Maraknya PHK Jadi Sinyal Kuat Tekanan Ekonomi
Anggota DPR mengatakan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berpotensi meningkat hingga akhir 2025 dan berlanjut pada 2026.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Edy Wuryanto meminta pemerintah segera mengambil sikap korektif atas maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat ada 79.302 pegawai yang kehilangan pekerjaan sejak Januari-November 2025.
Edy mengatakan angka PHK tersebut berpotensi meningkat hingga akhir 2025 dan berlanjut pada 2026. “Ini bisa terjadi jika tidak ada langkah korektif dari pemerintah. Ini bukan sekadar data statistik, tetapi gambaran nyata tekanan ekonomi yang dirasakan pekerja dan dunia usaha,” ujar Politikus Partai Demokrasi Perjuangan itu dalam keterangan tertulis, Jumat, 26 Desember 2025.
Edy mengingatkan meningkatnya pemutusan hubungan kerja akan berdampak langsung pada pengangguran terbuka dan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2025 menunjukkan pembukaan lapangan kerja hanya 1,99 juta, didominasi sektor informal. “Lapangan kerja formal yang sedikit dan tidak berkualitas akan memperburuk perlindungan pekerja dan meningkatkan risiko kemiskinan baru,” ujarnya.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp 13.032 triliun selama 2025–2029 atau rata-rata Rp 2.606 triliun per tahun. Menurut Edy, jumlah itu dengan asumsi setiap Rp 1 triliun investasi membuka 1.600 lapangan kerja, seharusnya tercipta sekitar 4,17 juta lapangan kerja per tahun. “Faktanya, capaian pembukaan lapangan kerja kita masih jauh dari kebutuhan tersebut,” ucap Edy.
Menurut Edy, sektor pengolahan menjadi penyumbang terbesar PHK, disusul sektor perdagangan dan pertambangan. Edy menilai salah satu pemicu utama adalah Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang membuka arus impor secara luas. “Dampaknya produk lokal, terutama di sektor tekstil, alas kaki, dan industri padat karya, kalah bersaing dengan produk impor yang lebih murah dan diminati pasar domestik,” kata dia.
Selain itu, penurunan upah riil pekerja sejak 2018 hingga 2024 seperti dicatat Bank Dunia, telah menekan daya beli buruh. Edy mengatakan kondisi ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal III 2025 yang hanya 4,89 persen atau masih di bawah 5 persen. “Daya beli yang melemah berdampak pada penurunan konsumsi barang dan jasa, menekan produksi, dan berujung pada PHK lanjutan,” katanya.
Edy juga menyoroti masih tingginya biaya produksi. Kondisi ini membuat harga barang dan jasa tidak kompetitif sehingga produk sulit terserap pasar dan dunia usaha terpaksa melaksanakan efisiensi tenaga kerja.
Menurut Edy, pertumbuhan ekonomi yang lemah turut memengaruhi pembukaan lapangan kerja dan keberlangsungan usaha. Iklim investasi yang belum membaik menyebabkan jumlah lapangan kerja baru, khususnya formal, sangat terbatas. “Pemerintah harus segera memetakan persoalan PHK ini dan mengambil langkah konkret,” tuturnya.
Senyampang mengambil sikap, Edy mendorong pemerintah merevisi Permendag Nomor 8 2024. Menurut dia, perlu pembatasan impor agar tidak mematikan produk lokal, penurunan suku bunga perbankan untuk mendukung industri padat karya, pemberian insentif pajak dan harga energi, serta perpanjangan stimulus ekonomi.
Edy juga meminta pemerintah menyediakan pinjaman berbunga murah bagi perusahaan yang kesulitan modal kerja. Selain itu dia mendorong negosiasi ulang dengan kreditor bagi perusahaan yang dipailitkan melalui dukungan atau penjaminan pembayaran utang agar usaha masih bisa diselamatkan dan lapangan kerja tidak hilang.
Dalam jangka menengah, perbaikan iklim investasi menjadi kunci peningkatan lapangan kerja. Edy mendorong pemberian insentif pajak dan kemudahan perizinan bagi investor baru, termasuk mengajak investor mengelola aset perusahaan pailit dengan skema insentif pajak jangka panjang, seperti pada kasus Sritex.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan tingginya jumlah PHK ini mengindikasikan adanya perlambatan ekonomi. “PHK terjadi ketika permintaannya lemah sekali. Itu terjadi sepuluh bulan awal, sembilan bulan pertama, tahun sebelumnya juga jelek kan. Tahun ini sepuluh bulan pertama ekonomi slow,” kata Purbaya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 23 Desember 2025. Meski begitu, ia meyakini tahun depan kondisinya akan membaik.
Menurut Purbaya, ekonomi tahun depan akan membaik karena telah ada penyelarasan antara kebijakan pemerintah dengan kebijakan Bank Indonesia. Ia menilai akses ke pembiayaan modal kerja juga berpengaruh terhadap kondisi lapangan kerja.
“Ketika demand naik, kalau dia nggak punya akses ke modal kerja juga nggak bisa tumbuh. Makanya saya concern itu dan ingin membantu mereka semaksimal mungkin,” ucap Purbaya. Atas dasar itu, kata dia, pemerintah melakukan perubahan kebijakan baik di lingkup fiskal maupun moneter.
Sumber: Tempo.co