Memang, meski bukan pemain lama di bisnis ini, JPC mampu menjadi trend setter dalam dunia penjualan produk kamera dan aksesorinya. Buktinya, rata-rata orang yang akan membeli kamera digital merasa tidak afdol jika belum mengunjungi website-nya, www.JPCKemang.com. Bahkan, kompetitor akan selalu melirik JPC untuk mengetahui harga jual dan tren produknya.

JPC didirikan pada pertengahan 2001 oleh Rudi S. Alexandre beserta istri dan kakaknya, Sri Hendradjuwita, beserta suami. Sebelum mendirikan bisnis ini, Rudi adalah Manajer Divisi Manakan & Nonmakanan Carrefour. Dengan bermodalkan sekitar Rp 200 juta, mereka membuka toko yang kebanyakan menjual notebook dan PDA. Saat itu, porsi produk kamera hanya 20%.

Ternyata, peminat kamera semakin meningkat, bahkan kontribusinya terhadap penjualan menjadi yang terbesar. Mereka pun mulai fokus hanya menjual produk kamera foto, video dan aksesori, pada 2003. Ã¢â‚¬Å“Bagi saya, bisnis bisa sukses jika kita serius dan konsentrasi pada satu hal,Ã¢â‚¬Â kata Rudi menandaskan. Pilihan ini diambil karena Rudi juga lebih menyukai berjualan kamera. Pasalnya, item-nya lebih banyak dan lebih bisa dikembangkan bisnisnya. Dunia fotografi juga menjadi hobi lulusan Jurusan Bisnis American College dan program MBA Woodbury University, AS, ini. Saat sekolah, ia sempat mendalami dan mengambil mata kuliah pilihan ilmu fotografi.

Meski demikian, mengelola bisnis ini tidaklah mudah. Persaingannya makin ketat dan pemainnya makin banyak. Sebagai gambaran, sebelum tahun 2000-an, hanya ada sekitar 20 gerai di Jakarta. Sekarang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan pasar dan tren kamera digital, jumlah gerai mencapai ratusan. Perang harga tak terelakkan dan margin keuntungan pun amat tipis. Namun, Rudi berkomitmen mengambil margin minim dan memberikan harga termurah. Jika ada konsumen yang menemukan harga yang dicantumkan lebih mahal dibandingkan dengan kompetitor, JPC akan mengoreksi harganya. Langkah ini harus dilakukan. Pasalnya, pembeli di Indonesia masih sangat sensitif terhadap harga. Dengan tipe yang sama, pembeli akan mencari harga termurah.

Rudi tidak mau mengungkapkan secara persis persentase margin yang dipetiknya. Ã¢â‚¬Å“Ibaratnya, dari pembelian Rp 1 juta, kami mendapat profit Rp 50 ribu saja, itu masih untung,Ã¢â‚¬Â katanya. Saat ini, bisnis dagang kamera digital memang cukup rumit. Setiap 3 atau 6 bulan, model-model terbaru selalu keluar. Harganya pun setiap minggu berubah mengikuti kurs dan perkembangan. Akibatnya, jika ada model baru sementara produk lama belum terjual, ia berani menjual murah. Bahkan, ia berani rugi. Misalnya, tipe A dijual seharga Rp 10 juta. Kemudian, keluar tipe baru dengan megapixel yang lebih besar, tapi harganya sama. Maka, tipe A yang modalnya Rp 9,9 juta harus ia jual Rp 9 juta. Mengapa? Ã¢â‚¬Å“Agar cepat laku. Mending saya rugi Rp 900 ribu daripada saya bersikeras menjual Rp 10 juta, tapi tidak laku-laku,Ã¢â‚¬Â katanya.

Karena marginnya kecil, JPC lebih mementingkan turnover yang tinggi. Agar barang cepat terjual, JPC menyediakan produk dengan review tertinggi dari fotografer dunia. Tidak seperti kompetitor lainnya, JPC juga selalu mengadakan stok produk. Bagi Rudi, ketersediaan barang menjadi faktor penting untuk menjalankan bisnis ini. Ia tak ingin konsumen kecewa hanya karena produk yang ingin dibeli tidak tersedia di JPC. Ã¢â‚¬Å“Kalau terjadi demikian, customer semakin males datangnya,Ã¢â‚¬Â ujarnya. Produk-produk ini diperolehnya dari distributor berbagai merek yang ada di Indonesia.

Menurut Rudi, strategi harga memang penting, tapi itu bukan segalanya. Faktor layanan memegang peran penting pula, agar pelanggan semakin banyak yang loyal. Dalam memberikan layanan, sejak awal ia menerapkan hubungan seperti layaknya hubungan pertemanan, bukan semata-mata hubungan penjual-pembeli. Ia mengaku akan selalu jujur memberi saran bagi pembeli berdasarkan kebutuhan mereka. Artinya, meski konsumen mempunyai anggaran lebih besar, ia selalu menganjurkan mereka membeli produk sesuai dengan kebutuhan.

Cara tersebut terbukti ampuh. Pelanggannya banyak yang kembali dan akhirnya menjadi pelanggan loyal. Ã¢â‚¬Å“Kalau mereka dibantu, mereka akan senang,Ã¢â‚¬Â ujarnya. Jadi, wajarlah jika ada pelanggan dari Bali dan Surabaya yang datang ke JPC dengan naik pesawat, khusus untuk membeli produk, dan langsung pulang lagi. Ada juga pelanggan mancanegara yang hanya berkonsultasi tentang suatu produk yang akan dibelinya di luar negeri.

Karena ingin memberikan layanan yang personal, sampai saat ini JPC tidak ingin membuka cabang di mana pun. Ã¢â‚¬Å“Kami tidak ada rencana ke situ. Karena dengan satu outlet pun, untuk menyenangkan hati customer, saya merasa masih kurang,Ã¢â‚¬Â ungkapnya. Ia tidak ingin mengembangkan banyak cabang yang nantinya malah menjadi bumerang bagi bisnisnya karena tidak bisa memberikan layanan terbaik.

Pada 2003, JPC mulai membuka website. Alasan Rudi, berdasarkan pengalaman, yang banyak ditanyakan pelanggan adalah harga. Dengan mengandalkan saluran telepon, tidak akan membuat konsumen puas. Ã¢â‚¬Å“Maka, kami menyediakan website untuk mengurangi pemborosan pulsa telepon dan siapa pun bisa melihat spesifikasi harga,Ã¢â‚¬Â katanya. Ternyata, cara ini efektif juga. Setiap hari pengunjungnya 3-4 ribu orang.

Upaya-upaya itulah yang mungkin membuat JPC menjadi langganan selebriti seperti Anjasmara, Aldi Bragi, Tora Sudiro, Dian Sastro Wardoyo dan Sophia Latjuba, juga pejabat negara bahkan mantan presiden, serta fotografer profesional. Aldi Bragi menceritakan, alasannya menjadi pelanggan JPC, awalnya karena lokasi JPC dekat dengan rumahnya. Ã¢â‚¬Å“Alasan kedua, karena harganya pasti bersaing dan layanannya lebih personal. Saya bisa diskusi dulu sebelum membeli. Sehingga, informasi saya pada waktu membeli banyak,Ã¢â‚¬Â kata Aldi yang mengenal JPC karena referensi dari teman dan wartawan.

Farida Nawang Nurini