NIM Tebal Bisa Dongkrak Laba Perbankan di 2014
Perbankan di Indonesia mulai mengalami tantangan sejak tahun lalu yang disebabkan oleh kebijakan loan to value (LTV) dan pengetatan moneter untuk menekan inflasi dan defisit transaksi berjalan. Karena hal ini bank-bank cenderung menahan laju penyaluran kreditnya. Namun, sampai akhir 2013 industri perbankan masih mencetak pertumbuhan kinerja yang sangat baik kendati di kuartal terakhir mengalami tekanan likuiditas yang berat.
Pada tahun lalu, sebagian besar bank berhasil mencapai target laba, dan secara industri laba yang dicetak mencapai Rp108,45 triliun atau meningkat 14,95% dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan signifikan juga terjadi pada peningkatan kredit yang mencapai 21,80%, dan 13,60% untuk dana pihak ketiga (DPK). Itu artinya, pada 2013 kecepatan kredit terus lebih kencang dari kecepatan dana.
Pada tahun ini tantangan untuk perbankan semakin berat lagi, yang mana ini ditandai oleh pertumbuhan kredit yang lebih rendah dari pertumbuhan tahun lalu. Kendati pertumbuhan kredit diperkirakan masih di kisaran 15%-17%, bank-bank mengalami perlambatan kenaikan laba, bahkan sebagian dihantui penurunan laba akibat mahalnya cost of fund, biaya operasional, dan meningkatnya kredit macet (NPL) yang menambah jumlah penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). Per kuartal pertama 2014, laba perbankan sudah melambat dengan tumbuh 13,09% (yoy).
“Modal perbankan memadai, cadangan cukup besar, NPL kalau pun meningkat maksimal 5%, dan bank-bank masih punya ruang ekspansi dengan penurunan suku bunga. Jika tidak ada kejadian yang memburuk, maka kinerja bank-bank masih oke. Kendati NIM perbankan menurun, tetap masih tebal dan itu ikut mendongkrak laba perbankan yang mayoritas masih ditopang oleh pendapatan bunga bersih,” tutur Karnoto Mohamad, Direktur Biro Riset Infobank.
Biro Riset InfoBank melakukan kajian terhadap 120 bank berdasarkan publikasi laporan keuangan mereka selama dua tahun terakhir. Kajian ini didasarkan pada lima kriteria: (1) Permodalan, yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR); (2) Aktiva Produktif, yaitu Non Performing Loans dan Pemenuhan PPAP; (3) Rentabilitas, yaitu Return on Average Assets (ROA) dan Return on Average Equity (ROE); (4) Likuiditas, yaitu Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Pertumbuhan Kredit dibandingkan dengan Pertumbuhan Dana; dan (5) Efisiensi, yaitu Beban Pendapatan Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional dan Net Interest Margin.
Kajian tersebut membagi bank dalam empat kelompok bank berdasarkan kegiatan usaha (BUKU), yaitu bank-bank dengan modal inti di atas Rp30 triliun; bank-bank dengan modal inti Rp5 triliun sampai dengan di bawah Rp30 triliun; bank-bank dengan modal inti Rp1 triliun sampai dengan di bawah Rp5 triliun; dan bank-bank dengan modal inti di bawah Rp1 triliun.
“Dari hasil kajian kami itu 89 bank berpredikat Sangat Bagus, 26 bank berpredikat Bagus, 6 bank berpredikat Cukup Bagus dan 1 bank berpredikat Tidak Bagus. Empat bank di BUKU 4 semuanya berhasil menyabet predikat Sangat Bagus, dengan skor secara berurutan yaitu (1) Bank Central Asia, (2) Bank Rakyat Indonesia; (3) Bank Mandiri; Bank Negara Indonesia. Begitu juga dengan 15 bank di BUKU 3 ada 13 bank yang meraih predikat Sangat Bagus, dengan lima peraih skor tertinggi secara berurutan adalah (1) Bank BTPN, (2) Bank OCBC NISP, (3) Bank Internasional Indonesia, (4) Bank Mizuho, (5) PermataBank,” papar Karnoto.
Sementara itu, dari 37 bank di BUKU 2, ada 29 bank yang mendapatkan predikat Sangat Bagus, dengan lima peraih skor tertinggi sebagai berikut: (1) Bank Papua; (2) Bank Mayapada; (3) Bank Jateng; (4) Bank Commonwealth; (5) Bank Resonia Perdania. Sedangkan bank di BUKU 1 yang jumlahnya mencapai 54 bank, ada 36 bank yang yang meraih predikat Sangat Bagus, dimana lima peraih skor tertinggi adalah (1) Bank Sulut; (2) Bank Sulteng; (3) Bank Kalbar; (4) BPD DIY; dan (5) Bank Index Selindo. Untuk kategori bank asing, dari 10 bank yang ada 7 diantaranya meraih predikat Sangat Bagus, dimana lima peraih skor teratas adalah (1) HSBC, (2) Bangkok Bank, (3) The Bank of Tokyo-Mitsubishi, (4) Citibank, dan (5) Bank of China.
Sementara, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tetap tumbuh sepanjang 2013 kendati kondisi perekonomian dalam negeri sedang kurang kondusif. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tahun lalu aset industri BPR tumbuh 14,79%, dari Rp67,40 triliun di 2012 menjadi Rp77,38 triliun.
Kajian InfoBank tersebut juga menampilkan hasil yang menunjukkan bahwa ada 367 BPR berkinerja terbaik dan berpredikat “Sangat Bagus”. Biro Riset Infobank menetapkan standar aset BPR yang masuk penilaian, yaitu di atas Rp25 miliar. Ada 487 BPR yang ditemukan, bertambah dari tahun sebelumnya yang berjumlah 464 BPR (beraset di atas Rp25 miliar). Secara industri, per Desember 2013, industri BPR nasional dihuni 1.635 bank.
Ateng Anwar Darmawijaya, Chief of Research Biro Riset Infobank, menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan biro risetnya untuk rating BPR ini adalah rasio keuangan penting dan pertumbuhan usaha. “Dalam hal ini, BPR dikelompokkan dalam empat kategori, yakni BPR beraset Rp500 miliar ke atas, BPR beraset Rp100 miliar sampai dengan di bawah Rp500 miliar, BPR beraset Rp50 miliar sampai dengan di bawah Rp100 miliar, dan BPR beraset Rp25 miliar sampai dengan di bawah Rp50 miliar,” jelas Ateng.
Di kelompok BPR dengan aset Rp500 miliar ke atas, lanjut Ateng, ada 10 BPR yang berpredikat “Sangat Bagus” dengan skor tertinggi diraih BPR Modern Express, Kota Ambon, Maluku. Sedangkan di kelompok BPR beraset Rp100 miliar sampai di bawah Rp500 miliar ada 114 BPR meraih predikat “Sangat Bagus” dengan skor tertinggi diduduki BPR LPK Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
“Lalu, di kelompok BPR dengan aset Rp50 miliar sampai di bawah Rp100 miliar terdapat 109 BPR yang meraih predikat “sangat bagus” dengan skor tertinggi diraih BPR Bina Reksa Karyaartha, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sedangkan di kelompok BPR dengan aset Rp25 miliar sampai di bawah Rp50 miliar ada 134 BPR peraih predikat “Sangat Bagus” dan BPR Bumi Bekasiartha, Kota Bekasi, Jawa Barat meraih skor tertinggi,” ucap Ateng. (EVA)