Agar SMF Dimanfaatkan Secara Maksimal oleh Perbankan dan Multifinance
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan masyarakat Indonesia akan rumah per tahunnya mencapai 800 ribu unit. Padahal ketersediaan jumlah rumah terbangun hanya 200 ribu unit per tahun.
Rasio Kredit Perumahan Rakyat (KPR) terhadap produk domestik bruto (PDB) kita juga masih 2,64%, jauh lebih rendah dibanding Malaysia yang mencapai 31%, Thailand yang mencapai 24,9% atau Swiss yang mencapai 52,6%.
Bagi pelaku industri pembiayaan perumahan primer, seperti perbankan ataupun multifinance, fakta tersebut menjadi peluang bagi mereka untuk terus melakukan penetrasi. Apalagi, ruang pertumbuhan pembiayaan perumahan ke depan diprediksi masih sangat lebar seiring ekonomi makro yang tahun ini diprediksi tumbuh 6,3%-6,5% (data Bank Indonesia).
Di sisi lain, pembiayaan rumah saat ini 80%-nya dilakukan oleh perbankan. Dananya diambil dari sumber jangka pendek seperti deposito atau lebih parah lagi dari tabungan dan giro. Padahal KPR jangka waktunya rata-rata di atas 10 tahun. Dalam hal ini bank harus memperhitungkan benar risiko likuiditas dan risiko tingkat suku bunga.
Mismatch pendanaan inilah yang kemudian memunculkan ketakutan pihak perbankan dalam menyalurkan KPR. Terbukti, rata-rata porsi KPR masih sedikit jika dibanding penyaluran kredit di sektor lain. Idealnya, penyaluran KPR yang jangka panjang memang menggunakan pendaaan yang jangka panjang pula.
“Disinilah kemudian pemerintah mendirikan lembaga pembiayaan sekunder yakni Sarana Multigriya Finansial (SMF) pada 22 Juli 2005. Ingat pinjaman jangka panjang ingat SMF. Sebab kegiatan kami adalah mengalirkan dana jangka menengah/panjang dari pasar modal ke sektor pembiayaan rumah melalui sekuritisasi dan penyaluran pinjaman,” ujar Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), Raharjo Adisusanto.
Sekuritisasi dalam hal ini bank yang sudah memiliki volume penyaluran yang cukup besar akan menjual aset KPR-nya ke pasar modal. SMF kemudian memberikan fasilitas transaksi yaitu dengan cara membeli tagihan KPR dan menerbitkan efek dengan agunan kumpulan aset KPR tersebut, yang disebut Efek Beragun Aset (EBA). Efek itu akan dijual di pasar modal.
Sementara penyaluran pinjaman dilakukan dengan cara refinancing atau repo. Dengan refinancing bank atau multifinance akan mempunyai dana baru untuk menyalurkan KPR. Aset KPR yang dimiliki oleh mereka dijadikan jaminan. Sedangkan Repo, bank menjual aset KPR-nya dan pada waktu yang telah disepakati, Bank akan menibeli kembali aset KPR-nya tersebut. Aktivitas ini dilakukan secara berkelanjutan, sehingga terjadi perputaran yang makin cepat dan penyaluran KPR baru semakin lancar.
“Namun sekuritisasi dan penyaluran pinjaman yang diberikan SMF digunakan hanya untuk penyaluran KPR. Ini sesuai dengan tujuan pendirian SMF yakni selain mengatasi mismatch pendanaan tadi, yakni juga untuk mendorong keterjangkauan kepemilikan rumah,” kata Raharjo.
Sejauh ini belum banyak yang menggunakan jasa SMF. Tercatat sekitar enam bank konvensional, empat bank syariah dan tiga multifinance. Itupun porsi penyaluran pinjaman dan sekuritisasinya masih belum merata. PT Bank Tabungan negara (BTN) mengambil lebih dari 85% dari total yang disalurkan SMF ke seluruh bank dan multifinance.
Nilai total pinjaman dan sekuritisasi SMF yang disalurkan sejak 2005 hingga 2012 juga masih belum terlalu mentereng, yakni sebesar Rp 8,5 triliun. Masih sangat jauh dibawah total penyaluran KPR oleh BTN hanya di semester I 2012 yang sekitar 62 triliun (data BTN).
Apa strategi SMF agar keberadaanya lebih dimaksimalkan oleh perbankan dan multifinance? Raharjo mengatakan, SMF menetapkan strategi membidik bank-bank kecil dan multifinance yang belum go public, ataupun bank besar yang tak mau repot menerbitkan obligasi sebagai sumber dana panjang mereka. Selain itu, SMF juga menyasar Bank Pembangunan Daerah (BPD).
“Kami sudah teken perjanjian kerjasama dengan BPD NTB, kami juga tengah berbicara dengan BPD Riau, Sumut dan Sumsel,” katanya.
Melalui strategi yang diterapkan tersebut, lembaga pembiayaan sekunder ini diharapkan secara bertahap mampu menciptakan mekanisme pasar yang dapat menurunkan tingkat suku bunga KPR sehingga kepemilikan rumah menjadi terjangkau bagi setiap keluarga Indonesia, sesuai dengan tujuan awal pemerintah mendirikan lembaga pembiayaan sekunder ini. (EVA)