Dua Sekawan Pemasok Kopi
Kesamaan pengalaman dan hobi sering kali menjadi sandaran bisnis yang ampuh. Itulah yang terjadi pada Arief Said dan Andrew Tang. Sama-sama pernah tinggal di Australia dan coffee lover, mendorong mereka mendirikan bisnis pemasok kopi ke kafe-kafe di Tanah Air. Tahun 2013, dua sekawan ini mengibarkan Morph Coffee. Dengan penuh semangat, mereka menjajakan produknya ke sejumlah kafe. Hasilnya?
Memuaskan. Tiada dinyana, hanya dalam waktu singkat mereka sukses menggaet pelanggan seperti jaringan kafe One Fifteen, Woodpecker, Kakaute, Emeli, dan Society. Tak kurang dari 20 jaringan kafe yang dilayani.
Perkembangan Morph Coffee tak lepas dari keunikannya: kopi yang dipasok adalah yang manis tanpa gula. Dengan demikian, Arief dan Andrew fokus pada biji kopi yang aslinya dari alam memang sudah manis.
Toh perkembangan ini juga tak bisa dilepaskan dari passion dua sekawan tersebut. Di Australia, keduanya tinggal berjauhan: Arief di Melbourne, Andrew di Perth. Kopi menyatukan keduanya. Dan memang, keduanya mencintai dan bahkan pernah berkarier di dunia kopi di Negeri Kanguru. Andrew punya pengalaman sebagai barista, manajer, hingga roaster (pemanggang kopi), mengantongi aneka sertifikasi dan menjadi kampiun pada kompetisi barista. “Saya juga hobi kopi. Juga pernah sebagai roaster,” kata Arief.
Balik ke Indonesia, keduanya melihat satu fakta di pasar: kafe-kafe butuh kopi yang aslinya dari alam memang sudah manis, meski tanpa gula. Mereka pun mencium peluang: kebutuhan untuk me-roasting kopi yang tidak terlalu gelap atau tidak pahit.
Tak ingin peluang lepas begitu saja, Morph Coffee pun berdiri. “Kami mulai dengan pelanggan pertama, kafe One Fifteen. One Fifteen minta dibuatkan seperti itu,” kata Arief. Ternyata sajian mereka bisa diterima dengan baik sehingga bola bisnis pun menggelinding pasti. Satu demi satu klien jatuh dalam pelukan. Kini, ada 12 klien di Jakarta, lainnya di berbagai kota seperti Bandung, Surabaya, Makassar, Bali, Jambi dan Yogyakarta.
Menurut Arief, kunci sukses Morph terletak pada pencarian dan pemilihan biji kopi. “Morph selalu mencari biji kopi terbaik: arabika, bukan robusta. Kopi robusta memiliki kafein dua kali lipat daripada arabika sehingga rasanya akan lebih pahit,” dia menceritakan.
Konsekuensinya, dua sekawan sangat memperhatikan tempat asal biji kopi. Untuk mendapatkan bahan baku terbaik, mereka berhubungan dengan petani dan koperasi perkopian di daerah. Saat ini, salah satu pemasoknya adalah koperasi yang menjadi pengumpul kopi dari berbagai daerah. Koperasi itu mempunyai cabang di Aceh, Jawa Barat, Bali, Sulawesi dan Flores. “Kami bisa mendapatkan kopi yang beragam dari pemasok ini,” kata Arief. Bila ditotal, dari kopi yang diproses Morph, 80% dari Indonesia dan 20% dari mancanegara.
Namun tentu tak cukup dengan itu. “Cara petani memprosesnya pun berpengaruh,” Arief menambahkan. Menurutnya, biji kopi mempunyai rasa yang menarik tanpa perlu ditambahkan unsur lain. Dia mencontohkan, ada jenis kopi asal Garut yang punya rasa ceri dan bentuknya espreso. “Rasa kopi itu jangan sampai hilang ketika di-roasting. Itulah yang kami tonjolkan. Makanya kami seleksi. Kami benar-benar investasi untuk roast profile, seperti cara masaknya bagaimana, mencatat setiap batch yang masuk, ini kami jadikan catatan di arsip,” tuturnya.
Arief menyebutkan, modal bisnis mereka tidaklah besar. “Dibawah Rp 4 miliar. Kami justru intensif tonjolkan nilai tambah, yakni cara memasaknya,” katanya. Dalam berpromosi, pihaknya menyilakan calon pembeli merasakan langsung kopinya di salah satu kafe pelanggan Morph. Sejauh ini pelanggan banyak juga yang datang dari luar daerah. Yang menarik, sejumlah pelanggan baru juga memesan melalui Internet.
Berangkat dari nol, kini produksi per bulan mencapai 800 kg-1 ton, dan segera akan ditingkatkan tiga kali lipat di tahun 2015. Yang pasti, meski bisnisnya makin berkembang, Arief tidak merencanakan untuk mempunyai kafe sendiri. “Kami rencananya lebih ke arah membuat workshop agar orang bisa lebih melihat produksi kami. Kami fokus sebagai pemasok dan roasting. Kalau punya oulet sendiri nggak enak dengan pelanggan kami,” ungkapnya.
Hmm… bisa dimaklumi, sebagai pemasok, mereka malah jadi punya jaringan yang lebih luas. Bahkan bisa memasok ke sebanyak mungkin kafe.
Sudarmadi dan Ferdi Julias Chandra