Pemulihan Hutan Berdampak Positif Bagi Petani di Saronge
Petani di Saronge, Cianjur, Jawa Barat, mengakui, adanya bantuan dari PT Astra Internasional dalam membantu pemulihan hutan disana berdampak positif dan memiliki keuntungan sendiri bagi mereka. Pasalnya, pemulihan hutan tersebut memberikan alternatif kepada petani untuk mendapatkan penghasilan tetap yang lahan mereka sebelumnya telah dijadikan hutan.
Pemulihan hutan tersebut tidak hanya sekedar menanam pohon, tetapi sebagian dananya dikembangkan menjadi nilai ekonomi. Contohnya adalah, pohon yang ditanami harus berbuah dan bisa dikonsumsi, seperti alpukat, nangka, petai, jeruk, dan lainnya. Lalu, selain pohon, budidaya kelinci juga menjadi salah satu alternatif petani. Selain itu, ada juga sayur-sayuran seperti brokoli, cabai, kol, tomat, dan wortel.
Menurut Teten, seorang petani di Saronge, perhari mereka bisa menghasilkan sekitar 80 kilogram sayuran untuk dijual kepada konsumen, termasuk ke pasar-pasar di Jakarta. Lalu, untuk budidaya kelinci, dalam sebulan bisa mencapai 1.500 – 1.700 ekor kelinci dari semua kelompok indukan yang berjumlah 2.000 ekor.
Kelinci-kelinci yang mereka budidayakan juga bukan kelinci biasa melainkan kelinci perkawinan silang, yang diantaranya adalah jenis kelinci Australia, anggora, lion, dan kelinci lokal. Selain itu, air kencing dari kelinci-kelinci itu tidak dibuang begitu saja, tetapi digunakan untuk menyiram pertanian mereka, dan kotoran kelinci menjadi pupuknya. Hal tersebut, menurut Teten, dapat menyuburkan tanaman mereka serta terhindar dari zat-zat kimia dan hama.
“Kalau petani memang sudah jiwa kita. Kami menjalani ini baru 1 tahun dan akan berkembang. Pemasarannya gampang, kalau sayuran paling gampang,” ujar Teten.
Memang, untuk bertani mereka sudah sangat berpengalaman, tetapi, untuk bertani di lahan yang terbatas, ditambah dengan harus membayar sewa tanah dan bersaing dengan para investor dalam maupun luar negeri, menjadi tantangan terberat bagi mereka. Penghasilan dari sayur-sayuran yang rata-rata Rp 800 ribu perbulan, ditambah dengan penghasilan dari budidaya kelinci sekitar Rp 600 ribu perbulan, dirasa belum cukup untuk menutupi kebutuhan mereka.
Jika dibandingkan dengan penghasilan mereka ketika bertani di gunung memang berbeda. “Waktu di gunung perbulan Rp2-3 juta,” tutur Teten.
Ia mengakui, jika ada kesempatan, petani dari Saronge ini ingin kembali seperti dulu, bertani di gunung. Tetapi, sayangnya, bertani di gunung sekarang ini sudah dilarang, karena hal tersebut menjadi salah satu pemicu longsor, sehingga memindahkan tempat bertani mereka sudah menjadi jalan keluar yang terbaik untuk Teten dan para petani lainnya. (EVA)