Membenahi ?Kesemrawutan? Pengelola Pasar Becek
Dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk mencapai 12 juta jiwa, Jakarta jelas merupakan lahan subur bagi bisnis ritel. Indikatornya tak sulit didapat. Lihat saja di seantero kota ini. Para pengusaha ritel berlomba membangun pusat belanja, bila perlu dengan menggusur pasar tradisional, perumahan penduduk, bahkan sekolah. Yang berlaga di Ibu Kota kini tak lagi terbatas pada perusahaan ritel domestik, semacam Matahari, Ramayana, Hero, Yogya, Borobudur, Alfa dan lainnya, tetapi juga peritel kelas kakap dari mancanegara seperti Makro, Giant dan Carrefour. Yang belakangan itu malah tak segan mendompleng IMF agar bisa berlaga di tengah kota, meski yang dibangunnya hypermarket yang notabene dapat menggantikan fungsi pasar.
Ironisnya, di sisi lain PD Pasar Jaya -? pemilik 151 jaringan pasar tradisional (67.771 tempat usaha/kios) — justru nampak semakin suram, kelelahan dan meranggas. Dapat dilihat dari kondisi fisik pasar-pasarnya sekarang. Menurut data yang sempat dikumpulkan SWA, dari 151 pasar yang dimiliki Pasar Jaya, hanya 27 unit yang berkondisi baik (18%). Sisanya: 14 unit rusak ringan, 59 unit rusak dalam tingkatan medium, dan yang rusak berat 51 unit. Dari sisi usia keadaan pasar itu juga bervariasi. Dari 151 pasar tadi, yang usianya di bawah 10 tahun cuma 22 unit. Sisanya: 41 unit berusia 10-20 tahun, 80 unit berumur 20-30 tahun, dan 8 unit di atas 30 tahun. Berarti, 85% pasar-pasar tadi tak pernah direnovasi selama 10 tahun lebih. Padahal, pemasukannya ke kas daerah tentu ada.
Nampaknya, manajemen Pasar Jaya atau setidaknya Pemda DKI sebagai bos, enggan menggelontorkan dana untuk menjadikan pasar-pasar itu tempat belanja yang nyaman. Pasalnya, Pasar Jaya tak mampu berkontribusi signifikan ke kas Pemda DKI. Akibatnya, konsumen berduit lebih senang berbelanja ke mal, plaza, supermarket ataupun hypermarket yang dimiliki swasta.
Anehnya, manajemen Pasar Jaya tidak sedih atau panik, ketika konsumennya diserap pasar-pasar swasta yang modern dan wangi. Manajemen pun tak peduli ketika pasar yang dibangunnya — Pasar Pramuka, misalnya — melompong alias sepi penjual dan pembeli. Bahkan, ketika asetnya yang bagus semacam Pasar Senen, Pasar Jatinegara dan Pasar Tanah Abang terbakar, tak kelihatan ada upaya manajemen Pasar Jaya untuk mengusutnya. “Kami peduli. Saat Pasar Tanah Abang Blok A terbakar, Pasar Jaya kehilangan pendapatan Rp 700 juta-1 miliar per bulan. Masa kami enggak peduli,? ujar Dirut Pasar Jaya yang baru Prabowo Soedirman. Namun, dia tak bisa menyebut upaya apa saja yang telah dilakukan jajarannya untuk mengusut. Dia menjamin, di masa kepemimpinannya pola bakar pasar untuk membangun mal baru tidak akan terjadi lagi.
Toh, secara umum kondisi Pasar Jaya yang memprihatinkan itu sedikit-banyak diakui Prabowo. Menurutnya, sejak berdiri hingga sekarang, kondisi Pasar Jaya boleh dikata tidak banyak berubah. Upaya pembenahan bukan tak pernah dilakukan. Pernah, tapi sayang tidak begitu berhasil karena beberapa faktor. Salah satunya, tidak adanya kemauan melakukan perubahan. “Boleh jadi, manajemen lama sudah berpikir untuk melakukan berbagai perubahan, tapi tidak berani mengambil langkah nyata,” kata Prabowo berteori. “Jadi apa yang disebut pembenahan di Pasar Jaya seolah-olah tak pernah ada. Itulah sebabnya kondisi Pasar Jaya stagnan,” sambungnya. Seharusnya, menurut Prabowo, bisnis properti dan ritel seperti pasar, sangat terukur dari segi pendapatan dan biaya-biayanya. Sekecil apa pun pembenahan itu, pasti menimbulkan perubahan.
Sebagai nakhoda baru di Pasar Jaya, kini Prabowo memperkenalkan empat program pembenahan. Pertama, rasionalisasi karyawan. Ini dimaksudkan untuk menekan biaya tenaga kerja yang mencapai 45%-50% pendapatan, jauh di atas kondisi ideal yang hanya 25%. “Rasionalisasi kini sudah selesai dilakukan dengan mengurangi karyawan dari 3 ribu menjadi sekitar 2.200 orang,” Prabowo menguraikan. Dampaknya? “Rasionalisasi ini bisa menghemat Rp 1 miliar per bulan,” jawab Dirut BUMD itu.
Langkah kedua yang diayunkan Prabowo, restrukturisasi organisasi. Dia mengungkapkan, sebelum ia menjadi orang nomor satu di Pasar Jaya, di perusahaan ini terdapat 560 jabatan, yang membuat perusahaan tidak efektif dan efisien. Solusinya? “Kami buat sistem zoning yang berlaku sejak 1 November 2003. Lewat sistem ini, satu orang manajer area mengelola 5-8 pasar, dibantu dua wakil dan beberapa asisten manajer,” tutur Prabowo. Sebelumnya, lanjutnya, satu pasar dikelola satu manajer. Dengan tindakan itulah Prabowo berhasil menciutkan jabatan menjadi sekitar 160 jabatan saja.
Ketiga, optimalisasi pengelolaan aset. Menurut Prabowo, Pasar Jaya saat ini tengah menghitung kembali tarif iuran yang layak kepada pedagang. Aspek depresiasi rupiah, biaya operasional dan aspek lainnya ikut dihitung untuk menentukan tarif baru. “Dulu tarif sewa kios setiap bulan cuma Rp 1.500/m2, dan sudah berjalan sejak 1996. Tarif ini tidak sesuai lagi,” kata Prabowo. Langkah ini nampaknya belum tuntas, karena tarif masih ditentukan Gubernur DKI. Prabowo berharap suatu saat nanti Pasar Jaya diberi otonomi mengurus dirinya sendiri.
Masih dalam upaya optimalisasi aset, Prabowo menyoroti area perparkiran. Selama ini dari area parkir seluas 143.394,68 m2, Pasar Jaya cuma mendapat setoran Rp 12 miliar. Alasannya, “Selama ini karcis dan uang parkir hanya berputar pada beberapa oknum, dan tidak pernah sampai ke kas Pasar Jaya. Padahal, setelah dihitung, pendapatan parkir bisa mencapai Rp 25-30 miliar/tahun,” kata Prabowo meyakinkan.
Untuk merealisasi pendapatan sebesar itu, Prabowo lantas memodernisasi sistem peparkiran. Langkah ini dilakukan sejak Oktober 2003, dan akan terus berlangsung sampai Mei 2004. “Pada tahap pertama, lahan parkir di 51 pasar akan dimodernisasi dan dikelola sendiri. Sistemnya dibuat online. Dengan begitu, jika terjadi kecurangan di salah satu lahan parkir, bisa langsung diketahui petugas di kantor pusat, sehingga kecurangan dan kebocoran bisa diminimalisasi,” papar Prabowo.
Prabowo tak menghentikan langkah pembenahannya sampai di areal parkir, tapi terus berlanjut ke sektor pedagang kaki lima (PKL). Menurut perhitungannya, sektor PKL sebenarnya bisa menyumbang ke kas Pasar Jaya hingga Rp 6 miliar. Namun kenyataannya, selama ini sumbangan PKL tidak seberapa. Nah, iuran yang selama ini ditarik Rp 1.000/lapak, sejak 1 November 2003 dinaikkan menjadi Rp 5 ribu/lapak. Tidakkah kemahalan? Bukankah mereka juga sudah dikenai pungutan-pungutan lain, termasuk oleh preman? “Angka ini cukup sesuai dengan pendapatan mereka. Diharapkan dengan cara ini mereka yang tak mampu membayar, akan tersingkir,” Prabowo menegaskan. “Untuk meminimalisasi kebocoran dan kecurangan, tenaga keamanan dan kebersihan akan di-outsource (dialihdayakan). Selama ini keamananlah yang menjadi sumber persoalan. Mereka yang mendatangkan PKL, mereka juga yang mengutip uang keamanan,” tuturnya bersemangat. Dengan sejumlah pembenahan itu, Prabowo berharap laba Pasar Jaya yang selama ini cuma Rp 10 miliar, bisa meningkat 250%-300% menjadi Rp 25-30 miliar/tahun.
Pasar Jaya sebenarnya memiliki tiga tugas pokok, yaitu sebagai penyedia tempat usaha, membina pedagang dan distribusi. Selama ini, tampaknya cuma yang pertama dan kedua, sedangkan tugas ketiga nyaris tak tersentuh. Prabowo berjanji, di bawah kepemimpinannya fungsi ketiga itu bisa pula dioptimalkan. Untuk itu, dia sudah punya rencana. ?Tahun depan Pasar Jaya akan masuk ke bisnis distribusi,? Prabowo berujar. Prabowo nampaknya tak akan menemui kendala berarti dalam soal distribusi. PD Waserda Jaya juga akan dijadikan kendaraan. Ini dapat ditebak, sebab sejak Agustus 2003 Pasar Jaya memperoleh mandat mengelola Waserda Jaya yang memang bergerak di ritel dan distribusi. “Nantinya Waserda Jaya akan menjadi distributor berbagai produk kepada pedagang, bekerja sama dengan koperasi pasar dan produsen,” Prabowo menerangkan.
Selain itu, Pasar Jaya juga akan dibawa Prabowo memasuki bisnis keuangan dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Alasannya? “Dalam akte pendirian Pasar Jaya memang dimungkinkan mendiversifikasi usaha ke perbankan,” jawabnya enteng. “Para pedagang pasar kan sulit mendapatkan kredit dari bank-bank nasional. Nah, BPR kami nantinya membantu mereka di daerah operasional kami, yaitu di pasar,” lanjutnya. Prabowo menyadari, masuk ke bisnis perbankan mengandung risiko tinggi. Sebab, mengurus bank pastilah tak sama dengan buka warung. Diperlukan SDM yang mumpuni untuk mengelola, di samping sistem kontrol yang bagus. BNI yang punya tenaga andal seabrek saja bobol oleh kolusi penjabat lama dan orang dalam. Prabowo cuma angkat bahu ketika dibenturkan dengan masalah itu. Dia bertekad bisa menaikkan penghasilan Pasar Jaya sampai 200%. Tahun lalu, ia menyebutkan, Pasar Jaya membukukan penghasilan bersih Rp 98 miliar.
Prabowo mengakui, uang kas Pasar Jaya sudah berkurang sekitar Rp 20 miliar dari sebelumnya (Rp 35 miliar). Toh, dia tidak khawatir lantaran dana itu memang telah dipakai untuk membayar pesangon karyawan yang di-PHK-kan. Apalagi, kondisi itu telah dapat diatasi. Pundi-pundi Pasar Jaya, disebutkan Prabowo, telah penuh lagi dan kini berjumlah Rp 60 miliar. Menurutnya, cash in itu diperoleh dari kerja sama dengan pihak ketiga pembangun Pasar Tanah Abang. “Mereka kami minta menyetor dana lebih dulu,” ujar Prabowo, yang tak bersedia menyebut siapa pihak ketiga pembangun Pasar Tanah Abang yang royal itu.
Dana yang ada kini dicanangkan Prabowo untuk merehabilitasi pasar eks Inpres. “Kami akan mulai benahi dari pasar yang paling bawah,” katanya serius. Adapun program optimalisasi aset, lanjut Prabowo, tanpa biaya sama sekali. “Yang diperlukan cuma keberanian,” ia menegaskan. Prabowo berencana menjadikan Pasar Jaya sebagai BUMD terbesar di Indonesia. “Pembenahannya memang ke dalam dulu, baru ke luar, sehingga ketika bersaing dengan pemain lain, kami enggak kagok,” paparnya datar. “Kami sudah menang satu langkah. Kami punya tempat, pedagang dan konsumen, sedangkan mereka harus buka baru,? tutur Prabowo dengan nada optimistis. Akankah ia berhasil, ataukah Pasar Jaya tetap jalan di tempat? Kita masih harus menunggu ?kerja keras? Prabowo menggulirkan pembenahan di Pasar Jaya.
Reportase : Maulana Yudiman