Desember tahun lalu, ketika Roundhouse Capital Holdings (TFG) membeli 94,1% saham Farhad Moshiri, lalu kepemilikan naik menjadi 99,5%.

Valuasinya makin rumit karena faktor Hill Dickinson Stadium yang baru dibuka musim panas ini — arus kas dari stadion baru itu belum diketahui publik, tetapi narasinya jelas: struktur pembiayaan lebih rapi, pemilik baru menunjukkan kesediaan mendanai, dan stadion baru diharapkan mengerek pendapatan jauh di atas era Goodison Park.

Leeds, yang kembali promosi musim ini, bermain dengan narasi “naik kelas” yang lebih agresif. Dalam pitch deck untuk menarik investasi, pemilik menyebut valuasi pascapromosi sekitar £527 juta, dan mereka membeberkan rencana ekspansi Elland Road: kapasitas ditargetkan naik sekitar 9.000 menjadi 47.000 untuk musim 2028–2029, bahkan ada skenario lanjut ke 53.000. Ambisinya pun eksplisit: target valuasi £1 miliar pada 2030, dengan proyeksi pendapatan £271 juta pada 2027–28 sebagai bahan bakar argumennya.

The Rest

Masuk ke kelompok “the rest”, cerita valuasi Premier League mulai terdengar lebih “membumi”: angkanya tidak lagi ditarik oleh aura global Big Six, melainkan oleh hal-hal yang sangat konkret: struktur kepemilikan, kapasitas stadion, dan risiko turun kasta.

The Athletic menempatkan Crystal Palace di rentang £440–£480 juta, tetapi ada satu transaksi terbaru yang justru memberi angka lebih rendah, dan itu penting sebagai pembanding pasar.

Pada akhir Juli, 42,92% saham Palace berpindah tangan dari Eagle Football Holdings milik John Textor ke Woody Johnson (pemilik New York Jets) seharga US$205 juta atau sekitar £151 juta (kurs hari transaksi), yang menyiratkan valuasi klub sekitar £353 juta.

Angka itu tampak seperti diskon, dan The Athletic menjelaskan mengapa diskon bisa terjadi. Textor disebut sedang ingin keluar, ada friksi dengan pemiik Palace, Steve Parish, dan yang paling menentukan: struktur hak suara Palace membuat soal kontrol tidak otomatis lurus dengan persentase saham.

Dengan kata lain, transaksi minoritas tidak selalu memotret “harga penuh” sebuah klub, sehingga, menurut pembacaan mereka, full sale semestinya bisa menghasilkan valuasi yang lebih tinggi daripada implikasi £353 juta tadi.

Crystal Palace memiliki valuasi rentang £440–£480 juta. (Foto: Reuteurs/Jaimi Joy)

Setelah Palace, daftar bergerak ke klub-klub yang nilainya berada pada rentang menengah namun sangat ditentukan oleh satu mesin yang sama: stadion. Brentford dan Nottingham Forest sama-sama ditempatkan di £340–£380 juta: dua klub dengan basis penggemar kuat, tetapi plafon valuasinya ditentukan oleh seberapa jauh mereka bisa mengembangkan pendapatan hari pertandingan dan fasilitas.

Brentford, misalnya, adalah kisah transformasi yang rapi. Sejak Matthew Benham masuk, biaya akuisisinya disebut relatif kecil (diperkirakan kurang dari £10 juta untuk 96,23% pada 2012, dan di bawah £20 juta hingga kepemilikan 100%).

Mereka lalu pindah dari Griffin Park ke Gtech Community Stadium berkapasitas 17.250 penonton, sebuah lompatan modernisasi yang menaikkan profil klub. Namun ada satu ironi: karena lokasi, stadion itu justru sulit diperluas, sehingga ruang untuk “naik kelas” pendapatan matchday punya batas yang jelas.

Sementara itu, Forest bergerak di jalur yang berlawanan: bukan menerima batas, tetapi menantangnya lewat rencana ekspansi. Mereka sedang mendorong rencana memperbesar City Ground hingga 52.000 kursi, diawali dengan konsultasi publik pada awal Desember.

Ini isyarat penting: dalam ekonomi sepak bola modern, “nilai” klub tidak hanya dibangun lewat nostalgia dan sejarah, tetapi juga lewat rencana konkret yang bisa mengubah kapasitas pendapatan beberapa tahun ke depan.

Semakin ke bawah, daftar ditutup oleh empat klub dengan satu benang merah yang sama: valuasi mereka paling mudah diguncang oleh satu musim buruk, atau satu musim bagus. The Athletic menempatkan Sunderland di £320–£350 juta, Wolves £280–£310 juta, Bournemouth £270–£300 juta, dan Burnley £200–£220 juta.

Sunderland, yang baru kembali ke top flight setelah delapan tahun, menjual “kisah kebangkitan” sebagai bahan bakar valuasi: player trading, perbaikan Stadium of Light, pembaruan training ground, dan stadion yang rutin sold out.

Bahkan ada laporan Bloomberg tentang upaya membeli saham yang, jika benar, mengimplikasikan valuasi £450 juta, meski The Athletic menilai angka itu tinggi untuk klub yang baru enam bulan kembali. Di sini terlihat betapa cepat persepsi pasar bisa membesar ketika sebuah klub kembali terlihat di panggung utama.

Wolves, Bournemouth, dan Burnley menunjukkan sisi sebaliknya: betapa mudah valuasi tersandera oleh risiko. Wolves menghadapi risiko terbesar karena performa yang terpuruk: mereka hanya mengumpulkan dua poin dari 18 laga awal musim ini.

Bournemouth dibatasi oleh stadion berkapasitas 11.307 kursi, tetapi memiliki rencana menggandakan kapasitas menjadi 20.200 sebelum 2027–2028; sebuah peluang yang bisa mengerek nilai jika benar terealisasi. Sementara Burnley masih mandek di sekitar £200 juta setelah takeover £150 juta pada 2020, terjebak dalam siklus promosi–degradasi yang membuat valuasi sulit bertumbuh stabil.

Vitality Stadium. Markas Bournemouth ini adalah stadion terkecil di Liga Primer. (Foto: stadiaworld-com)
Vitality Stadium. Markas Bournemouth ini adalah stadion terkecil di Liga Primer. (Foto: stadiaworld-com)

Mesin Imajinasi

Pada akhirnya, daftar valuasi ini seperti peta yang mengingatkan: di Premier League, yang dibeli orang bukan sekadar skuad, melainkan sebuah mesin imajinasi: prestise, basis fans, hak siar, dan keyakinan bahwa harga akan terus naik ketika klub berpindah tangan lagi, meski dividen tidak selalu mengalir seperti bisnis “normal”.

Klasemen sementara Liga Inggris 2025/2026. Tiga terbawah di akhir musim akan degradasi. (Ist)

Itulah sebabnya stadion — kursi, hospitality, dan pengalaman matchday — sering menjadi kalimat penutup yang paling jujur. Sebuah klub bisa punya taktik bagus, scouting rapi, dan momentum di lapangan, tetapi ketika kapasitas rumahnya hanya 11.307 kursi seperti Bournemouth, nilai itu seperti berjalan dengan “langkah pendek” sampai rencana ekspansi benar-benar terjadi.

Dan di tengah semua kalkulasi itu, satu risiko tetap berdiri seperti palang pintu: degradasi. Valuasi bisa naik karena satu musim Eropa, tapi juga bisa runtuh karena satu musim salah rekrut, satu pelatih yang tak klop, atau dua bulan tanpa gol. Karena di liga terkaya ini, yang paling mahal bukan hanya transfer—melainkan hak untuk tetap berada di sini. (*)


Sumber utama penulisan: The Athletic

# Tag