Sinergi di Keluarga Trans

Sinergi di Keluarga Trans

Jumat, 15 Desember 2006, menjadi hari bersejarah bagi awak Trans TV. Sebuah pertunjukan spektakuler dan kolosal digelar di Plenary Hall, Jakarta Hilton Convention Center. Sejumlah artis Ibu Kota serta ratusan undangan berdatangan guna merayakan hari ulang tahun ke-5 Trans TV. Tak hanya itu. Acara bertajuk “Penta5 Trans TV” (huruf “S” di belakang Pentas ditulis 5 untuk menunjukkan ultah ke-5) ini juga menjadi ajang memperkenalkan saudara baru, TV 7, sekaligus meluncurkan nama anyarnya: Trans 7.

Bisa dikatakan, inilah babak baru grup media milik pengusaha Chaerul Tanjung. Pertengahan tahun lalu, pria yang biasa disapa CT ini berhasil menguasai sekitar 20% saham TV 7 yang dikuasai Kelompok Kompas-Gramedia (KKG). Sejak itu, Chaerul pun melakukan berbagai penataan di stasiun televisi yang dibangun Jakob Oetama itu agar napasnya sejalan dengan Trans TV, stasiun televisi yang lebih dulu dimilikinya. Prioritas utamanya: menyelaraskan kultur kedua perusahaan. Ia mengupayakan agar kedua stasiun teve ini berjalan beriringan.

Awalnya, memang tak mudah mengingat kedua stasiun teve ini memiliki budaya yang berbeda. Meski demikian, mengelola beberapa stasiun teve dalam satu atap bukan hal baru di Indonesia. Grup Media Nusantara Citra (MNC) yang diusung Hary Tanoesoedibjo memperlihatkan betapa powerfull-nya stasiun teve bila berjalan di bawah satu kendali. Besar kemungkinan, Chaerul ingin mengikuti langkah Hary dengan membuat imperium bisnis televisi di bawah Trans Corporation. Bahkan, bisa dikatakan, ia berhasil mengelola Trans TV yang kini dikenal sebagai stasiun teve trend setter. Tampaknya sinergi dua stasiun teve ini akan menjadi jalan bagi Chaerul, yang dikenal dengan sebutan Mr. Low Cost, untuk mengeruk keuntungan lebih besar dengan cara yang lebih efisien dan efektif.

Sinergi yang dapat diraih melalui pengelolaan bersama ini, menurut Wishnutama, Presiden Direktur Trans 7, diarahkan untuk mencapai efisiensi biaya. “Cut cost-nya bisa 40% lebih murah,” tuturnya. Sebagai contoh, biaya transmisi. Dulu transmisi masing-masing stasiun berbeda, sekarang hanya perlu membangun satu menara untuk dua stasiun televisi. Demikian pula dalam hal SDM dan fasilitas, antara Trans TV dan Trans 7 bisa saling mendukung. “Bargaining position pun jadi lebih baik. Apalagi, kalau posisi Trans 7 makin baik,” katanya sambil menambahkan, sekarang kemampuan stasiun teve tersebut menjaring iklan juga menjadi lebih besar.

Hal ini dikuatkan pula oleh Ishadi S.K., Presdir Trans TV. Efisiensi yang dimaksud dilakukan mulai dari peralatan hingga SDM. Contohnya, Trans TV memiliki 40 koresponden di daerah, sedangkan Trans 7 mempunyai 30 koresponden. “Jika di satu kota terdapat dua koresponden Trans TV dan Trans 7, salah satu akan ditempatkan di daerah lain,” kata Ishadi. Bahan dari satu koresponden, menurutnya, bisa digunakan bersama. Tinggal paketnya disesuaikan dengan warna masing-masing televisi, misalnya dengan menambahkan data, materi dan naskah.

Ishadi membenarkan, ujung dari semua pembenahan yang dilakukan manajemen adalah efisiensi. Bisa jadi, ia menambahkan, di kemudian hari Trans Corp. akan memiliki sentra editing, sentra pascaproduksi, sentra teknologi informasi, dan lain-lain. “Cara ini inovasi Pak CT,” ujarnya. Hanya saja, untuk sementara Trans 7 masih menyewa pada Trans TV seandainya menggunakan fasilitas tersebut. Kendati demikian, harga yang diberikan lebih murah daripada menyewa ke tempat lain. Dengan menggunakan sentra tersebut, Chaerul — seperti dituturkan Ishadi — merasa yakin, akan terjadi sinergi yang kuat. “Masih jauh sih untuk mencapai itu, pelan-pelanlah,” ujarnya.

Dari segi posisi, kedua stasiun teve ini jaraknya masih berjauhan. Hal ini di antaranya bisa dilihat dari segi pangsa penonton. Pangsa penonton Trans 7 berkisar 6%-7%. Adapun Trans TV 16%-17%. Begitu juga soal tarif iklan. Iklan di Trans 7 dibanderol Rp 6-7 juta, sedangkan di Trans TV Rp 25 jutaan. “Tidak menyejajarkan sih, tapi gap antara Trans TV dan Trans 7 tidak terlalu jauh,” kata Ishadi mengomentari. Dalam hal penjualan & pemasaran maupun pemrograman, manajemen menjadi lebih mudah mengemasnya. Namun, hingga kini Ishadi belum menentukan akan ada in house production di bawah satu atap ataukah tidak. Dalam penilaian manajemen, dikatakannya, memproduksi acara sendiri-sendiri pun masih bisa dianggap efisien.

Diakui Ishadi, bila dua perusahaan berbeda disatukan, kendala klasik yang sering dijumpai adalah soal penyatuan budaya. Namun, persoalan ini bisa diatasi dengan menempatkan beberapa orang di dua tempat sekaligus, di Trans TV ataupun Trans 7. Dengan begitu, proses penyatuan budaya dapat berlangsung cepat dan pengelolaannya pun menjadi lebih mudah. “Saya rasa ini merupakan suatu ide yang sangat brilian untuk mempercepat sinergi,” ujar Ishadi. Jika yang di atas sudah bersinergi, menurutnya, akan mudah menyelaraskan barisan di bawahnya. “Saya yakin akan lama jika tidak dengan cara seperti ini,” ujarnya lagi. Dengan menempatkan orang andalan Chaerul di dua tempat, “Secara basic dan praktik, kultur di dua stasiun TV ini dapat disamakan dalam 6 bulan,” tuturnya optimistis.

Penjelasan Ishadi dibenarkan Wishnutama. Pengelolaan yang bisa dijadikan satu atap akan lebih baik bila dikelola bersama, seperti divisi SDM dan General Affairs. “Dua hal yang sifatnya teknis atau support ini disatukan pengelolaannya,” ujarnya. Di luar itu, hal lain yang pengelolaannya digabungkan adalah pemrograman, yaitu berada di bawah Programming Commitee. “Tidak secara konten, karena masing-masing memiliki karakter yang berbeda,” kata pria yang biasa disapa Tama ini.

Pengelolaan bersama ini, dijelaskan Tama, dimaksudkan agar program-program di Trans TV dan Trans 7 tidak saling bertabrakan. Kendati sebenarnya, sekarang pun sudah terlihat perbedaannya. Acara-acara di Trans TV lebih banyak membahas gaya hidup, trendsetter serta hipe, sementara Trans 7 terkesan lebih membumi. “Untuk pemberitaan, Trans 7 lebih tajam, sedangkan Trans TV lebih dramatis dan bermain dengan emosi,” katanya menjelaskan. Empat Mata yang dipandu Tukul Arwana merupakan salah satu contoh acara yang dinilai membumi. “Tukul itu kan bukan artis yang masuk kelas A, tetapi setelah kami kemas, bisa masuk ke semua kalangan hingga ke bawah,” ujar Tama mencontohkan.

Harus diakui, Empat Mata yang dipandu Tukul setelah memperoleh sentuhan kreatif dari Trans TV, rating-nya melonjak dari sebelumnya 7-11, sekarang 20-22. Menurut Ishadi, Trans TV yang dikenal sebagai stasiun televisi yang inovatif dan trendsetter program akan ditularkan ke Trans 7. Selain Empat Mata, acara Trans 7 yang sedang diasah Trans TV di antaranya: Selamat Pagi, Cipika Cipiki dan Si Bolang (Bocah Petualang). “Saya akui dulu andalan Trans 7 adalah Jejak Petualang, tapi sayang kini rating-nya turun. Sebagai penggantinya kini ada Si Bolang (acara petualangan alam liar yang dipandu anak lelaki) yang share penontonnya sampai 20 lho, naik hingga tiga kali,” ujarnya seraya menerangkan, beberapa acara yang tidak berkembang diputuskan dihentikan. Salah satunya, Menari.

Untuk lebih menguatkan barisan, manajemen mengadakan program komite meeting setiap hari Senin. Seluruh unsur produksi, pemrograman, berita, penjualan & pemasaran, teknik dan support bertemu dalam rapat ini. Yang dibahas antara lain: akan dibawa ke mana Trans TV dan Trans 7, program apa yang akan dibuat, serta target apa yang ingin dicapai dari masing-masing stasiun televisi. “Jualan iklannya bareng di bawah satu kendali (Direktur Pemasaran & Penjualan), tetapi para klien tahu akan ke Trans TV atau Trans 7. Jadi, tidak harus memasang di kedua televisi,” Tama menjelaskan. Kebetulan, Trans TV dan Trans 7 memiliki tim pemasaran dan penjualan sendiri-sendiri. Akan tetapi, kedua tim tersebut berada di bawah kendali Atiek Sriwahyuni, Direktur Pemasaran & Penjualan Trans TV, yang juga Wakil Presdir Trans 7.

Mengenai orang-orang andalan, menurut Ishadi, Chaerul melakukan observasi, terutama di jajaran direksi. “Kami sebenarnya lebih ke ngobrol-ngobrol. Para jajaran direksi duduk bersama, apakah mereka ada keinginan pindah (ke Trans 7),” ujarnya. Dalam pembagian tanggung jawabnya kemudian, ada jabatan tertentu yang sifatnya full in charge dan ada juga yang hanya supervisi. Misalnya, untuk jabatan level manajer. “Mungkin di Trans 7 belum siap atau levelnya belum sama dengan di Trans TV, maka kami taruh orang sementara sebagai supervisor. Setelah mereka bisa take over, barulah kami lepas,” ujarnya lagi. Ada pula orang yang sepenuhnya dipindahkan ke Trans 7. Semua itu bukan saja melalui dialog, tapi juga melalui tahapan assessment. Sejauh ini hanya orang-orang Trans TV yang ditempatkan di Trans 7. Karena, jumlah SDM Trans TV lebih banyak dibandingkan dengan Trans 7. Di Trans TV jumlah karyawannya 1.900 orang, sedangkan Trans 7 hanya 500 orang.

Chaerul berencana membentuk holding company di bawah Trans Corp. dengan struktur organisasi khusus. Hanya saja, kapan waktunya, Ishadi belum tahu karena harus melihat kematangan perjalanan kedua stasiun teve ini dulu. Salah satu cara yang dilakukan Chaerul untuk mematangkannya adalah dengan menempatkan beberapa orang kepercayaannya di dua tempat, yaitu di Trans TV dan Trans 7. Salah satunya, Wishnutama, yang kini menjabat sebagai Wapresdir & Direktur Operasional Trans TV serta Presdir Trans 7. Di samping itu, ada Atiek Sriwahyuni. Lalu, ada Direktur Pemberitaan yang juga memegang dua posisi di kedua stasiun teve tersebut.

“Awalnya, Pak CT tidak men-set up seperti itu, tapi seiring waktu kami berpikir bagaimana agar tidak saling makan. Meski diakui, benturan itu tak terhindarkan. Kami mencoba tidak terlalu besar saling makannya,” ujar Tama sambil menyebutkan, orang-orang yang ditempatkan di dua televisi itu jumlahnya sekitar 15 orang. Menurut Ishadi, hingga kini Trans Corp. belum memiliki struktur organisasi resmi karena baru berupa embrio. “Riilnya sudah ada, tapi belum maksimal,” tuturnya. Hingga saat ini baru ada dua perusahaan di bawah Trans Corp., yaitu Trans TV yang 100% dimiliki Chaerul dan Trans 7 (sekitar 20%).

Kebetulan, keduanya mempunyai budaya yang berbeda. Untuk itu, diperlukan proses untuk sampai pada dua stasiun televisi seperti yang diinginkan Chaerul. “Menyatukan dua kultur ini tidak gampang. Jadi, mesti pelan-pelan. Makanya, sementara ini kami tidak strict seperti holding perusahaan pada umumnya. Setelah ada sinergi, barulah kami pikirkan struktur organisasi yang baru,” katanya seraya menambahkan, “Saya lihat Pak CT paling pintar membuat struktur, dan sense-nya juga kuat. Kami tinggal mengikuti.”

Tama mengungkapkan, yang sedang dibangun manajemen saat ini adalah bagaimana awaknya memiliki awareness untuk business oriented, baik di Trans 7 maupun Trans TV. Idealisme yang diusung, yaitu mentransformasi kemampuan awaknya membuat bangsa ini menjadi lebih baik melalui program-program televisi. “Kami sadar, ini tidak bisa cepat. Perlahan tapi pasti tujuan idealis ini bisa tercapai,” ujar lulusan Mount Ida College Boston, AS, ini. Sampai sekarang, ia menilai di Trans TV visi ini sudah tertanam dengan baik. Sementara di Trans 7 masih dini, karena baru dalam tahapan perbaikan kinerja yang meliputi: program TV, finansial, infrastruktur, dan sebagainya. “Tentu saja, Trans 7 akan mengarah ke hal yang sama dengan Trans TV, yaitu membuat program dengan rating tinggi, tetapi tetap memberikan value kepada masyarakat,” ujar kelahiran 36 tahun lalu ini.

Ia mencontohkan, salah satu acara yang menggambarkan idealisme yang ditayangkan Trans TV adalah Good News dan Patriot. Ia melihat, berita-berita yang disuguhkan selama ini banyak menonjolkan kekerasan. “Good News memberikan hope dan spirit baru pada bangsa, tidak selalu berita itu jelek. Share-nya sekarang sudah mencapai belasan,” ujar ayah empat anak ini sambil mengatakan, tujuan yang ingin dicapai Patriot pun sama. Selain itu, ia berharap dapat menyuguhkan tontonan dengan nuansa baru.

Mengenai beberapa acara yang dipindahkan dari Trans TV ke Trans 7, Ishadi menyangkal dikatakan acara-acara itu tidak laku lagi. “Kami sudah punya acara Double Bioskop, dari pukul 9 malam sampai dini hari. Jadi, acara-acara Trans TV yang dulunya di-setting tengah malam, masih ada tempatnya,” ia menjelaskan. Acara-acara tersebut di antaranya Lacak!, Kupas Tuntas dan Fenomena. Program-program tersebut ditayangkan pukul 10-12 malam.

Untuk Trans TV, menurut Ishadi, “Kami ingin kembali ke home box office. Setelah kami survei, di benak masyarakat, Trans TV ya HBO-nya Indonesia.” Kala awal didirikan, Trans TV memang diset sebagai HBO-nya Indonesia. Maka, manajemen memutuskan mengembalikan positioning Trans TV sebagaimana cita-cita awal itu. Untuk mendukung langkah ini, Trans TV menggandeng beberapa distributor film besar, seperti Sony Pictures, Universal Studio dan Warner Bross. “Saya jamin akan ada banyak film box office yang ditayangkan Trans TV. Sayang, kami missed satu distributor, Fox. Kalau jadi, wah pasti powerful.”

Keputusan Trans TV kembali menjadi HBO-nya Indonesia ternyata dilatarbelakangi kegagalan ketika menyuguhkan program-program lain. “Kalau kami buat sinetron untuk malam hari, selalu gagal. Setelah mengadakan Focus Group Discussion, barulah kami tahu ternyata penonton Trans TV inginnya bioskop, bukan sinetron,” ujar Ishadi. Memindahkan Fenomena, Kupas Tuntas dan Lacak! ke Trans 7 tentu tak lepas dari bisnis inti TV7 yang kuat di pemberitaan. “Pak Jakob juga suka, karena sesuai dengan core mereka.”

Tama menilai, sejauh ini upaya pembenahan yang dilakukan di Trans 7 baru sebatas taktis saja. Maksudnya, agar biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Caranya: dengan menayangkan kembali acara-acara yang pernah ditayangkan Trans TV di Trans 7. “Saya perkirakan the real new Trans 7 baru terwujud sekitar Mei,” ungkapnya. Kala itu, acara-acara Trans 7 akan memiliki program-program baru sendiri. Sayangnya, Tama tidak berkenan menyebutkannya sekarang. Yang jelas, lanjutnya, pasar Trans TV memang disasar lebih di atas, sedangkan Trans 7 agak ke bawah. “Trans 7 posisinya di atas ANTV dan Lativi. Salah satu program andalannya, Si Bolang dan Empat Mata, share-nya bagus,” tuturnya. Mengenai kendala yang dihadapi dalam proses benah-benah ini, dikatakannya, “Tidak ada yang prinsip, justru lebih mudah karena mereka sudah jalan.”

Idealnya, jika ingin melakukan sesuatu di Trans 7, secara finansial perusahaannya harus sehat dulu. Di sisi lain, Ishadi melihat, pengelolaan Trans Corp. berbeda dari MNC, karena di MNC masih dikelola sendiri-sendiri. Menurutnya, dengan memiliki stasiun teve lain yang disatukan pengelolaannya, sumber daya pun jadi lebih besar dan ide-ide yang muncul bisa lebih kuat karena dipikirkan bersama-sama. “Kami tidak melihat MNC sebagai tujuan yang mesti dilampaui. Bisnis ya bisnis aja, kami melihat ke banyak bisnis media lain di dunia,” Tama menambahkan. Gup media yang menjadi panutan Trans Corp. adalah NBC Universal, Ten Network Australia dan Sony Pictures.

Efek dari sebuah langkah menuju efisiensi adalah pengurangan berbagai hal, termasuk SDM. Akan tetapi, ditegaskan Ishadi, meskipun ada orang-orang yang ditempatkan di dua tempat, hingga kini tidak ada pengurangan tenaga kerja. “Kalaupun ada, sebatas yang masih kontrak atau mereka yang memang tidak sevisi lalu dengan sukarela keluar,” ujarnya. Beberapa orang lama TV 7 sebagian memang ada yang ditarik ke KKG lagi, tapi ada juga yang merasa cocok dengan iklim Trans TV sehingga memilih tetap bergabung.

Dari segi penggajian, juga terjadi penyesuaian. “Gaji disamakan, ya ada plus-minusnya,” kata Tama menimpali. Sebagaimana Trans TV yang sudah menerapkan gaji ke-14 dan bonus yang besar jika tercapai target, karyawan Trans 7 pun mendapatkan hak tersebut. Gaji yang diberikan Trans TV, menurut Ishadi, sebelumnya lebih besar. Maka, gaji yang diberikan Trans 7 disesuaikan. Bagaimana dengan yang ditempatkan di dua tempat? Dobelkah gajinya? “Tidak dobel sih gajinya, tapi ada additional income-lah,” kata Ishadi tanpa mau merinci.

Menanggapi pembenahan di Trans 7, salah seorang karyawan yang tidak ingin disebut namanya berpendapat, “Saya merasakan adanya perbedaan pola manajemen.” Karyawan yang bergabung sejak TV7 dibangun ini menuturkan, manajemen sekarang jauh lebih teratur daripada ketika masih menjadi TV7. Ia melihat Trans TV sudah punya model yang lebih jelas sejak awal didirikan. Namun, ia menyayangkan perubahan wajah di pemberitaan Trans 7. “Ciri khas TV7 yang lebih tajam beritanya, hard news sifatnya, sekarang mengikuti gaya Trans TV yang lebih soft news,” tuturnya dengan nada kecewa.

Terlepas dari itu, ia bisa mengerti karena manajemen ingin menggabungkan dua kultur yang berbeda menjadi lebih baik. “Walau sebenarnya, segmen Trans 7 berbeda sekali dari Trans TV,” ujarnya. Menurut dia, tayangan-tayangan TV7 lebih menyasar pada male viewers. Sementara soal gaji, ia sendiri tidak tahu bagaimana sistem penggajian di Trans TV. Jadi, ia tidak bisa membandingkan. “Kalau dilihat dari nominalnya, memang ada penyesuaian. Salah satunya dari uang makan yang tadinya Rp 15 ribu/hari, sekarang disesuaikan dengan teman-teman Trans TV menjadi Rp 12 ribu/hari,” ia menjelaskan. Selebihnya, yang diterima karyawan Trans 7 sejauh ini sama dengan teman-temannya di Trans TV. “Awalnya sih saya pesimistis. Tapi setelah teman-teman Trans TV bergabung, saya kini melihat Trans 7 juga memiliki ciri sendiri,” katanya. Ia berharap Trans 7 akan lebih baik. Terlebih, ada banyak program yang naik pamornya.

Sementara itu, Andrian Syahputra melihatnya berbeda. Ia menilai, yang ingin dicapai kedua stasiun televisi ini sama, yaitu menjadi lebih maju. “Pascaakuisisi, Trans 7 diharapkan lebih maju. Begitu juga dengan Trans TV,” ujar Kepala Departemen Nondrama Trans TV ini yakin. Dengan berbicara bersama, diakui Adrian, lebih mudah bagi mereka menentukan program-program mana yang sesuai di kedua stasiun teve tersebut. “Kami ingin ada diferensiasi dalam hal konten. Trans TV sejak awal diarahkan sebagai trend setter stasiun teve,” ujar pria kelahiran 1974 ini. Di luar itu, ia tidak melihat adanya perbedaan. “Saya yakin banget Trans 7 dan Trans TV akan lebih mencorong. Untuk Trans TV, tahun ini sudah berhasil mengalahkan SCTV beberapa waktu, meski belum stabil. Tapi saya pikir (itu) sudah kemajuan luar biasa,” katanya bersemangat. Ia optimistis, keberhasilan itu bisa memacu keyakinan masing-masing awak Trans TV dan Trans 7 untuk menjadikan keduanya sebagai stasiun teve yang lebih baik.

Di tempat terpisah, Ade Armando, pengamat media, menyoroti yang terjadi di Trans Corp. Menurut Ade, merger atau akuisisi adalah hal yang lazim di era kapitalisme global saat ini. Justru dengan cara inilah, efisiensi bisa dicapai. Merger atau akuisisi bukan hanya sekadar menyatukan dua stasiun teve, melainkan menggabungkan dua kekuatan yang berlipat-lipat. Selain itu, stasiun teve ini bisa beroperasi dengan lebih murah. Kalau dulu satu produksi hanya untuk satu stasiun, kini bisa digunakan untuk dua stasiun. “Pemasukannya juga bisa lebih besar,” tuturnya.

Contoh lain, program yang di dalam kontraknya ada rerun (pemutaran kembali atau dua kali pemutaran), dengan memiliki stasiun teve lain akan ada tempat untuk acara rerun-nya. Demikian pula ketika membeli paket film dari luar negeri yang biasanya kontraknya untuk dua tahun, bila hanya memiliki satu stasiun, sering banyak yang terbuang. Banyak film yang kemudian tidak memiliki jam tayang. “Dengan punya outlet lain, pembeli bisa memutar film itu di dua tempat dan masing-masing bisa menghasilkan uang,” ujar Ade. Inilah sebabnya, di Trans TV ada Bioskop Trans TV dan Trans 7 memiliki Theatre 7. “Jika di bawah satu manajemen yang sama, akan terhindar saling bunuh. Caranya, dengan menset satu stasiun untuk segmen berbeda.”

Acara Fenomena yang kini ditayangkan di Trans 7 dinilai Ade sudah sesuai dengan segmennya yang menyasar lebih rendah dari Trans TV. “Saya lihat sih bentuknya belum jadi, mereka masih mencari format yang pas agar tidak terjadi kanibalisme,” ujarnya. Di samping itu, talenta di kedua televisi bisa saling mendukung. Misalnya, “Talent di Trans TV bisa dipakai di Trans 7. Para talent juga bisa mempromosikan program di kedua stasiun,” katanya. Sejauh ini Ade melihat ada kesamaan yang dilakukan Trans Corp. dengan MNC. “Saya dengar Chaerul akan membeli SCTV. Dia malah sudah sampaikan ke orang-orang di sana,” ungkapnya tanpa bermaksud menebarkan gosip.

Ade melanjutkan, memiliki sebuah grup media dengan beberapa stasiun di dalamnya akan memberi kekuatan yang besar daripada berjalan sendirian. “Yang independen biasanya bermasalah,” tuturnya berseloroh. Namun, yang perlu menjadi pertimbangan, UU Penyiaran yang sedang digodok DPR dan rencananya akan disahkan akhir tahun ini mengisyaratkan bahwa akan ada pembatasan jangkauan siaran. Dalam hal ini, stasiun teve tidak bisa lagi siaran secara nasional, tapi disarankan untuk mengembangkan jaringan. Maka, yang perlu dipikirkan adalah membangun beberapa stasiun teve lokal. “Saya pikir para pelaku media perlu menyusun strategi baru dengan adanya UU yang baru ini,” tutur Ade mengingatkan. Sebenarnya, bisnis media televisi di luar negeri pun sudah mengarah ke sana. Tidak seperti yang terjadi di Indonesia sekarang.

Di lain pihak, pemerhati media Riri Satria menilai, saat ini belum terlihat jelas strategi apa yang diusung Trans TV ataupun Trans 7. “Keduanya tidak memiliki positioning jelas,” katanya tandas. Sewaktu dipegang KKG (dengan nama TV7), kelihatan positioning yang ditonjolkan adalah TV olah raga. Dulu terlihat, TV7 disinergikan dengan produk KKG lainnya, yaitu Tabloid Bola. Di mata Riri, ini agak aneh, mengingat KKG adalah grup media cetak yang kuat dengan pemberitaan. Justru MetroTV yang muncul dengan positioning TV pemberitaan. Padahal, Media Group (pemilik MetroTV) adalah pemain baru, sedangkan KKG jauh lebih lama berkecimpung di bisnis media.

Saat ini, Riri menilai, Trans TV dan Trans 7 seakan-akan mengarah ke satu produk dengan dua entitas yang berbeda. Itu pun, menurutnya, tanpa perbedaan yang jelas. “Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Menurut saya, strategi yang harus dianut adalah strategi menguasai segmen pasar lebih banyak dengan positioning yang berbeda,” ujarnya. Agar terlihat perbedaannya, ada baiknya konsep atau positioning yang diusung Trans TV berbeda dari Trans 7.

Kalau diperhatikan, di bisnis media (termasuk TV) secara global saat ini ada kecenderungan ke arah spesialisasi dengan segmen terfokus. Media yang terlalu umum tidak banyak dibutuhkan lagi. Rupanya, industri televisi pun akan mengarah ke sana. Ini terlihat jelas pada Grup Star TV, yang mencakup Star Sports, Star Music, dan lain-lain. Lantas, akankah Trans TV dan Trans 7 juga mengarahkan layarnya ke sana? Tampaknya, belum ke arah itu, lantaran semuanya akan kembali pada seberapa tinggi rating diraih sebuah program. ***

# Tag