Pergulatan Melahirkan Pengusaha Kakap “High-Impact”
“Siapa saja pengusaha yang menjadi idola Anda?” Demikian dalam beberapa kesempatan Husodo Angkosubroto pernah bertanya kepada sejumlah wirausaha Indonesia. Nama-nama yang keluar, sambung Chairman PT Gunung Sewu Kencana ini, biasanya adalah nama-nama seperti Bill Gate dari Microsoft, Mark Zukerberg dari facebook, dan Steve Jobs dari Apple.
Harus diakui, mereka memang pengusaha istimewa. Mereka membangun bisnis dari nol dari tempat sederhana, dan sekarang menjadi pengusaha kelas dunia dengan ukuran bisnis yang begitu besar, serta mampu mengubah gaya hidup sebagian masyarakat di berbagai belahan dunia. Mereka juga mampu menyetir cara kita bekerja, membeli dan menikmati musik, membeli dan membaca buku dan media, berkomunikasi, membangun jejaring sosial, dsb.
Menariknya, tambah pengusaha yang antara lain kuat di bidang pengolahan nenas dan pisang kelas dunia ini, tak satu pun kaum bisnis yang ditanyainya itu yang menyebutkan nama pengusaha Indonesia sebagai idola mereka.
Husodo pun bertanya pada dirinya sendiri: mengapa tak ada nama pengusaha Indonesia yang muncul? Ini sebuah pertanyaan yang begitu menggelitiknya: dapat kah Indonesia memiliki satu saja pengusaha besar yang dapat membawa manfaat yang sangat impactful seperti nama-nama di atas? “Saya jawab dengan yakin, ya, bisa!” ujar Husodo.
Pertanyaan inilah yang kemudian membawanya untuk membentuk Endeavor Indonesia bersama dengan sejumlah temannya sesama pengusaha di sini: Harun Hajadi, Managing Director Grup Ciputra; Hendrick Kolonas, CEO & Presiden Komisaris PT Celebes Artha Ventura; George Tahija DirekturPT Austindo Nusantara Jaya; Theodore P. Rachmat, Wakil Presiden Komisaris PT Adaro Energy; Svida Alisjahbana Presiden & CEO Grup Femina; Jimmy Masrin, Presiden & CEO Caturkarsa Megatunggal; Raoul Oberman, Director Emeritus McKinsey & Company Indonesia; dan Ciputra Founder & Chairman Grup Ciputra.
Cerita di atas dituturkan Husodo pada acara Gala Dinner Endeavor Indonesia pada pertengahan Februari lalu. Di acara itu, diumumkan 16 high-impact entrepreneur dari 11 perusahaan yang berasal dari 7 negara. Dua diantaranya dari Indonesia: Arief Widhiyasa dari Agate Studio, salah satu pengembang game dari Indonesia yang diperhitungkan di tingkat dunia; dan Grace Judio-Kahl dari Shape-Up Indonesia, sebuah usaha klinik kesehatan yang fokus pada obesitas dan pengurangan berat.
Para entrepreneur itu berhasil lolos dari proses International Selection Panel (ISP) yang untuk pertama kalinya diadakan di Indonesia pada 19-21 Februari 2014.
Dengan proses seleksi berjenjang yang sangat ketat ditingkat lokal dan internasional, Endeavor setiap tahun menyeleksi ribuan wirausaha dari 19 negara, untuk dipilih dan di-“gembleng” menjadi high-impact entrepreneurs. Proses itu melibatkan para panelis yang terdiri para CEO dan pengusaha yang sudah terbukti handal di bidangnya – baik dari Indonesia maupun negara-negara lain.
Dr. Grace Judio-Kahl, MSc., CEO Shape Up Indonesia, salah satu pemenang dari Indonesia, berharap — dengan berhasil terpilihnya dia sebagai salah satu high-impact entrepreneurs Endeavor — akan dapat mengisi kekurangan dia selama ini. Selama tiga tahun terakhir ini, perkembangan usahanya di bidang weight management berkembang cukup pesat. Dia sudah menangani sekitar 15 ribu pasien, dan sudah memiliki empat klinik di Jakarta. Namun, latar belakangnya sebagai dokter dia rasakan belum mencukupi untuk membuatnya dapat mendongkrak Shape Up Indonesia tumbuh lebih besar dengan kokoh. “Untuk mengisi gap itu saya memilih masuk Endeavor,” tutur Grace.
Setelah para wirausaha itu terpilih menjadi Endeavor entrepreneurs, mereka akan dimasukkan dalam Endeavor “Global Network of Mentors”, yang terdiri dari 3000 lebih para pemimpin bisnis, mentor terkemuka dan para Endeavor Entrepreneurs dari berbagai Negara. Melalui jaringan para mentor di seluruh dunia ini, para wirausaha terpilih dapat memperoleh akses ke dalam “best-in-class global network” – yang bisa dikatakan sebuah ekosistem bagi pertumbuhan entrepreneur — yang akan selalu menyediakan berbagai tantangan, bimbingan, resep jitu dan berbagai peluang untuk menjadi wirausaha yang terus bertumbuh dengan sukses, juga bantuan pro-bono dari lembaga konsultan terkemuka.
Berhasilnya dua entrepreneur Indonesia itu artinya telah menambah jumlah wirausaha Indonesia yang sukses memasuki jaringan Endeavor Global menjadi total sembilan entrepreneur. Terkait dengan proses ISP di Indonesia, Edgar Bronfman Jr, Ketua Dewan Endeavor Global, mengatakan, “Ini adalah momen yang besar bagi Endeavor, dan saya ingin menyampaikan apresiasi kepada tim Endeavor Indonesia. Saya juga ingin menekankan betapa pentingnya peran aktif komunitas kewirasahaan lokal yang pada akhirnya menjadi penentu sukses atau tidaknya upaya pengembangan ekosistem kewirausahaan di area tersebut.”
Lebih dari itu, tambah Edgar, “Saya sangat senang dan bangga atas capaian Endeavor Indonesia selama ini. Apa yang mereka rintis mungkin merupakan perkembangan kantor Endeavor paling pesat di jaringan Endeavor.”
Secara garis besar, Endeavor adalah “global high-impact entrepreneurship movement”, yang bertujuan melahirkan high-impact entrepreneurs di berbagai negara. Didirikan oleh Linda Rottenberg dan Peter Kellner pada 1997 di New York, Endeavor telah hadir di 19 negara, di antaranya di Amerika Latin, Timur Tengah, Eropa, Amerika Serikat, dan Asia. Dengan kemampuan jaringannya dalam menghubungkan para entrepreneur dengan berbagai sumber daya vital untuk pengembangan bisnis, Endeavor berharap dapat mendorong para entrepreneur kelas menengah tumbuh berskala lebih besar dan dapat memberikan dampak positif pada komunitas kewirausahaan dunia. Dalam 16 tahun terakhir, Endeavor telah menyeleksi lebih dari 37.000 entrepreneur dan memilih 872 entrepreneur dalam jaringan Endeavor. Secara keseluruhan, dengan dukungan lebih dari 3.000 mentor di seluruh dunia, pada 2012 Endeavor Entrepreneur telah memberikan 225 ribu lebih lapangan pekerjaan dan menghasilkan omset lebih dari US$ 6 miliar pada 2012.
Endeavor memang percaya, bahwa dengan ekosistem kewirausahaan yang menunjang, maka para entrepreneur akan tumbuh dengan baik. “Kami ini organisasi kewirausahaan,” ujar Sati Rasuanto, Managing Director Endeavor Indonesia. “Misi kami membangun ekosistem kewirausahaan”. Dan menurut Sati, ekosistem itu harus dibangun oleh para entrepreneur sendiri, dan para entrepreneur yang sukses itu harus mau menjadi mentor untuk generasi entrepreneur berikutnya.
Menurut Husodo, ia bersama kakak dan adiknya termasuk dari sedikit orang-orang yang sangat beruntung dapat memperoleh “ekosistem” yang sangat kondusif bagi perkembangan kewirausahaannya. “Saya dan saudara saya tumbuh sebagai generasi ke-dua dari sebuah bisnis keluarga,” tuturnya. “Saya dibesarkan di sebuah keluarga yang selalu berbicara tentang peluang bisnis dan masalah-masalah manajemen di meja makan kami”. Dan lebih dari itu, mereka juga memiliki akses ke lembaga pendidikan yang baik, dan dapat masuk ke dalam jaringan para pengusaha dan para pemimpin yang berpengaruh.
Dan yang juga penting, “Kami memiliki orang tua yang meng-empower kami, meng-coach kami, dan memberi kami pengalaman terjun di bisnis sejak usia kami masih muda, yang memberi kami kesempatan bereksperimen, membuat kesalahan, dan belajar dari itu semua,” ujarnya. “Mereka juga merupakan mentor dan role model kami.”
Namun, kesempatan seperti itu tak banyak dimiliki oleh banyak anak muda lainnya. “Dengan Endeavor, kami ingin membangun ekosistem seperti itu di Indonesia, dan saya yakin, ini dapat dikerjakan,” katanya yakin. “Kami ingin me-replicate, bagaimana innovative society dan budaya mentorship dapat dibangun untuk menumbuhkan high-impact entrepreneur di Indonesia.” Melalui high impact entrepreneurship, tambahnya, Endeavor berkeinginan para entrepreneur dapat menciptakan jutaan lapangan kerja, meningkatkan GDP negara, dan mereka dapat meng-inspire para pemimpin masa depan.
Harun Hajadi, Managing Director, Grup Ciputra, juga yakin ekosistem seperti itu dapat dibangun di sini. “Di Indonesia ada 40 mentor yang menyediakan waktu 3-4 bulan (setiap tahun) untuk membimbing para entrepreneur,” ujarnya. Para mentor itu, baik di Indonesia maupun dari berbagai negara lain, dapat memberikan mentoring dari aspek hukum, keuangan, dan sebagainya. Bahkan juga untuk hal-hal yang spesifik, misalnya lika-liku di bisnis properti dan waralaba.
Anton Wiryono, salah satu pendiri GoodsDept, sebuah “curated department store” yang mencoba memberikan pengalaman berbelanja berbagai produk fashion yang unik – yang sebagian besar karya desainer independen muda Indonesia – mengakui mendapatkan manfaat besar setelah berhasil lolos seleksi internasional di Johannesburg pada pertengahan tahun lalu dan masuk dalam jaringan global Endeavor. Ketika itu, ujarnya, Goods Dept sedang berkembang, dengan bertumbuh secara organik. “Kami ingin ekspansi, ada peluang juga untuk itu. Tetapi kami hanya mampu sampai di situ,” cerita Anton. “Agar dapat lebih berkembang, kami butuh sistem pengelolaan yang saat itu kami belum tahu.”
Dengan program ini, Anton kemudian memang beroleh jawaban. Didirikan sekitar tiga tahun lalu, kini Goods Dept sudah memiliki tiga toko di tiga mall terkemuka di Jakarta. “Perkembangan kami bagus. Banyak kompetitor raksasa dari luar negeri yang masuk, tetapi penjualan kami masih stabil (bertumbuh). Orang masih semangat untuk ke tempat kami, dan pengalaman belanja di toko kami juga masih lebih baik karena brand yang kami jual ada ceritanya, punya personality dan komunitas. Kami gotong royong membuat suatu gerakan,” tutur Anton bersemangat.
Cerita tentang Anton adalah contoh bagus. Namun memang tak mudah menemukan entrepreneur sekaliber Anton. Menurut Harun Hajadi, selama setengah tahun terakhir ini saja, mereka sudah menjaring sekitar dua ribu calon entrepreneur. Padahal, yang berhasil dimajukan dalam proses ISP di Jakarta hanya tiga entrepreneur. Hanya saja, Harun optimistis di Indonesia banyak kandidat yang bagus-bagus. “Ide orang Indonesia banyak yang luar biasa,” katanya.
Hal yang sama juga dikatakan Hendrick Kolonas, CEO PT Celebes Artha Ventura. Di Indonesia banyak wirausaha kelas menengah yang yang hebat. Menurut Hendrick, sekarang tinggal bagaimana kita dapat mendorong mereka dapat naik kelas dan memberikan banyak dampak yang positif.
Betul. Di Indonesia, sudah banyak wirausaha kelas menengah yang bagus dan berpotensi untuk tumbuh kokoh berskala lebih besar serta dapat memberikan dampak positif bagi lingkunganya. Dan kini, ekosistem bagi mereka untuk dapat naik kelas juga sudah mulai dibangun bersama. Apa lagi tip bagi mereka?
Shari Loessberg, dosen senior dari sekolah bisnis terkemuka di Amerika, MIT Sloan School of Management, memaparkan, untuk menjadi high-impact entrepreneur ada tiga syarat utama: “Mereka harus memiliki passion, ide besar, dan berani gagal itu penting.”
Selain itu, tambahnya, mereka juga harus dapat membangun tim, mampu menginspirasi dan memimpin anggotanya. Mereka juga harus punya rencana bisnis, punya cukup uang untuk menggaji orang-orang yang membuat produk, serta strategi pemasaran agar banyak orang mengerti produk mereka. Untuk itu, para entrepreneur itu harus punya ide untuk produk ataupun jasa yang mereka hasilkan, yang membuat orang tertarik untuk membeli.
Dan ini yang penting, “Mereka tidak boleh ingin cepat sukses. Mereka tidak boleh malu, dan mereka tidak boleh gampang menyerah.”
Kemal Gani
Reportase: Rif’atul Mahmudah, Ria Efriani Pratiwi, dan Nimas Novi Dwi Arini