Jourdan Hussein dkk, Bhinneka-kan Pelajar Indonesia Lewat SabangMerauke
Berkarya untuk anak bangsa bisa dilakukan dengan berbagai cara. Meski konsepnya sederhana, namun educational value yang menentukan satu program dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Konsep seperti ini lantas dibawa Jourdan Hussein dkk dalam menggaungkan Program SabangMerauke sebagai suatu gerakan pertukaran pelajar, khusus siswa SMP yang mengudara pada akhir Juni depan. Bagaimana pria lulusan Ilmu Pemerintahan dan Hubungan Internasional, Universitas Wesleyan, Amerika yang kini didapuk sebagai salah satu dari 8 tim perumus SabangMeraukeini berkisah tentang proyek terbarunya? Berikut penuturannya dengan Swaonline :
Bagaimana ceritanya tercipta wadah pertukaran pelajar antardaerah SabangMerauke ?
Sejarahnya waktu itu antara Oktober 2012, sebanyak 3 orang yang terdiri dari Ayu Kartika Dewi, Aichiro Suryo Prabowo, dan Dyah Widiastuti terlibat dalam kompetisi yang diadakan oleh Pertamina. Mereka mengajukan konsep pertukaran pelajar antardaerah di seluruh Indonesia melalui program SabangMerauke. Dan akhirnya mereka mendapatkan juara 2. Sekitar Januari 2013, mereka mengajak orang-orang untuk bergabung dengan proyek ini. Dan ternyata gampang sekali mendapatkan orang-orangnya, karena banyak diantara mereka yang punya concern yang sama tentang kebhinnekaan, ke-Indonesiaan, dan pendidikan tinggi. Akhirnya didapatlah 8 orang tim perumus yang mengkonsepkan kira-kira akan dibuat gerakan seperti apa dengan duit hasil lomba ini, yang ke depannya bisa sustainable? SabangMerauke sendiri ini dideklarasikan pada 28 Oktober 2012, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda.
Kira-kira konsepnya sendiri ada hubungannya tidak dengan pengalaman pribadi sang pendiri sampai bisa tergerak membentuk SabangMerauke ini ?
Ada concern dari salah satu co-founder kami yang pernah memiliki pengalaman sebagai minoritas. Yang paling mendalam adalah pengalamannya si Ayu. Ayu ini dulu merupakan salah satu pengajar muda di Indonesia Mengajar yang berdinas di Halmahera. Dia mengajar di salah satu desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sementara Ayu sendiri berasal dari keluarga yang beragam. Ada latar belakang agama Katolik dalam silsilah keluarganya. Lalu apa yang terjadi pada saat ia mengajar? Karena ada latar belakang konflik horizontal di Maluku tahun 1998, anak-anak yang lahir lahir di desa ini akhirnya punya mentalitas “harus membenci” orang Kristen. Karena waktu itu kan konfliknya antara orang Islam dan orang Kristen. Di sana mereka selalu dicekoki oleh orang tua masing-masing bahwa kalau ketemu orang Kristen, maka bisa dihabisi, dibakar rumahnya, dihancurkan, dibunuh, dll. Padahal mereka sendiri belum pernah bertemu dengan orang Kristen. Akhirnya Ayu terdorong untuk mengubah persepsi itu terkait dengan exposure anak-anak untuk melihat perbedaan. Karena memang selama ini mereka belum pernah berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkungan mereka.
Sementara co-founder lainnya, Dyah Wi dan Aichiro pernah mengalami pertukaran pelajar yang mengharuskan posisi mereka berada di pihak minoritas. Dyah pernah berkuliah S2 di Inggris. Sementara Aichiro di Belgia, yang rata-rata penduduknya beragama Katolik. Jadi dia bersekolah di sekolah Katolik. Meskipun begitu, sebagai Muslim, dia mendapatkan perlakuan yang baik. Akhirnya tim perumusnya pun rata-rata punya pengalaman yang sama sebagai minoritas.
Saya sendiri pernah bersekolah di Amerika selama 4 tahun. Kemudian beberapa bulan pertukaran pelajar di China dan Timur-Tengah. Dari situ saya banyak sekali merasakan pengalaman menjadi minoritas. Jadi memang concernnya adalah bagaimana Indonesia ini menjadi negara yang sangat toleran terhadap perbedaan dan memperlakukan minoritasnya dengan sangat baik. Nilai luhurnya seperti keberagaman, pendidikan tinggi, dan semangat ke-Indonesiaan, karena bagian dari program ini memang akan ada exposure terhadap anak-anak yang masih SMP ini kepada berbagai macam hal, supaya mereka bisa melihat kesempatan untuk bisa bersekolah lebih tinggi lagi contohnya, sehingga tidak stuck bermimpi ingin menjadi pelayan, petani, atau ibu rumah tangga saja di daerah mereka.
Boleh diceritakan tidak pengalaman Anda yang katanya tadi pernah menjadi bagian dari minoritas?
Saya kan memang lahir dari keluarga yang cukup kental agamanya. Karena memang tradisi keluarga Minang kebanyakan kuat-kuat dari segi agamanya. Jadi saya disekolahkan di sekolah Islam seumur hidup. Tidak penah ada kesempatan bagi saya untuk masuk ke sekolah negeri, karena memang pesan terakhir kakek saya sebelum meninggal adalah kami harus masuk ke sekolah Islam. Setelah lulus, akhirnya saya mendapat beasiswa di Wesleyan University, Amerika. Itu kaget banget sih, karena pertama kali tinggal di luar negeri langsung menjadi kelompok minoritas. Meskipun begitu, saya mendapat perlakuan yang sangat baik. Tidak hanya di kampus saya, di luar kampus pun banyak orang Amerika yang sangat peka terhadap isu minoritas. Tapi tdak semuanya ya. Apalagi di era sekarang, dimana orang-orang muslim masih susah menjadi minoritas di Amerika. Tapi sekali lagi saya tidak mendapatkan perlakuan seperti itu. Di Amerika sendiri orang-orang Muslim ada asosiasinya, seperti perkumpulan mahasiswa muslimnya. Tidak hanya itu, ada juga perkumpulan anak-anak internasional, perkumpulan orang-orang Indonesia, dan aliansi minoritas. Saya sendiri waktu itu juga bekerja sebagai semacam pemimpin gerakan koalisi antarminoritas yang didedikasikan untuk membela kepentingan kaum-kaum minoritas di kampus selain juga menjadi Presiden perkumpulan mahasiswa muslim di kampus. Dari situ, segala pendapat saya didengar dan orang-orang seakan tidak peduli background saya, yang penting apa yang saya sampaikan adalah baik. Jadi saya mirip aktivis lah di kampus saya dulu.
Saya juga pernah merasakan tinggal di China yang latar belakang agamanya sangat berbeda dengan agama saya. Di sana, saya ditreat dengan sangat spesial sebagai orang Muslim. Tiba-tiba selama 2 bulan di sana, ibu angkat saya bilang kalau selama 2 bulan ini, dia rela ke pasar daging halal supaya saya bisa makan bersama mereka. Saya kaget banget kan!! Wah baik sekali ibu angkat saya karena tiap hari harus genjot sepeda untuk beli daging halal.
Lalu waktu itu saya pernah 6 bulan di Timur Tengah, seperti Mesir, Jordan, Syria, Lebanon, dan Turki. Tapi paling lama di Jordan. Karena jurusan saya Ilmu Pemerintahan dan Hubungan Internasional sehingga selama 6 bulan itu saya harus belajar di luar kampus. Pertama sih pilihannya antara Australia dan Jordania. Tapi saya pikir kapan lagi bisa ke tempat yang secara nalar tidak mungkin dijamah banyak orang seperti Jordania ini. Kalau Australia kan bisa dikunjungi kapan saja. Jadi saya putuskan untuk ke Jordania. Di sana saya melihat minoritas di dalam agama saya sendiri. Ada orang Syiah di Syria, ada orang Alevi di Turki, dll. Jadi saya lihat bahwa dalam agama Islam pun yang katanya 1 identitas sebagai orang muslim, ternyata ada berbagai macam orang minoritasnya juga di dalamnya. Orang Kristennya pun berbeda-beda. Jadi hal tersebut semakin membuka mata sekali lah tentang dunia.
Kembali lagi ke SabangMerauke, apa sih tujuan gerakan ini ?
Visi terdepannya adalah menerapkan pertukaran pelajar antarwilayah di Indonesia yang masih duduk di bangku SMP. Jadi bisa dengan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dsb. Tujuannya supaya ada mutual exchange antarpelajar Indonesia. Kami merumuskan satu kesepakatan hingga dikerjakan secara profesional. Akhirnya dipikirkan ala proyek dulu deh. Kami akan ada pertukaran pelajar dari luar Jakarta ke Jakarta. Karena menurut kami, kota di Indonesia yang paling prefer adalah Jakarta. Semua daerah terrepretasikan di sini. Ada interkoneksi beberapa etnis. Lalu kami mengadakan rapat bulan Januari 2013, dan didapatkan kesepakatan bahwa pertukaran pelajar paling ideal dilaksanakan selama 2 minggu.
Kenapa SabangMerauke fokusnya ke anak-anak sekolah?
Karena kami pikir bahwa saat-saat sekolah itu adalah masa-masa paling kritis untuk bisa memahami atau meyakini apa yang akan terjadi di dunia ini. Dulu waktu sekolah saya juga pernah berpikir bahwa di dunia ini hanya ada orang Islam. Di luar itu memang ada, tapi tidak terlalu mendominasi. Waktu SMP/SMA, pikiran saya memang hanya terbatas pada konteks Indonesia. Ya saya tahu ada agama Kristen, dll, tapi itu konteksnya Pancasila segala macam. Jadi kesempatan saya untuk mengetahui sesuatu itu terbatas pada lingkup sekolah dan lingkup saya tinggal di rumah. Jadi kami pikir ini saat-saat paling kritis dimana anak-anak harus diekspos pada perbedaan. Kami ingin mengenalkan hal ini lebih dini sehingga penerimaan konteks perbedaan ini lebih cepat.
Kapan terlaksana pertama kali?
Rencananya untuk batch 1-nya dari 29 Juni-14 Juli. Intinya 2 minggu.
Berarti baru perekrutannya ya?
Iya, kami baru kemarin tutup pendaftaran untuk seleksi dan alhamdulilah banyak sekali yang ikutan. Ada lebih dari 280 orang yang mendaftar sebagai calon anak SabangMerauke ini. Jadi kami agak kaget dan tercengang. Secara keseluruhan animonya cukup tinggi.
Artinya memang program ini belum berjalan?
Iya. Kami sedang merumuskan semuanya. Kurikulumnya juga sedang kami lengkapi, outcome yang kami mau seperti apa, konsep keluarganya juga sedang dipilih, siapa saja yang akan menjadi keluarga angkatnya selama di Jakarta, kakak asuhnya, dsb.
Kalau mekanisme untuk bergabung?
Itu ada formulir pendaftarannya. Jadi kemarin kami pilih tanggal 21 April-20 Mei untuk menyebarkan aplikasinya lewat email. Nanti dikirim balik lewat email juga kepada kami. Ada juga beberapa daerah terpencil yang kirim lewat pos. Jadi kami menggunakan network kami yang ada di seluruh Indonesia untuk menggaungkan program ini.
Ingin melibatkan berapa anak dulu dalam batch 1?
10 anak dulu.
Kegiatan selama 2 minggu itu apa saja?
Kurikulumnya kami bagi menjadi hari-hari tematik. Ada National Day, Religious Day, Technology Day, Career Day, Family Day, dll. Jadi bertema-tema. Misalnya pada saat Religious Day, kami ajak ke Masjid Istiqlal, Katedral, Kuil, Pure, dll. 2 minggu itu full.
Apakah anak-anak tersebut akan diberi insentif misalnya uang saku sebagai penyemangat selama mengikuti program ini?
Tidak lah. Kami lebih pikirkan agar anak-anak ini bisa mendapatkan pengalaman berharga yang dapat mewarnai hidup mereka. Dan pengalaman untuk terekspose kepada sesuatu yang di luar kehidupan mereka sehari-hari itulah yang kami jual. Dan ini sifatnya gratis, semua biaya ditanggung semua. Mungkin nanti kunjungan kemana-mana mereka akan dapat goody bag-goodybag-nya, orang-orang banyak, pelajaran, dll. Jadi hal-hal yang sifatnya lebih dari uang, karena pengalaman tidak bisa dibeli dengan uang.
Bagaimana kiat untuk membesarkan program ini?
Ini gerakan yang berbasis kesukarelawanan ya. Kadang gerakan-gerakan sosial seperti ini kan berasal dari program CSR-nya perusahaan. Sementara kami ingin membuat gerakan yang dikelola oleh beberapa orang tapi ownershipnya dimiliki oleh masyarakat luas. Makanya kami melibatkan volunteer dan melibatkan konsep crowdosurcing , dimana bagian dari ini adalah crowdfunding (patungan). Jadi orang-orang bisa menyumbang uangnya ke sini. Karena kredibilitasnya memang menjaga agar gerakan ini tetap ada momentumnya di masyarakat dan secara financial juga sustainable. Makanya dari strateginya juga sedang kami pikirkan dari Januari hingga sekarang. Apakah itu strategi networking dan stakholder managementnya, communication managementnya, corporate engagementnya, atau jika kami ingin melibatkan volunteer, maka prosesnya seperti apa, dll. Jadi seperti nonprofit yang gerakannya bertujuan untuk menyebarkan semangat kebhinnekaan dan kemajemukan.
Bisa dibilang ini NGO ya?
Iya, kami ada Yayasan Seribu Anak Bangsa, yang teregister di Kemenkumham.
Adakah sponsor yang membiayai program ini?
Tidak ada sponsor. Memang strateginya masih belum rampung. Tapi intinya kami sedang merumuskan bagaimana membuat program bina anak bangsa ini kuat secara financial, momentum, dan human recources.
Lantas siapa yang mendanai keberlangsungan program ini?
Dari kompetisi yang diselenggarakan Pertamina kami ada dana awal. Ke depannya kami akan ada engagement dengan berbagai macam stakeholder, apakah dari perusahaan, nonprofit, pemerintah, dll. Tapi kami akan tentukan konsepnya seperti apa, karena kami tidak mau ada suatu individu atau entity yang mendominasi kejayaan SabangMerauke ini. Kalau misalnya ada sumbangsih yang lebih dari apa yang kami harapkan, dananya akan kami alokasikan sehingga tidak ada dominasi di funding kami. Konsep patungan lah istilahnya. Nanti langkah yang kami pikirkan ke depannya seperti apa baru kami godok, karena gerakan ini harus terus bergulir setiap tahun. (EVA)