Memang harus diakui, tak ada sekolah bisnis di dunia yang tidak mengajarkan teori-teorinya atau menjadikan buku-buku yang ditulisnya sebagai buku wajib. Kerangka analisis industri yang dikembangkannya, yang terkenal dengan sebutan Ã¢â‚¬Å“lima kekuatan persainganÃ¢â‚¬Â (five competitive forces), merupakan menu utama kurikulum bidang pemasaran dan strategi bisnis.

Bagi Porter, memilih strategi yang tepat merupakan syarat penting agar unit usaha memiliki kinerja yang baik. Strategi pada aras unit usaha sendiri intinya adalah mencari posisi yang tepat dalam suatu industri. Pernyataannya yang sangat terkenal adalah: competitive strategy is the search for a favorable position in an industry, fundamental arena in which competition occurs.

Outside-in. Pendekatan yang dikembangkan Porter sering disebut sebagai pendekatan dari luar ke dalam (outside-in). Sebab, proses perumusan strategi, dan karenanya proses pencapaian imbalan yang superior, dimulai dari memilih industri yang berdaya tarik tinggi, baru diikuti dengan memilih positioning yang tepat, dan rangkaian rantai nilai (value chain) yang mendukung posisi yang dipilih.

Alternatif lain perumusan strategi adalah penggunaan pendekatan dari dalam ke luar (inside-out). Di sini yang penting adalah memetakan sumber daya yang dimiliki terlebih dulu, baru kemudian menentukan industri dan strategi apa yang akan dipilih. Tokoh yang masuk dalam kubu pemikiran ini, antara lain, Edith Penrose, Birger Wernerfelt dan Jay Barney.

Tentu saja, kedua pendekatan untuk merumuskan strategi di atas, baik yang bertitik tolak dari pasar (market-base) maupun yang dari sumber daya (resource-base), dalam kenyataan saling melengkapi. Porter sendiri, yang melihat perusahaan sebagai rangkaian kegiatan (value chain) dan keterkaitan (linkages), berbicara banyak tentang arti penting sumber daya. Sementara Gary Hamel dan C.K. Prahalad yang terkenal dengan konsep kompetensi inti, yang dekat dengan paradigma resource-base, sering menekankan arti penting penciptaan pasar-pasar baru masa depan.

Belakangan, sejumlah tokoh berusaha mengawinkan dua pendekatan ini. Yang paling terkenal tentu adalah konsep kapabilitas dinamis (dynamic capabilities) yang dikembangkan pertama kali tahun 1997 oleh David Teece, Amy Shuen dan Gary Pisano. Bagi mereka, daya saing yang lestari diperoleh bila perusahaan terus melakukan rekonfigurasi sumber dayanya, baik internal maupun eksternal, untuk merespons perubahan pasar yang cepat.

Kritik dan Apresiasi. Mereka yang tidak sependapat dengan Porter biasanya mengajukan tiga keberatan. Pertama, pendekatannya dinilai simplistis, reduksionistis dan deterministis. Bila strategi dipahami sebagai keharusan memilih, dan pilihan tersebut dilakukan dalam kondisi yang sering diwarnai tarik-menarik (trade-off), mengapa strategi hanya diartikan sebagai positioning, atau mengapa pilihan strategi dan sumber daya saing hanya dua, yaitu efisiensi (low cost) dan keunikan (differentiation).

Kedua, pernyataan Porter dinilai meremehkan arti penting efektivitas operasional yang dianggapnya bukan strategi. Perusahaan-perusahaan Jepang yang mengandalkan perbaikan terus-menerus (kaizen), menurutnya, jarang yang memiliki strategi. Upaya meniru dan mengacu pada praktik terbaik (benchmarking) juga bukan strategi. Strategi selalu diartikan sebagai keberanian memilih posisi yang berbeda dari yang lain.

Nampaknya, Porter mengabaikan kenyataan bahwa perbaikan terus-menerus juga merupakan strategi, seperti yang dikerjakan 3M dan Toyota, dua perusahaan yang masuk kategori paling inovatif di dunia.

Ketiga, pandangan Porter tentang strategi terkesan sangat deduktif, rasional dan kalkulatif. Dalam pandangannya, aspek intuisi, spontanitas dan pengetahuan yang tersembunyi (tacit knowledge), kurang mendapat tempat. Itu sebabnya, sebagai misal, upaya meniru secara kreatif tidak dimasukkannya sebagai strategi. Padahal, meniru secara kreatif tak mudah dilakukan. Bahkan, Peter Drucker pernah mencatat, peniru-peniru kreatif sering tampil lebih prima, karena terhindar dari kesalahan para pionir.

Tekanan yang berlebihan pada aspek kalkulatif berujung pada strategi sebagai upaya meningkatkan posisi tawar, seperti posisi tawar terhadap pemasok dan pelanggan. Tekanan berlebihan pada strategi bersaing kenyataannya harus diimbangi dengan arti penting bekerja sama. Ini yang mendorong Adam Brandenburger dan Barry Nalebuff (1995) mengenalkan konsep koopetisi. Demikian pula keunggulan bermitra juga bisa sama penting dengan keunggulan bersaing, sebagaimanana dikemukakan Rosabeth Moss Kanter, rekan pengajar Porter di Harvard.

Lepas dari berbagai kritik tersebut, Porter tetap dianggap sebagai guru strategi paling berpengaruh dalam 25 tahun terakhir. Pandangannya tentang peran lokasi sebagai asal muasal daya saing dan pengembangan industri berbasis cluster, diacu para pengambil kebijakan ekonomi di berbagai negara. Dalam pandangannya, setiap kawasan ekonomi harus mampu menciptakan platform global (lokasi terbaik dan menguntungkan) untuk pengembangan industri yang sengaja dipilih dikembangkan.

Membicarakan daya saing berarti membahas pemikiran Porter. Identitas kuat yang tertanam panjang inilah yang menjadikan berbagai forum yang dihadirinya menjadi forum bergengsi tinggi.