Chandra Natalie Widjaja: Disiplin Restrukturisasi Aset Setiap Tahun
Bersabarlah, dan jangan serakah. Itulah prinsip Chandra Natalie Widjaja dalam berinvestasi. Anak kedua bos PT Tigaraksa Satria Tbk. ini mengaku hanya berinvestasi di instrumen keuangan. Lalu bagaimana ia mempraktikkan pedoman investasinya itu?
Chandra Natalie Widjaja belajar investasi dari ayahnya, Robert Budiarto Widjaja (pendiri dan pemilik Tigaraksa Satria) sejak tahun 2009. Bagi wanita kelahiran 23 Desember 1964 ini, Robert adalah gurunya terutama dalam hal bisnis dan investasi. Maklum, latar belakang pendidikan Chandra sendiri sebenarnya bukan di bidang bisnis, melainkan Sastra Inggris di Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat. Namun, melihat pribadi Chandra yang senang belajar, Robert pun mengajarkannya soal sistem operasional Tigaraksa dan cara berinvestasi di pasar modal. Sejak 2009 itu pula Chandra diberi tanggung jawab oleh ayahnya mengelola dana di PT Penta Widjaja Investindo (PWI), perusahaan investasi milik keluarga mereka.
Robert memang terbilang kaya pengalaman soal investasi di pasar modal. Ia bahkan sempat mengecap pengalaman pahit di tahun 2010 saat dana investasinya di Optima Kharya Capital Securities lenyap. Saat itu ramai diberitakan bahwa Harjono, dirut perusahaan sekuritas ini, diduga menjual sepihak saham milik Robert tersebut. Chandra menyebutkan, saat itu dana atas nama PWI yang digelapkan jumlahnya mencapai Rp 100 miliar. Adapun dana atas nama Robert sendiri jumlahnya Rp 50 miliar.
Kabarnya nilai saham milik Robert yang digelapkan Harjono mencapai Rp 100 miliar, terdiri dari saham beberapa perusahaan besar seperti PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., PT Astra Agro Lestari Tbk., PT Aneka Tambang Tbk., dan sebagainya. ”Saya kira jumlahnya cukup banyak lebih dari 10 saham. Ada sebagian yang dikembalikan tapi sebagian besar hilang,” cerita Chandra, yang kini menjabat sebagai Komisaris PT Tigaraksa Satria Tbk.
Saat itu Chandra dan Robert meminta pihak Optima mengembalikan semua saham milik mereka. ”Tapi mereka mengatakan bahwa sudah tidak ada, sebagian sudah dijual. Mereka sudah mengaku sebenarnya. Lalu mereka meminta waktu untuk mengembalikan saham itu, dan memberikan saham PT Colopark Indonesia Tbk. (berkode CLPI) sebagai jaminan. Ketika jatuh tempo saham kami tidak diberikan, ya saham Colopark itu kami ambil alih, tapi itu tidak cukup nilainya, dan hingga sekarang tidak kami jual lagi,” Chandra menjelaskan.
Karena itulah kini Chandra tercatat memiliki 20.434.500 saham Colopark atau sekitar 6,67% dari total saham perusahaan ini yang beredar di bursa saham. Sementara di 2010, Robert juga tercatat sebagai salah satu pemegang saham Colopark dengan kepemilikan sebanyak 22.500.000 saham (7,34%). Namun di tahun 2010 itu pula Robert melepaskan 7,31% saham di perusahaan tersebut pada harga Rp 320/saham, atau terdiskon 36% dari harga pasar yang Rp 500/saham. Total nilai transaksi tersebut mencapai Rp 7,17 miliar.
Melalui PWI itulah Chandra mengelola investasi pribadinya dan investasi sang ayah. PWI sendiri memang benar-benar perusahaan investasi khusus milik keluarga Robert yang di dalamnya hanya ada dana milik Robert dan Chandra.
Chandra hanya mengalokasikan dananya ke tiga instrumen investasi, yakni 30% berbentuk dana tunai atau deposito, 10% di obligasi, dan 60% di saham. “Angka itu dapat berubah tergantung penyesuaian terhadap kondisi pasar yang kerap kami lakukan, dan angka itu juga tidak termasuk investasi kami di Tigaraksa,” ungkap ibu dua anak ini.
Dan, 70% dari total dana yang dialokasikan pada saham tersebut ditujukan untuk jangka panjang, sedangkan 30% sisanya untuk trading. Namun, dari 70% saham untuk jangka panjang itu, Chandra masih menggunakan sebagian kecilnya untuk trading. ”Tapi hanya sedikit, misalnya dari 500 lot, 50 lot saya trading-kan,” ujarnya.
Dalam memilih saham, Chandra lebih dulu melakukan riset tentang manajemen perusahaan itu, fokus usahanya, dan kemungkinan bisnis perusahaan itu dipengaruhi faktor eksternal, seperti harga komoditas ataupun kondisi ekonomi makro. Kriteria saham yang menjadi pilihan Chandra adalah perusahaannya memiliki manajemen yang profesional dan dapat dipercaya. ”Menurut saya di Indonesia ini masih sangat banyak perusahaan keluarga yang family-oriented. Maka, jika ingin membeli saham sebuah perusahaan, penting sekali kami melakukan riset soal manajemen perusahaan itu. Sejauh mana para profesional di perusahaan itu berperan? Apakah perusahaan itu punya manajemen yang baik dan dapat dipercaya?” ia mengungkapkan.
Selain itu, Chandra cenderung memilih saham perusahaan yang fokus pada satu bisnis saja. Hal ini, menurutnya, untuk menekan unsur spekulatif pada investasi di saham itu. ”Memang ada emiten blue chip yang memiliki banyak lini bisnis, tapi semuanya well-managed. Contohnya, Astra International. Ada pula perusahaan yang meski hanya fokus di satu bidang bisnis, unsur spekulatifnya lebih tinggi karena bisnisnya dipengaruhi faktor eksternal seperti harga komoditas. Misalnya, Krakatau Steel,” Chandra menerangkan.
Chandra mengaku telah membeli saham PT Krakatau Steel Tbk. (KRAS) di harga tinggi, tetapi kini harga KRAS justru terus merosot. Karena salah satu prinsipnya dalam berinvestasi adalah bersabar, Chandra nampaknya memang tipe investor yang cenderung menunggu harga sebuah saham berbalik arah meski telah tergerus cukup dalam. ”Inilah yang saya kira sulit untuk saya kendalikan, terkadang saya jadi seperti memiliki ikatan emosional pada saham tertentu, padahal seharusnya tidak boleh seperti itu,” ungkapnya.
Ia kerap melakukan averaging down atau membeli kembali di harga yang lebih murah jika harga sebuah saham turun. ”Ayah saya selalu mengatakan, ’never sell when it low or going down’. Karena itulah, kami harus berinvestasi di perusahaan yang bagus. Tapi ketika terjadi penurunan dan dirasa perlu melakukan averaging down, tentu kami akan lakukan. Kami selalu bertujuan menemukan the lowest average,” tutur Chandra.
Memang, Hendra Bujang, salah satu pelaku investasi saham yang juga mantan investment banker pernah mengatakan bahwa seorang investor jangan pernah mempunyai ikatan emosional dengan saham tertentu apalagi kalau saham itu pernah memberikan keuntungan atau kerugian. “Di dunia ini tidak ada yang permanen, segala sesuatu dapat berubah mengikuti kondisi yang ada, termasuk saham,” ujarnya.
Hendra yang kini bekerja sebagai profesional di luar industri pasar modal, yaitu sebagai Vice President Grup Sujaya, menegaskan pula agar seorang investor sebaiknya berani melakukan cut loss jika terjadi kesalahan pemilihan saham, dan segera menggantinya dengan saham lain yang lebih berprospek.
Namun, tidak semua orang akan langsung cut loss begitu mengalami kerugian. Chandra sendiri biasanya malah membeli lagi jika harga sebuah saham turun 10%-20%. Dan, ia baru akan menjual saham jika setidaknya harga saham itu telah naik sekitar 20%. “Tapi tentunya tergantung sahamnya juga, ada yang harganya sudah tinggi dan memang sangat jarang bisa naik hingga 20%,” ia menambahkan.
Karena itulah, selain mengelola investasinya sendiri, Chandra pun tetap mengalokasikan sebagian dananya untuk dikelola oleh manajer investasi dalam instrumen discretionary fund. “Karena, manajer investasi pasti tidak akan memiliki semacam ikatan emosional dengan saham tertentu,” ujar Chandra.
Selain itu, ia tetap menaruh sebagian dananya di bank untuk dikelola oleh wealth manager dengan dialokasikan ke reksa dana. “Tapi di bank itu produk reksa dana yang ditawarkan tentu hanya yang ada di bank itu, jadi pilihannya pun sedikit,” katanya.
Saat ini beberapa saham yang menjadi pilihannya, antara lain SMGR (PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.), KLBF (PT Kalbe Farma Tbk.), BMRI (PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.), INDF (PT Indofood Sukses Makmur Tbk.), WIKA (PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.) dan ASII (PT Astra International Tbk.). “Kami selalu berinvestasi di instrumen investasi lokal. Saya bahkan tidak ‘main’ dollar bond atau foreign bond. Kalau pun ada obligasi pemerintah dalam mata uang dolar, itu pun karena kami ditawari membeli, tapi sedikit sekali,” ia menjabarkan.
Satu hal yang menarik dari gaya berinvestasi Chandra dan Robert adalah mereka selalu mencairkan seluruh portofolionya setiap tahun, tepatnya setiap tanggal 31 Oktober, dan masuk kembali ke pasar per 1 November. “Pokoknya kami selalu ambil jangka waktu setahun, dan kami start lagi dengan clean plate. Karena, kalau terus diakumulasikan profitnya berapa jadi tidak terlihat,” ujarnya. Namun, dalam jangka waktu setahun itu tentu tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penyesuaian dan switching jika ada alokasi dan yang dinilai tidak optimal.
Soal mengapa tanggal 31 Oktober yang dipilih, menurut Chandra, hal itu hanya untuk memudahkan dilakukannya transaksi. Sebab, jika dilakukan di akhir tahun tentu akan menyulitkan mengingat adanya kesibukan dan momen libur akhir tahun. Baginya, strategi cut off setiap tahun itu sangat penting untuk mengevaluasi dan menentukan strategi investasi tahun berikutnya, akankah terus mengalokasikan dana di instrumen yang sama, atau mengubah komposisi alokasi asetnya.
Strategi disiplin melakukan cut off setiap tahun itu pula yang menurut Chandra, menyelamatkannya dari saham yang harganya terus tergerus. Sebagai contoh, saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) yang pernah dibelinya tahun 2008-2009. Saat itu ia dapat menuai keuntungan dari saham BUMI. Kendati selanjutnya harga saham BUMI kembali terpuruk, Chandra tidak sampai merasakan kerugian akibat penurunan harga tersebut dalam beberapa waktu terakhir. “Karena setiap tahun kami cut off jadi kami tidak kena momen saat harga saham BUMI semakin turun,” ujarnya.
Hasilnya, setidaknya tiap tahun Chandra dapat membukukan return rata-rata 20%. “Kalau ayah saya lebih jago lagi mengelolanya, beliau bisa dapat untung 20%-30% dalam setahun,” ungkapnya. Menurutnya, Robert selalu mengajarkannya untuk memperhitungkan faktor risiko dalam menentukan target laba yang ingin diperoleh dari instrumen investasi.
Ada dua acuan penetapan target return yang populer dalam sebuah investasi, yaitu lebih tinggi dari deposito atau lebih tinggi dari kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan. “Untuk deposito kami harus memperhitungkan cost of money, yaitu persentase faktor risiko yang kami tanggung dari instrumen investasi tersebut. Faktor risiko itu harus ditentukan sebelum kami masuk ke sebuah instrumen investasi,” Chandra menguraikan.
Ia mencontohkan, sebelumnya ia beranggapan bahwa jika bunga deposito 8% setahun, dan ia berhasil memperoleh return 10% dari saham dalam periode yang sama, maka ia merasa sukses meraih return yang lebih tinggi. Namun ternyata itu saja belum cukup, karena ia belum memperhitungkan faktor risiko dari potensi turun naiknya harga saham itu. “Tiap saham, risk factor-nya bisa beda-beda,” ujarnya.
Chandra memang hanya berinvestasi pada instrumen keuangan seperti saham, obligasi, reksa dana dan deposito. Ia tidak menyukai aset keras seperti emas dan properti sebagai instrumen investasi. ”Saya tidak mau meninggalkan legacy di mana anak saya harus meneruskan legacy itu. What I want to leave behind is only cash. No asset. Jauh lebih mudah saya meninggalkan dana tunai. Karena aset keras itu lebih sulit dibagikan,” ia menegaskan.
Strategi Investasi Chandra Natalie Widjaja:
Alokasi dana:
Deposito dan dana tunai: 30%
Obligasi: 10%
Saham: 60%
Pembagian alokasi dana pada saham:
Jangka panjang 70%
Trading 30%
Return total rata-rata per tahun: 20% (***)