Mario Hartono: Ingin Membawa Merek Hammer Mendunia
Sebagai putra mahkota rasanya Mario Hartono ini sudah memahami dan mencintai perusahaan yang dirintis ayahnya Eddy Hartono sejak 25 tahun silam. Ketertarikannya di dunia fashion menjadi nilai lebih yang ia punya. Setelah lulus dari jurusan Management, Suffolk University, Boston, AS, ia langsung bergabung dengan PT Warna Mardhika dan membawa perusahaan ini lebih berkembang.
Pria kelahiran 22 April 1979 ini melihat industri fashion ini tidak akan mati dan terus optimis membawa Hammer, Nail, dan Coconut Island ke tempat yang lebih tinggi. Wejangan Eddy Hartono untuk berpikir kreatif dan berpikir ke depan rupanya tetap dipegang oleh ayah satu orang putri ini. Berikut penuturan Mario Hartono kepada Nimas Novi Dwi Arini:
Sejak kapan bergabung dengan perusahaan keluarga ini?
Saya mulai bergabung dengan Warna Mardhika itu setahun setelah saya lulus kuliah, kurang lebih tahun 2002 saya dipanggil untuk pulang ke Jakarta. Pada saat itu saya baru disuruh lihat-lihat saja mengenai perusahaan ini. Jadi seperti belajar mengenai semua hal dari mulai desain sampai finance-nya. Waktu itu juga setiap liburan kuliah saya pasti balik ke Jakarta dan belajar di sini, saya melihat kerja di operasional sampai ke desainnya.
Pada saat bergabung Anda melihat apa kekurangannya?
Kalau saya lihat waktu itu kekurangan ada di Hammer dan Nail, dari sisi desain ya masih perlu di touch up lagi setelah itu baru mengenai visual untuk di toko karena ini penting untuk menarik pembeli.
Ketika itu tokonya baru ada berapa?
Total store kami saat itu ada sekitar 100 untuk Hammer dan Nail baik yang independent store dan yang bergabung ke department store.
Kalau sekarang?
Sekarang ada sekitar 200 toko.
Ketika Anda masih kecil apa Anda sudah mulai diperkenalkan mengenai perusahaan ini?
Oh, iya. Waktu saya kecil, ayah sering store visit dan saya diajak juga. Dulu itu ayah kan mulai merintis, saya ingat waktu kecil pernah store visit ke toko yang di Pasar Baru dan PRJ. Dulu kan PRJ event yang besar sekali ya, di sana saya lihat Hammer ini laku juga banyak pembeli yang datang.
Setelah Hammer dan Nail kan muncul Coconut Island, boleh diceritakan mengenai ini?
Pak Eddy ini sebenarnya sudah lama meregister nama Coconut Island lalu bilang ke saya nih saya punya nama coba kamu buat produk baru, waktu itu pilihannya t-shirt. Konsep awal memang sudah t-shirt dan saya mengambil tema Brazil jadi bisa dilihat kenapa sekarang modelnya begitu.
Kami memulai ini di tahun 2010 saya berani untuk membuat hanya t-shirt saja karena di Amerika juga ada toko yang hanya berjualan kaos dan laku keras. Saya pikir kenapa tidak mencoba juga untuk membuat hal yang sama. Ketika awal menawarkan prodak baru ini kami pergi ke beberapa department store dan ditolak karena dianggap jualannya cuma t-shirt saja. Pak Eddy waktu itu juga sempat berpikir apa kami yang salah, tapi saya bilang kita coba dulu ke Sogo dan mereka akhirnya terima karena mereka juga jeli melihat ini sesuatu yang berbeda.
Sehabis kuliah apa Anda tidak terpikir untuk membuat usaha sendiri?
Ya namanya dulu anak muda ya pasti terpikir untuk membuat usaha sendiri. Tapi Pak Eddy bilang ngapain kamu nanam pohon yang baru, padahal saya sudah sediakan pohon dan tinggal kamu siram aja. Tinggal dijaga saja istilahnya karena saya juga menyadari merek itu tidak gampang juga untuk dibuat dan ini sudah jadi. Kalau sekarang sih saya tidak berpikir untuk membuka usaha lain karena di sini saja banyak yang harus dikerjakan. Tapi saya usaha lain, usaha join dengan teman-teman kuliah di F&B dan peternakan
Apa pelajaran yang Pak Eddy ajarkan ke Anda?
Dia selalu berpesan untuk fokus dan selalu cari tahu. Cari tahu ini maksudnya bawel ya jadi jangan ada ide lalu disetujui, tapi tanya lagi jangan sampai sebagai owner saya ini tidak tahu apa-apa. Pak Eddy ini orang detail dan bawel juga contohnya aja kalau lampu kamar mandi nyala padahal seharunsya mati, hal-hal seperti ini juga dipikirkan oleh Pak Eddy karena ini kan nantinya masuk ke urusan finance juga.
Selain itu, dia bilang harus kreatif dan lihat ke depan karena bisnis ini kan memang unsur kreatif sangat memperngaruhi ya. Mengenai keuangan juga Pak Eddy ajarkan supaya saya tahu soal ini karena kalau finance ini kedodoran bisa-bisa perusahaan kolaps. Yang terakhir adalah Pak Eddy berpesan untuk banyak beramal dan berbuat baik, dia percaya jika kita kasih 100 akan tambah menjadi seribu jadi ini juga yang saya pegang ketika masuk ke sini.
Kenapa akhirnya jatuh cinta dan mau bergabung dengan Warna Mardhika ini?
Mungkin karena sedari kecil saya diperkenalkan jadi ada rasa memiliki juga di Warna Mardhika ini. Saya juga melihat potensi di bisnis fashion ini masih besar karena kami jualan kan kebutuhan primer yang pasti akan selalu dibeli. Seperti yang tadi saya bilang membuat merek itu tidak mudah, Hammer sendiri sudah ada 25 tahun dan masih bertahan sampai sekarang dan saya juga suka dengan dunia fashion.
Cita-cita Anda untuk membesarkan Warna Mardhika seperti apa?
Wah kalau cita-cita sih saya ingin Hammer ini bisa seperti Giordano ya mereka dari Hong Kong tapi bisa mendunia. Menjadi merek kebanggan dari Indonesia lah karena sampai saat ini kan belum ada yang seperti itu. Masyarakat saat ini kan sepertinya lebih peduli dengan merek-merek lokal ya semoga saja impian saya ini bisa terwujud juga.
Apa nantinya Anda akan menyerahkan perusahaan ini ke tangan profesional?
Sepertinya akan saya berikan ke anak saya kecuali kalau nanti sudah IPO ini sudah beda urusannya tapi kalau sampai saat ini belum ada rencana ke sana jadi saya pikir akan saya kasih ke anak.
Sekarang ini apa kendala atau tantangan di bisnis ini?
Kendala ya seperti yang diketahui sekarang banyak mereka asing masuk ke Indonesia, saya melihat ini ya memang ada sedikit rasa terancam tapi saya sangat optimis dengan prodak kami. Merek luar ini kan tidak mengetahui bagaimana masyarakat, susah loh bisnis fashion di Indonesia setiap daerah itu benar-benar beda-beda. Bahkan untuk di Jakarta saja tiap daerah itu beda banget.
Selain itu, mengenai harga ya, saat ini perang harga itu di mana-mana mulai dari diskon 20% sampai 70%. Kami di sini membuat harga yang sesuai dengan kualitas yang kami berikan jadi bukan asal harga murah lalu kualitas turun kami tidak seperti itu. Walaupun sekarang perang harga dan perang diskon ini gila-gilaan, kami menaruh harga sedikit lebih mahal tapi kami tidak takut bersaing dengan yang lain karena harga yang lebih tinggi. Kami memberikan value for money ke customer.
Apa rencana yang akan dilakukan di tahun ini?
Kalau untuk tahun 2014 ini kami akan lebih fokus menggarap digital marketing, sekarang ini saja kami sudah jarang menggunakan print ad. Selain itu, karena sekarang masyarakat juga sudah mulai melek dengan dunia digital saya rencananya akan mengembangkan e-commerce dan mobile commerce. Ini saja yang ingin saya lakukan di tahun ini, selebihnya tentu kami akan terus mengembangkan desain produk kami. (***)