Harus Jeli Menentukan Selling Point
Kelas menengah di Indonesia selain tumbuh pesat, populasinya juga paling banyak dibandingkan klelompok masyaralat lainnya. Daya beli mereka kuat, sehingga mampu menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi, tidak gampanmg membidik pasar kelas menengah. Menurut Dr. Ujang Sumarwan, pakar perliaku konsumen IPB Bogor, di tengah banyaknya pilihan produk yang tersedia untuk kelas menengah, para pemlik merek harus jeli menentukan selling point yang tepat bagi konsumen yang dibidiknya. Berikut adalah wawancara Ujang Sumarwan dengan Rangga Wiraspati:
Bagaimana Anda melihat fenomena dan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia?
Pertumbuhan kelas menengah yang pesat umumnya merupakan fenomena di negara berkembang. Pertumbuhan kelas menengah didorong oleh pendidikan yang bagus, kesempatan bekerja yang tinggi, dan daya beli yang bagus sehingga aktivitas konsumsi mereka juga bagus. Aktivitas konsumsi itu yang menentukan GDP di negara berkembang. Jadi, menurut saya benar pertumbuhan kelas menengah akan mendorong pertumbuhan perekonomian negara. Dalam pengamatan saya, kelas menengah merupakan populasi terbanyak di Indonesia, maka kelas menengah merupakan penentu utama bagi perekonomian nasional. Berdasarkan kaidah-kaidah tadi, kelas menengah merupakan sasaran terdepan dari para pemasar di Indonesia, karena jumlah penduduknya yang terbanyak.
Kelas menengah sendiri saya bagi dua, yaitu menengah bawah dan menengah atas. Kelompok menengah bawah terdiri dari anggota masyarakat yang telah menjadi sarjana, baru mendapat kerja dengan gaji kurang lebih Rp 7 juta per bulan. Ketika karier anggota masyarakat tersebut sudah mencapai lima tahun atau lebih dan gajinya sudah double digit, maka ia masuk ke dalam kelompok menengah atas.
Untuk produk menengah, terutama consumer goods, saya mengamati hampir setiap brand menengah tersedia di Indonesia, karena para pemasar tahu besarnya jumlah penduduk kelas menengah yang terbanyak. Kelas menengah mempunyai ciri khas, yaitu sangat responsif terhadap inovasi pada produk, sehingga semua produk menengah baru yang ada di Indonesia penerimaannya relatif cepat. Harga produk menengah pun disesuaikan dengan daya beli mereka, maka saya melihat produk menengah dengan harga yang paling murah sampai paling mahal pun ada bagi kelas menengah. Contoh kasusnya adalah larisnya handphone pada range harga Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000. Salah satu jenis produk yang booming di kalangan kelas menengah adalah gadget. Yang dimaksud gadget adalah segala peralatan yang dapat membuat orang untuk bekerja lebih ringan dan mudah untuk pria dan wanita. Banyak masyarakat salah pengertian tentang gadget, yaitu sebatas alat telekomunikasi saja. Padahal, peralatan di dapur dan peralatan untuk mempercantik diri pun dapat termasuk kategori gadget. Saya melihat gadget tersedia sangat banyak di pasaran, dan umumnya kelas menengah mampu membeli dan mengekspresikan diri melalui gadget. Pada umumnya kelas menengah yang berusia 30-45 tahun menggunakan produk dan brand sebagai simbol ekspresi diri. Sementara itu, usia kelompok kelas atas pada umumnya telah melampaui usia kelas menengah.
Saat ini jumlah perusahaan Indonesia yang terus membangun brand Indonesia sangat banyak. Dulu, konsumen Indonesia terobsesi dengan brand luar negeri dan ketersediaan brand lokal masih sedikit. Sekarang produk-produk lokal seperti tas, pakaian, sepatu, dan aksesoris banyak dan diterima oleh kelas menengah. Produk-produk lokal yang terkadang harganya pun terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah kini juga terdapat di outlet modern seperti mal, contohnya produk-produk asal Bandung seperti Bodypack dan Eiger. Produk-produk lokal tumbuh seiring dengan meningkatnya kelas menengah. Produk IT lokal seperti komputer pun tumbuh. Penjualan produk-produk kelas menengah lokal pun terbilang bagus. Konsumen Indonesia, terutama anak muda, menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari dan mereka pun bangga akan hal tersebut. Untuk produk dan brand kelas menengah, ketersediaan produk dan brand di retailer dan outlet modern menjadi indikator perkembangan produk dan brand menengah tersebut, karena hal itu menunjukkan seberapa besar permintaan terhadap produk dan brand menengah.
Fenomena lainnya dari pertumbuhan kelas menengah adalah frekuensi penggunaan moda transportasi pesawat terbang yang tinggi. Dulu yang dapat naik pesawat terbang dengan biaya pribadi adalah golongan menengah atas. Golongan menengah bawah naik pesawat terbang dengan biaya dari kantor. Sekarang hal tersebut berubah, dengan golongan menengah bawah pun mampu naik pesawat terbang dengan biaya sendiri. Perjalanan ke luar negeri selalu penuh, yang mengindikasikan Indonesia merupakan pasar gemuk untuk industri penerbangan. Tempat liburan pun selalu menjadi buruan kaum menengah.
Seberapa besar potensi mereka sebagai target pasar?
Di Indonesia, secara total ekonomi, daya serap (konsumsi) kelas menengah lebih banyak dibandingkan kelas atas. Kelas atas segmennya kecil, jadi total aktivitas belanja kelas atas masih kalah dibandingkan dengan kelas menengah, yang jumlahnya sangat besar di Indonesia. Perusahaan bisa menyasar kelas menengah dengan mengandalkan margin yang kecil, namun volume besar. Sebaliknya, perusahaan akan menyasar kelas atas dengan margin besar namun volume kecil.
Untuk menyasar kelas menengah, bagaimana cara-cara yang dilakukan pemasar dan pemilik merek kelas menengah? Sudah tepatkah dan apa yang harus ditingkatkan?
Yang pertama komunikasi yang langsung berhubungan dengan konsumen. Cara yang paling efektif menurut saya adalah marketing event, karena salah satu ciri kaum menengah adalah gemar berkomunikasi dan berkumpul dalam sebuah komunitas. Pemasar atau pemilik merek dapat menggarap pasar komunitas, karena bagi kelas menengah, kepercayaan terhadap peers-nya bisa jadi sangat menentukan. Masyarakat kelas menengah cepat mengevaluasi pemasaran yang bersifat personal, karena mereka memiliki akses informasi yang relatif bagus. Jadi, pendekatan melalui peer group, komunitas, dan event ini yang harus diperhatikan.
Saya memperhatikan selama ini beberapa pemilik merek selalu mengandalkan salesmanship yang relatif memaksa, kurang persuasif. Kasus itu sering terjadi di industri perbankan, mereka sering mengabaikan etika dalam melakukan pemasaran. Dalam memasarkan produk bagi kelas menengah, pemilik merek tidak bisa memaksa, tetapi mereka harus memberikan informasi yang memudahkan konsumen untuk mengambil keputusan. Kemudian pemilik merek harus tetap memperhatikan reward kepada konsumen, karena terkadang konsumen kelas menengah mengharapkan reward berupa barang atau dalam bentuk lain. Para pemilik merek bisa mengikat konsumen kelas menengahnya dengan CRM (Customer Relationship Management) yang lebih intens. Melalui CRM, konsumen bisa merasa diperlakukan spesial oleh para pemilik merek. Jika konsumen merasa lebih dihargai, maka konsumen akan merasa lebih dekat secara emosional dengan suatu merek.
Upaya-upaya Integrated Marketing Communication (IMC) apa yang tepat dalam menyasar kelas menengah?
IMC itu dulu istilahnya promotion, di dalamnya terdapat unsur-unsur Public Relations, Personal Selling, Direct Marketing, dan Event. Pemilik merek harus memilih cara-cara tersebut untuk menyasar target yang dibidik. Event marketing bisa berupa penyelenggaraan sponsorship program, seminar, lokakarya, konser, dll. Menurut saya iklan TV harus diperbanyak, dan juga marketing event karena kebiasaan kaum kelas menengah yang suka berkumpul. Misalnya, sebuah perkumpulan olah raga, pemasar harus jeli melihat celah itu, pemasar harus memahami watak konsumen yang mau berkumpul karena adanya kesamaan minat atau hobi.
Apa saja dos and don’ts dalam menggarap kelas menengah ini?
Pemasar mesti paham kalau saat ini konsumen ingin dipandang penting oleh perusahaan. Maka do yang paling penting adalah membangun CRM dengan pelanggan. Do yang kedua adalah selalu memonitor perilaku konsumen, karena perubahan perilaku konsumen dewasa ini cenderung cepat dan perusahaan harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan itu. Perusahaan perlu mempunyai tim yang memantau perubahan perilaku konsumen dalam divisi pemasarannya. Do yang ketiga adalah bangun komunikasi dengan retailers, karena para pengecer inilah yang setiap hari melihat perilaku konsumen dan mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi. Jadi retailers merupakan narasumber yang berharga untuk memberikan informasi apa yang dibutuhkan konsumen dan beragam preferensinya. Don’t yang pertama adalah jangan memprovokasi konsumen, dalam arti jangan membuat konsumen berpikir bahwa mereka berperilaku konsumtif melalui kredit konsumen, karena tidak semua konsumen merupakan pembeli bijak. Pemasar di Indonesia bisa melihat contoh angka consumer bankruptcy di AS yang tinggi. Perusahaan harus memperhatikan daya beli konsumen juga, karena nilai mata uang saat ini belum tentu sama di masa depan, jika konsumen bangkrut maka dampaknya akan buruk pada perekonomian. Jika konsumen diprovokasi untuk menggunakan kredit konsumen, secara tidak langsung pemasar mengikis daya beli konsumen di masa depan. Maka perusahaan juga mempunyai tanggung jawab secara sosial untuk mengedukasi konsumen untuk menjaga daya belinya. Kita harus belajar dari masyarakat Barat yang perekonomian negaranya kolaps karena penggunaan kredit konsumen yang membabi buta sehingga memakan konsumen itu sendiri.
Biasanya kendala-kendala apa saja yang muncul dan bagaimana solusi untuk mengatasinya?
Kendala pertama adalah banyaknya pilihan produk dan merek di hadapan konsumen, maka perusahaan harus membuat selling point yang tepat dan relevan bagi konsumen kelas menengah. Maka, solusinya adalah memperhatikan konsumen dengan jeli sehingga perusahaan dapat menentukan selling point yang tepat bagi konsumen yang ingin disasar. Kendala lainnya adalahberiklan menjadi tidak terlalu efektif karena semua juga beriklan pada saat yang bersamaan. Untuk mengatasinya, perusahaan perlu menentukan diferensiasi yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Ketika yang ditawarkan sama, maka yang menjadi penentu pertimbangan bagi konsumen adalah faktor harga, namun jika konsumen percaya ada diferensiasi dan selling point yang berbeda dan relevan, maka konsumen akan bersedia untuk membayar lebih mahal untuk suatu produk atau merek. Selalu meng-update selling point dari produk yang akan dijual adalah kewajiban bagi perusahaan serta divisi marketing-nya.
Bagaimana fenomena dan pertumbuhan produk/brand menengah ke depan? Prediksinya akan seperti apa nanti?
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi kelas menengah stabil seperti saat ini, diyakini kelas menengah akan bertambah. Kelas menengah akan sangat kritis dan sangat menuntut. Perusahaan tidak bisa lagi menggunakan paradigma lama dalam pemasaran dan mengabaikan hak-hak konsumen. Bertambahnya jumlah kelas menengah mengharuskan perusahaan untuk beradaptasi dengan budaya melayani dan memenuhi kualitas yang diminta konsumen. Fenomena kelas menengah lainnya adalah biasanya kelas ini mengekspresikan diri keluar dari rumahnya, karena kebutuhan akan pakaian, aksesoris, kendaraan bermotor, gadget, perjalanan wisata akan meningkat. Dalam pengamatan saya, di Indonesia indikator dari bertambahnya kelas menengah adalah lakunya lapangan golf. Golf merupakan simbol olah raga kelas atas, di Indonesia ada kecenderungan perilaku kelas menengah yang ingin masuk ke lingkungan kelas atas, sehingga banyak dari mereka yang mempelajari golf. Terkadang perilaku konsumen kelas menengah yang berpenghasilan lebih dari cukup ini tidak rasional, mereka mementingkan penampilan daripada fungsi. Dalam konteks gadget, animo masyarakat kelas menengah selalu tinggi terhadap sebuah produk baru. Gadget telah menjadi simbol status sosial kelas menengah di mata masyarakat, sampai terkadang mereka mengorbankan anggaran kebutuhan yang lain demi memenuhi kebutuhan ekspresi diri ini.
Benarkah telah terjadi revolusi konsumen? Benarkah revolusi perilaku konsumen menengah mengubah secara mendasar rule of the game pemasaran di Indonesia? Seperti apa perwujudannya?
Dalam beberapa hal ada kesamaan perilaku konsumen menengah di Indonesia dengan negara-negara lain. Namun perbedaan yang cukup mendasar dari karakter konsumen Indonesia, banyak konsumen Indonesia lebih mementingkan manfaat psikologis daripada fungsional untuk jenis-jenis barang tertentu. Itu perbedaannya dengan di luar negeri. Di Indonesia, dalam beberapa kasus pergantian preferensi merek dan produk bukan karena manfaat fungsionalnya tidak berlaku lagi. Mungkin ini bisa disebut revolusi konsumen juga, karena ketika pendapatan seseorang Indonesia meningkat, maka aspirasinya pun meningkat juga, ia bisa tidak betah terhadap suatu produk walaupun secara fungsional masih berguna baginya. Seorang tidak betah dengan gadget lamanya karena tampilannya yang ketinggalan jaman, bukan karena sudah tidak berfungsi sesuai fungsi utamanya lagi. Gadget baru akan mengeksresikan siapa dia di mata masyarakat dan membuatnya lebih diterima di masyarakat. Saya pikir kondisi ini sesuatu yang sangat berubah dan baru di Indonesia dibandingkan dengan perilaku generasi sebelumnya. Perilaku konsumen itu mengalami revolusi jika ia berubah secara cepat memiliki dampak yang signifikan bagi ekonomi negara.