Harta dan Ketenangan
Perjalanan pulang pergi ke Balikpapan beberapa saat lalu berbeda dari biasanya bagi rekan saya yang saya panggil sebagai Bro Aria. Ia sudah melanglang buana ke manapun dan tidak terbersit kekhawatiran di hatinya ketika menghadapi pesawat sedang take off atau landing. Namun, hari itu ada yang berubah dari sikapnya. Ketika take off pagi, saya mengamati mulutnya komat-kamit dengan mata terpejam. Pulangnya, ketika pesawat mau landing, tangannya memegang erat kursi sambil tak lupa melakukan hal yang sama, alias berdoa.
“Masih trauma Bro?” tanya saya setelah pesawat berhasil mendarat mulus. “Suasana mau landing tadi hampir sama dengan peristiwa itu. Tadi pesawat agak sedikit bergoyang ketika menyentuh landasan. Apa Bro tidak perhatikan?” jawabnya balik bertanya. “Ah tidak, biasa saja tuh. Mendaratnya mulus kok,” saya menjawab tanpa merasa empati terhadap apa yang dia rasakan.
Memang Bro Aria dengan 41 kolega sekantor kami belum lama mengalami kejadian yang membuat beberapa orang traumatis. Sepulang acara Employee Day di suatu daerah di luar Jawa, mereka mengalami kejadian yang tak mengenakkan ketika pesawat yang mereka tumpangi akan landingdi Bandara Soekarno-Hatta. Pada percobaan pendaratan pertama gagal, lalu pesawat berputar lagi untuk mencoba pendaratan kedua. “Saya sudah melihat landasannya. Sudah sangat dekat. Eh, ternyata pesawat naik lagi dengan kecepatan tinggi. Saya sudah berpikir pasti ada yang tidak beres,” cerita Bro Aria dan beberapa rekan kami.
“Suasana semakin gaduh ketika pramugari tidak memperbolehkan penumpang pergi ke kamar kecil. Timbul pertengkaran kecil antara penumpang dan pramugari dan antarpenumpang yang sudah mulai panik dengan kondisi itu. Situasi baru tenang ketika dengan terpaksa pramugari mengatakan, “Bapak dan Ibu sekalian, silakan duduk di tempat masing-masing. Kamar kecil untuk sementara ini tidak boleh dipergunakan sampai ada petunjuk dari Kapten. Pesawat kita dalam keadaan kritis. Silakan berdoa menurut kepercayaan masing masing,” kali ini Zus Hera, rekan Bro Aria yang memberikan laporan ke saya pada kesempatan pertama kami bertemu.
Pada percobaan pendaratan ketiga, akhirnya pesawat bisa mendarat dengan baik. Namun dari balik jendela, terlihat pemadam kebakaran sudah siap di mana–mana dan pesawat diparkir di remote area. “Katanya ada masalah di rodanya Pak,” kata sopir saya, Bung Muhtar, yang juga ikut jalan-jalan bersama rekan yang lain.
“Apa yang kamu pikirkan ketika pesawat dua kali gagal melakukan pendaratan?” kali ini jiwa wartawan saya muncul. Saya menanyakan ke beberapa orang yang saya pilih secara acak untuk sampel. “Saya memikirkan apakah keluarga saya tahu polis asuransi dan nomor rekening bank saya ya. Saya berdoa minta ampun atas segala dosa saya sehingga kalau harus mati, saya mati dengan husnulkhatimah. Beruntung saya baru saja menutup asuransi, jadi yang saya lakukan membuka file foto anak anak saya di iPad,” begitu beberapa kesimpulan yang saya dapatkan dari kalangan “atas”.
“Kalau kamu apa yang kamu pikirkan saat itu?” kali ini saya interogasi Bung Muhtar dengan keinginan tahu yang sangat besar. “Saya mah pasrah saja Pak. Berdoa agar selamat, kalau tidak selamat ya pasrah saja,” katanya tanpa bermaksud menutupi rasa traumatisnya. “Apa kamu tidak berpikir keluargamu dan penghidupan mereka?” kali ini saya agak sedikit mendesak. “Ah Pak, saya sudah pasrah sama Yang Maha Kuasa saja,” kali ini ia menjawab dengan rasa haru.
Pengalaman ini membuat saya mengerti arti sesungguhnya antara harta dan ketenangan. Rupanya semakin orang “berada”, semakin banyak memiliki – entah itu harta, posisi, ataukah ilmu – semakin mungkin merasa kehilangan karena banyaknya yang ia miliki. Ketika kepemilikannya akan diambil oleh Yang Maha Memberi, yang punya banyak tidak rela, tidak mau dan tidak pasrah dibandingkan dengan yang sedikit memiliki.
Harta, posisi, ilmu hanya memberikan ketenangan bagi yang mendapat manfaatnya, misalnya sanak keluarganya, tetapi ini justru membebani si empunya untuk melepaskannya. Ia tidak yakin dengan banyaknya yang ia miliki, keluarganya akan tenang menghadapi masa depan. Baginya masih kurang untuk memberikan yang sudah berlebihan itu. Ekstrem lain – karena ia memiliki banyak – ia tak mau melepas yang banyak itu sekarang. Ia tak rela pasrah itu sekarang. Ia ingin menikmatinya selama mungkin. Kalau bisa ia akan memohon seribu tahun lagi.
Berbeda dari Bung Muhtar yang dari segi materi, posisi, kepintaran jauh berbeda dari teman-teman di atas. Bung Muhtar cepat pasrah, karena ia tidak memiliki banyak untuk digenggam di tangannya. Soal kehidupan masa depan keluarganya, ia pasrahkan ke tangan Ilahi yang ia yakini akan menjaga, walaupun tangannya sendiri tidak merangkul buah hatinya lagi.
Belajar dari pengalaman ini, rasanya kita harus kembali ke khitah. Manusia tidak hanya hidup oleh roti saja. Manusia tidak hanya tenang oleh materi saja. Sebaliknya, manusia harus hidup dengan perbuatan baik sehari-hari kala kesempatan masih ada. Jangan menunggu sampai kejadian traumatis tiba dan kita berdoa meraung-raung menyesali kesempatan yang terlewatkan. Sayangi istri dan anak Anda, karena istri adalah anugerah dan anak adalah karunia, your job is to love them more than your jobs. Perhatikan karyawan Anda, jangan hanya fokus pada keuntungan buat perusahaan dan diri sendiri, mereka adalah titipan Ilahi untuk Anda pelihara. Kalau ini kita lakukan, ketenangan akan kita alami di situasi apa pun dan dalam keadaan apa pun.
Paulus Bambang W.S., Penulis buku best seller Built to Bless, Lead to Bless, Leader and Balancing Your Life