Management Strategy

Tahun Ini Pemerintah Akan Pilih Ketatkan Moneter daripada Naikkan Harga BBM

Tahun Ini Pemerintah Akan Pilih Ketatkan Moneter daripada Naikkan Harga BBM

Ekonom Senior Standar Chartered Bank, Fauzi Ichsan, mengatakan bahwa untuk mengurangi nilai defisit neraca transaksi berjalan (current account) di tahun 2014 ini, Pemerintah Indonesia kemungkinan besar tidak akan menaikkan harga BBM lagi. Karena hal itu akan menimbulkan pencitraan buruk kepada pemerintahan di bawah Presiden SBY yang sebentar lagi akan berakhir masanya.

Monex-Fauzi Ichsan

“Walaupun menaikkan harga BBM (lagi) itu disarankan oleh beberapa ekonom, namun itu sekarang sudah menjadi kebijakan politik. Jadi daripada menaikkan harga BBM, pemerintah lebih memilih cara kedua yaitu melakukan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate),” katanya.

Fauzi menerangkan sejak Agus Martowardoyo menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 2013, BI sudah menaikkan BI Rate sampai 175 basis poin, dari 5,75% di awal 2013 ke 7,5% di awal 2014. “Ini dilakukan BI untuk mengerem kredit dan investasi di dalam negeri, serta konsumsi masyarakat supaya impor bisa berkurang. Tapi kalau pertumbuhan kredit perbankan bisa dipertahankan di angka 17%-18%, maka konsumsi masyarakat bisa terus bertahan,” terangnya.

Fauzi juga bilang bahwa negara berkembang lain, seperti India, Brazil, dan Turki, juga menaikkan suku bunga acuannya, supaya defisit neraca transaksi berjalannya bisa menurun. Kemudian, dia menjelaskan kalau para investor, pada tahun ini, seringkali menanyakan kepadanya soal siapa yang akan naik menjadi Presiden nanti.

“Investor (di pasar uang), terutama yang dari luar negeri, aware terhadap perkembangan politik di dalam negeri. Mereka mengasumsikan kalau sampai Jokowi menjadi Presiden RI dengan memenangi putaran pertama Pemilu pada Juli nanti, maka nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS akan menguat. Karena Jokowi itu sangat populer di luar negeri,” ungkapnya.

Pemilu 2014, baik pemilihan anggota legislatif maupun presiden, serta defisit neraca transaksi berjalan, pelemahan Rupiah, kenaikan inflasi dan suku bunga, menurut Fauzi memang menjadi tantangan bagi perekonomian Indonesia di 2014. Selain itu yang juga menjadi tantangan adalah adanya revolusi shale gas di AS yang berdampak kepada harga energi dunia, keluarnya “hot money” asing ke luar negeri, dan terjadinya kabinet koalisi dan parlemen tanpa mayoritas, yang rawan kehilangan fokus arah kebijakan.

“Tapi dengan quantitave easing (QE) di AS yang akan berakhir, serta harga komoditas ekspor global yang akan membaik, pada akhir tahun ini, diharapkan akan bisa meningkatkan investasi yang masuk ke dalam negeri, memperbaiki kinerja ekspor, dan menguatkan lagi nilai tukar Rupiah. Sehingga pada akhir tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan bisa menembus 6%,” jelasnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved