Editor's Choice

Perry Tristianto: Izin Usaha di Bandung Gampang , tapi Membingungkan

Perry Tristianto: Izin Usaha di Bandung Gampang , tapi Membingungkan

Perintis bisnis factory outlet (FO) di Bandung, Perry Tristianto, mengaku, mengurus izin usaha di Bandung tergolong gampang. Masalahnya, perizinan itu kerap membingungkan. Ada kawasan hunian yang mestinya tidak boleh dijadikan tempat usaha, tapi di sana malah dijejali kafe dan FO. Apa saja pengalaman Perry dalam menjalankan bisnis di Kota Kembang, dituturkan kepada Ria Efriani Pratiwi berikut ini:

Apa saja bisnis yang Anda kelola saat ini?

Selain di FO, saya juga mengembangkan bidang rekreasi (wisata) dan kuliner. Misalnya Floating Market, The Ranch, Tahu Susu, dan Rumah Sosis. Kecuali FO di Bandung, yang lainnya ada di Lembang.

Perry-FO

Sejak kapan Anda berbisnis di Kota Bandung?

Saya sejak 1990 sudah merintis bisnis di sini. Kalau FO-nya sendiri saya dirikan tahun 1995.

Apa alasan Anda mendirikan bisnis di Kota Bandung?

Ya, karena saya orang Bandung, he..he..he.. Lalu karena Bandung memang kota wisata ya, jadi arah bisnis saya semuanya ke wisata.

Apa dari dulu Anda sudah melihat prospek Kota Bandung sebagai tempat berbisnis?

Ya, saya melihat Bandung itu selalu dipadati oleh orang-orang dari luar Bandung pada akhir pekan.

Kenapa dulu Anda memutuskan mendirikan FO?

Karena dulu apa-apa yang berhubungan dengan pakaian selalu berasal dari Bandung. Jadi Bandung itu terkenal dengan pakaiannya, maka saya mendirikan FO. Saya yang pertama mendirikan FO di Bandung. Ini kerjasama dengan pabrik-pabrik pakaian yang untuk diekspor, sisa-sisanya yang tidak diekspor saya ambil. Sekarang jumlah FO-nya saya kurangi, paling hanya lima di Bandung. Itu karena saya pikir sekarang orang sudah jarang pergi ke FO kalau ke Bandung, tapi malah lebih banyak yang pergi untuk wisata kulinernya. Jadi yang sekarang kita lakukan adalah memaksimalkan lima cabang (FO) yang sudah ada itu.

Apa kemudahan yang sudah diberikan Pemkot Bandung kepada para pengusahanya sejauh yang Anda tahu?

Kalau mengurus izin itu kita termasuk mudah ya. Di Bandung ini banyak Perda soal tempat pemukiman, di mana sebenarnya di tempat itu tidak boleh jadi tempat usaha, tapi malah bisa jadi tempat usaha. Misalnya di Jalan Cipaganti. Jadi itu persoalan izinnya yang kadang-kadang bisa membuat bingung.

Ada daerah-daerah tertentu yang Pemkot tidak berani mengeluarkan izin, misalnya dia bilang suatu tempat atau jalan itu sebagai tempat pemukiman, tapi Perdanya tidak ada, jadi membingungkan kita (pengusaha). Jadi untuk memilih lokasi tempat usaha, kadang-kadang masih suka bingung, ini boleh atau tidak (didirikan tempat usaha).

Berarti memang tidak boleh ya sebenarnya membangun tempat usaha di pemukiman?

Ya, itu Perdanya tahun 1991 dan 1992. Sekarang itu tidak boleh membangun usaha di pemukiman, karena ada Perda itu. Tapi misalnya Jalan Dago, juga Jalan Braga yang berdiri banyak kafe di sana, hanya karena tidak ada Perdanya, padahal itu tempat pemukiman sebenarnya. Nah, itu yang bikin saya bingung juga. Jadi sebenarnya mengurus (izin)nya gampang, tapi membingungkan. Perda yang tahun 1991-1992 itu soal tempat pemukiman, misalnya di Jalan Buah Batu juga, di sana harusnya tempat pemukiman saja, tapi sekarang banyak usaha dibangun di sana.

Kalau belum ada Perda seperti itu, berarti pengusaha tersebut izinnya sebagai tempat usaha atau pemukiman?

Kalau belum ada Perda begitu, izinnya tetap tempat usaha, tapi memang ada juga yang tidak pakai izin (mendirikan usaha) atau ilegal. Kebanyakan yang seperti itu ya usaha kafe-kafe itu. Mereka berkembang sekali di Bandung, tapi perizinannya masih membingungkan. Kalau FO kan (izinnya) sudah jelas dong, karena sudah kita urus dulu. Itu contohnya seperti kafe yang kemarin ada artis (Nikita Mirzani) berantem itu, kafenya itu sebenarnya tidak punya izin (berdiri). Kemudian, juga ada Perda yang melarang pembukaan usaha kafe atau tempat hiburan sejenis selama bulan Ramadhan, tapi ternyata itu masih dibuka. Jadi bagaimana dengan itu?

Berarti Pemkot Bandung memang tidak tegas memberikan sanksi terhadap pengusaha yang melanggar Perdanya?

Ya, makanya saya masih menunggu (ketegasan Pemkot) itu, karena saya juga sebagai orang yang vokal terhadap persoalan aturan-aturan di Bandung ini. Kalau usaha kafe seperti itu bisa tetap buka, sementara Perdanya melarang, bisa-bisa di Bandung ini jika ada usaha ilegal prinsipnya “mending minta maaf, daripada minta izin” kan. Seperti contoh kafe yang saya bilang tadi, dia saja izinnya tidak ada, lalu kalau bulan puasa kan tempat usaha yang berhubungan dengan alkohol harusnya ditutup, tapi kok dia malah buka? Itu kan aneh jadinya.

Berarti yang harus diperbaiki oleh Pemkot adalah persoalan ketegasannya dalam menegakkan Perdanya?

Ya, jadi mereka memang harus lebih tegas, kalau tidak boleh ya tidak boleh. Kalau soal biaya pengurusan izin usaha kan bisa mengikuti saja

Bagaimana dengan pembayaran pajaknya, apakah tidak membingungkan juga bahwa itu pajak untuk rumah tinggal atau tempat usaha?

Kalau pajak yang ditarik Dirjen Pajak sih semua yang membuat usaha memang harus bayar pajak kan. Bahkan ada tempat usaha yang belum ada izinnya, tapi PPKP-nya tetap diambil. Tapi yang jadi masalah di Bandung itu adalah soal perizinan tempat usaha yang dibangun di tempat pemukiman. Kalau saya lihat di Jakarta, misalnya di Jalan Arteri Pondok Indah, ditulis jelas-jelas pada sebuah plang besar di pinggir jalan, bahwa di situ adalah tempat pemukiman yang tidak boleh dijadikan tempat usaha. Kalau di Bandung tidak ada yang seperti itu.

Kalau soal birokrasi dari Pemkot sendiri bagaimana? Karena kan ada beberapa daerah di Indonesia yang birokrasi pengurusan izinnya sangat lama, sehingga menyusahkan pengusaha.

Di Bandung ini kan orang-orang (di pemerintahannya)nya itu-itu saja, jadi pasti sudah kenal semuanya. Itu urus-urus saja jadinya. Misal, katanya dulu FO tidak boleh dibangun di Jalan Dago, tapi sekarang sudah muncul bisnis yang sama tapi tidak pakai nama FO, melainkan Galeri Pakaian atau apalah. Jadi apa bedanya?

Berarti memang banyak celah ya pada peraturan yang dibuat Pemkot sendiri, sehingga bisa dimainkan beberapa pengusaha yang maunya dapat izin dengan gampang?

Ya, memang banyak celah. Makanya saya juga bingung. Saya juga tidak setuju yang seperti itu.

Lalu, apa masukan Anda untuk Pemkot supaya mereka bisa memperbaiki layanan dan birokrasi kepada pengusaha?

Mereka harus memberikan informasi (perizinan pendirian usaha, termasuk peraturan) yang jelas kepada pengusaha. Bahkan dari BKPM Kota Bandung sendiri saja tidak ada pemberitahuan seperti itu. Kalau kita tanya baru dijawab, ya susah dong. Misalnya peraturan untuk pedagang kaki lima, di suatu plang besar tertulis bahwa kawasan tempat mereka jualan itu adalah kawasan tujuh titik. Tapi kan masyarakat awam tidak tahu apa yang dimaksud dengan tujuh titik itu. Jadi harusnya ada sosialisasi izin yang sejelas-jelasnya kepada masyarakat Bandung dong. Sehingga kalau pengusaha yang membuka tempat usaha seenaknya sendiri, maka bukan hanya pemerintah kota saja yang bisa melarang, tapi warga juga bisa protes soal itu karena sudah tahu aturan persisnya. Harusnya seperti di Jakarta, di mana aturan itu ditulis di plang besar di daerah atau kawasan yang dimaksud, karena kalau hanya sekadar peraturan kan itu masih banyak celahnya.

Bagaimana dengan infrastruktur, apa yang sudah bagus dan masih kurang di Kota Bandung?

Kalau di Bandung ini mau dibangun infrastruktur jalan sampai segimana lagi juga sudah tidak bisa, karena luas kotanya juga cuma segini-segini saja. Jadi pasti macet kan, tapi yang penting adalah bagaimana kita membuat kemacetan ini indah. Maksud saya, di tempat macet itu, jalannya jangan rusak dong, serta penghijauannya juga harus bagus, dan pastinya harus bersih lingkungannya. Singapura juga panas kan, tapi hijau (lingkungannya). Jadi walaupun macet, orang-orang masih akan tetap rela ke Bandung. Misal orang dari Jakarta masih akan bilang bahwa kemacetan di Bandung masih tidak separah di Jakarta, karena lingkungan sekitarnya juga bikin nyaman.

Kalau Pemkot tidak bisa mengurus perbaikan jalan yang rusak atau menghijaukan lingkungan, karena misalnya tidak ada dana untuk itu, maka ketika seorang pengusaha mengurus perizinan pendirian tempat usaha, pihak Pemkot harusnya bisa memberikan syarat bahwa izinnya bisa dikeluarkan, tapi si pengusaha diharuskan menghijaukan lingkungan di sekitar tempat usahanya, dengan menyediakan tempat sampah, dan sebagainya. Dengan ada persyaratan khusus dari Pemkot seperti itu, pasti si pengusaha akan mengikutinya.

Dalam setahun, biasanya berapa peningkatan omset bisnis Anda?

Meningkat mungkin tidak ya, tapi saya berusaha mempertahankan saja omset bisnis saya supaya minimal sama dengan tahun sebelumnya. Kalau orang berbisnis di Bandung kelihatannya indah, tapi investasinya tinggi sekali, karena biayanya hampir sama seperti Jakarta. Sedangkan pasar Jakarta dengan Bandung itu berbeda. Misalnya satu kafe atau restoran di Bandung itu untuk mencari Rp10 juta dalam sehari saja sulit, tapi bagi pedagang di pinggir jalan untuk mencari Rp 3 – 4 juta itu gampang. Itu artinya orang Bandung tetap senangnya ke yang tradisional. Kalau mereka ke kafe atau restoran itu di Sabtu-Minggu saja. Ini tidak berhubungan dengan penghasilan mereka, tapi memang soal gaya hidup mereka saja yang lebih suka membeli makanan di pedagang kaki lima atau pinggir jalan, daripada ke restoran atau kafe.

Dari berbagai jenis usaha Anda, yakni FO, restoran, ataupun tempat wisata, mana yang sekarang memberikan keuntungan lebih besar?

Sekarang tempat usaha saya yang memberikan keuntungan lebih adalah tempat wisata, karena misalnya di Floating Market Lembang itu semua orang bisa masuk. Jadi masuk Rp10 ribu, terus mereka dikasih minum seharga Rp5 ribu, jadi untung kita Rp5 ribu dari setiap pengunjung yang datang. Ini konsepnya seperti pasar terapung. Lalu bisnis wisata kuda saya, The Ranch. Jadi di dua usaha itu, saya memanfaatkan UKM-UKM di sekitar Lembang. Misalnya di Floating Market kan orang jualan di perahu, nah yang jualan adalah dari UKM-UKM tersebut. Kalau The Ranch, yang merupakan wisata kuda ala Koboi, sebenarnya saya tidak punya kuda sendiri, tapi semua pengusaha kuda di Lembang saya kumpulkan. Kudanya dikoordinir, sehingga tidak ada yang mengatur harga seenaknya. Kita memanfaatkan itu, selama masih bisa dijual, kenapa harus bikin sendiri.

PerryFO2

Berarti usaha di bidang pariwisata di Bandung masih prospektif ya? Sementara di kota-kota lain di Indonesia juga sudah banyak tempat wisatanya.

Ya, di Bandung (usaha pariwisata) masih prospektif sekali dan akan masih diminati, karena gaya hidup keluarga sekarang, anak-anaknya yang walaupun masih kecil sudah sering mengajak orang tuanya untuk pergi jalan-jalan ke suatu tempat. Sebenarnya di Bandung ini, kita tidak menjual makanan atau pakaian, tetapi yang dijual adalah udara, suasana, dan kultur. Misalnya Rumah Sosis; yang mana orang bilang makan sosis harus ke Bandung, padahal itu kan karena udaranya enak, maka makan sosisnya juga jadi enak. Makanan di Jakarta, khususnya yang di pinggir jalan, sebenarnya enak-enak. Tapi apa masih ada (daerah) pinggir jalan di Jakarta yang masih enak buat duduk-duduk dan makan? Kalau (makanan) yang sudah masuk mal kan berubah rasanya, dan harganya juga jadi lebih mahal. Dan sebaliknya di Bandung, makanan di sini sebenarnya tidak terlalu enak juga, tapi ya karena yang kita jual adalah suasananya, sehingga semua terkesan enak.

Karena Kota Bandung sekarang sudah panas dan macet, maka saya “lari” ke Lembang, karena saya memang harus membuat usaha-usaha baru lagi. Selain itu, sekarang saya juga sedang merambah ke daerah Bandung Selatan, seperti Ciwidey. Pokoknya daerah-daerah yang dari Kota Bandung masih berjarak setengah jam sampai sejam lah. Di sana saya akan membangun tempat wisata lagi. Saya memang cenderung membangun usaha di sektor pariwisata, karena target saya supaya tetap ada para wisatawan yang ke Bandung, maka harus bikin sesuatu yang baru terus. Yang di Ciwidey itu saya targetkan harus selesai di akhir tahun ini. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved