Di antara regulasi baru yang menimbulkan pro-kontra di industri ini adalah penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 74/2007 tentang Pertanggungan Asuransi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor. Inti peraturan ini: adanya lima kategorisasi tarif premi asuransi. Contohnya, kategori pertama, uang pertanggungan Rp 0-150 juta dikenai tarif premi pertanggungan Total Loss Only 0,74% dan tarif premi komprehensif 2,18%. Dampak peraturan ini, nasabah harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar premi asuransi. Nah, inilah yang diperdebatkan karena dikhawatirkan industri pembiayaan menjadi lesu.

Peraturan baru lainnya yang juga sedang hangat adalah Peraturan Bank Indonesia, yakni PBI No. 8/6/PBI/2006 mengenai Risk Management Consolidation, antara induk perusahaan (dalam hal ini bank) dengan anak perusahaan. Jadi, peraturan ini hanya berlaku bagi perusahaan pembiayaan yang dimiliki oleh bank seperti PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk, (WOM Finance) yang mayoritas sahamnya dipunyai Bank Internasional Indonesia (BII), atau PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk. yang saham mayoritasnya dimiliki Bank Danamon. Inti PBI ini, perusahaan asuransi harus melakukan pencadangan aktiva produktif (provisi) dari kredit yang dikucurkannya.

Contohnya, jika kredit nasabah mengalami keterlambatan pembayaran 1-90 hari, dikenai provisi 5% yang harus dicadangkan si perusahaan pembiayaannya. Yang tertinggi, jika terlambat lebih dari 180 hari dikenakan provisi 100%. Ã¢â‚¬Å“Dampaknya buat kami adalah dana pencadangannya jadi besar,Ã¢â‚¬Â ujar Suwandi Wiratno, Presdir WOM Finance. Pencadangan itu menggerus laba perusahaan. Seperti per 30 Juni 2007, perusahaan ini membukukan penurunan laba bersih 84,95% menjadi Rp 9,03 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya Rp 60,05 miliar.

Diakui Suwandi, memang ada beban di awal, tapi ia yakin ke depan justru akan lebih baik karena risiko sudah dikover duluan. Ã¢â‚¬Å“Ini soal waktu saja. Ini seolah-olah jadi beban, tapi di kemudian hari akan jadi sebuah keuntungan,Ã¢â‚¬Â ungkapnya sambil menegaskan, cara menyikapi PBI ini tergantung pada bagaimana melihatnya. Bagi WOM, ini merupakan hal positif. Tak mengherankan, meski PBI itu berlaku efektif akhir tahun ini, WOM sejak April lalu sudah menerapkannya.

Senada dengan Suwandi, Suhartono, Presdir PT Federal International Finance (FIF), mengatakan, perusahaan pembiayaan sebaiknya beroperasi seperti bank. Artinya, perusahaan pembiayaan memiliki cadangan risiko yang benar karena industri multifinance memiliki aset yang tak sedikit, mencapai ratusan triliun. Ã¢â‚¬Å“FIF sejak awal konservatif sehingga selalu mencadangkan untuk mengover risiko itu,Ã¢â‚¬Â ungkapnya. Menurutnya, ada atau tidak adanya aturan dalam bisnis perkreditan, yang terpenting adalah funding dan risk management. Korelasinya, perusahaan yang memiliki risk management yang ketat akan sangat selektif dalam memilih nasabah.

Sementara Wiwie Kurnia, Ketua Asosiasi Pembiayaan Indonesia (APPI), mengungkapkan, adanya PBI No. 8 itu sifatnya lebih kepada internal perusahaan pembiayaan, khususnya yang dimiliki bank. Sementara PMK 74 imbasnya juga akan dirasakan nasabah. Kendati, PMK lebih berimbas pada pembiayaan mobil dibanding sepeda motor karena kucuran kreditnya lebih besar. Hanya saja, Wiwie menggarisbawahi, sebaiknya peraturan yang dibuat regulator tidak terlalu mencampuri ke dalam. Ã¢â‚¬Å“Itu nggak bagus juga,Ã¢â‚¬Â Presdir PT Mega Central Finance ini mengingatkan.

Bagaimanapun, menurut Wiwie, bisnis multifinance berperan dalam perekonomian di negeri ini. Apalagi, jaringan industri ini telah mencapai pelosok kecamatan. Ã¢â‚¬Å“Saat ini ada 141 perusahaan multifinance yang tergabung dengan APPI. Total multifinance yang terdaftar di Depkeu, termasuk yang tidak aktif, ada 216,Ã¢â‚¬Â ungkapnya.

Bagi Susilo Sudjono, pengamat bisnis pembiayaan, bisnis multifinance sekarang jauh lebih bagus dibanding sebelum krisis. Ã¢â‚¬Å“Multifinance sekarang tidak ada yang dimiliki konglomerat hitam. Semua multifinance saat ini mempunyai kolateral yang terkait dengan transaksinya,Ã¢â‚¬Â ucapnya sambil membandingkan, dulu ada perusahaan yang digunakan sebagai jalan pintas untuk menarik dana masyarakat yang kemudian diberikan kepada grupnya sendiri. Ã¢â‚¬Å“Artinya, perusahaan pembiayaan sekarang lebih sehat,Ã¢â‚¬Â mantan Ketua APPI ini menegaskan.

Nah, sekarang tantangannya tergantung pada jenis multifinance-nya. Seperti pembiayaan motor, tantangannya adalah menghadapi jumlah transaksi yang luar biasa dari ratusan ribu hingga jutaan nasabah, sehingga yang harus diperkuat adalah sistemnya, dari ujung kuku sampai jantungnya. Kedua, SDM juga sangat penting dan tidak gampang didapatkan, sehingga sering terjadi bajak-membajak meski berbiaya tinggi. Ketiga, multifinance sekarang harus fokus. Ã¢â‚¬Å“Makanya, sekarang ada pembiayaan berdasarkan merek,Ã¢â‚¬Â ujar Susilo. Tak lupa, jaringan juga harus diperkuat hingga ke pelosok daerah.

Apa yang diungkap Susilo diamini Suwandi dan Suhartono. Jangan heran, baik WOM maupun FIF terus memperkuat sistem teknologi informasi dan jaringanya. Apalagi, daerah menjadi bidikan hampir semua multifinance, terutama untuk roda dua. Ã¢â‚¬Å“Target kami tahun ini membiayai 450 ribu unit atau Rp 4,5 triliun dengan pertumbuhan rata-rata 10% per tahun,Ã¢â‚¬Â kata Suwandi yang Juli lalu diangkat jadi Presdir WOM.

Sementara FIF, tahun ini menargetkan membiayai 850 ribu motor baru dan 250 motor bekas dengan total pembiayaan Rp 10 triliun. Tahun 2006 anak usaha Astra ini menargetkan 700 ribu unit, tapi tercapai 1 juta unit; dan motor bekas 150 unit, tercapai 190 unit. Ã¢â‚¬Å“Dalam operasinya, kadang pencapaiannya bisa di atas target,Ã¢â‚¬Â kata Suhartono yang memimpin FIF sejak April lalu. Dan yang pasti, kedua petinggi perusahaan itu sepakat, regulasi sangat diperlukan agar pagar bisnis pembiayaan makin kokoh, sehingga industri ini jadi lebih sehat.

Dede Suryadi