Sajian Utama

Selamat Datang, Tahun Kelimpahan!

Selamat Datang, Tahun Kelimpahan!

2011 bakal menjadi tahun kelimpahan bagi Indonesia: menikmati boom bisnis yang kini menjadi barang mewah. Inilah saatnya Anda, para pemimpin bisnis, menyusun agenda bisnis yang brilian.

“Anomali” tampaknya masih akan terus kita akrabi. Di mana-mana, dari kedai kopi pinggiran jalan hingga ruang diskusi serius di hotel berbintang, orang masih saja sibuk berkatarsis dan mencaci maki karut-marutnya kondisi sosial politik negara-bangsa yang disebut Indonesia ini. Anehnya, pada saat bersamaan, situasi ekonomi dan kegiatan bisnis jalan terus. Aman-aman saja.

Bahkan, selama setahun lalu, kinerja perekonomian dan bisnis negeri ini bisa dibilang kinclong. Simak saja sejumlah indikator penting berikut ini. Pertumbuhan ekonomi 2010 yang baru saja kita lalui mencapai sekitar 6% – lebih tinggi dari prediksi para ekonom yang dulu rata-rata menyebut angka 5,3%. Laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 2010 sekitar 6,2% (tahun 2011 diperkirakan naik lagi ke angka 6,5%). Pertumbuhan PDB ini didorong oleh konsumsi domestik yang kuat berkat meningkatnya daya beli masyarakat, rendahnya tingkat bunga global, dan tingginya harga komoditas.

Sementara itu, ekspor nasional pada 2010 menembus angka US$ 150 miliar, mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah ekspor Indonesia. Indikator penting lain, praktis sepanjang 2010, perdagangan saham di lantai bursa Indonesia bullish. Indeks harga saham gabungan (IHSG), selama bulan Desember 2010 sudah menembus level 3.700 poin. Melesat 1.000 poin lebih dibanding penutupan IHSG tahun lalu, persisnya pada 30 Desember 2009, di level 2.534 poin.

Memang, teoretis, kalau kondisi sosial politik suatu negara berantakan, perekonomian dan bisnisnya pasti ambles. Dalam konteks Indonesia, setelah menyimak paparan fakta di atas, asumsi tersebut nyatanya tak berlaku. Sejumlah ekonom menyebut fenomena tersebut sebagai decoupling, yakni terlepasnya kaitan antara kehidupan sosial politik dan ekonomi. Betulkah demikian? Menurut saya, istilah decoupling yang sempat amat populer itu terlalu menyederhanakan persoalan: fakta yang terjadi di berbagai realitas sosial dilihat secara terkotak-kotak.

Dengan pikiran dingin, cobalah kita lihat mozaik-mozaik fakta sosial itu secara gestalt, menyeluruh. Niscaya terlihatlah, dalam konteks Indonesia, yang tengah berlangsung sekarang justru kaitan yang begitu erat antara dinamika sosial politik dan kehidupan ekonomi. Yang perlu dicurigai justru cara pandang masyarakat kita (termasuk kaum intelektualnya) terhadap realitas sosial yang belakangan tampaknya (sekali lagi: tampaknya) semakin karut-marut.

Untuk mudahnya, sejenak, mari kita bayangkan kehidupan yang sama sekali lain. Bayangkanlah, di tengah masyarakat yang baru belajar berdemokrasi ini, para warganya lebih suka berdiam diri, seolah-olah segalanya serba aman tenteram. Tak ada gejolak apa-apa. Sepi dari silang pendapat. Tak ada lagi lembaga independen yang berani bersuara lantang mempertanyakan kebobrokan di berbagai sendi kehidupan. Media massa, asal menyentil sedikit kebijakan penguasa, langsung diberedel. Demo-demo, sekecil apa pun, tahu-tahu digelandang tentara – belakangan, para pelakunya pulang tinggal nama. Bahkan, seorang penyair (yang audiensnya pasti sangat terbatas) dianggap berbahaya dan bisa hilang kapan saja tak tentu rimbanya. Maukah Anda kembali ke zaman seperti itu?

Tak bisa dimungkiri, masih banyak kekurangan – bahkan mungkin kebobrokan – pada pilar-pilar demokrasi kita. Baik di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di level eksekutif, misalnya, hampir setiap hari terdengar keluhan dan kritik dari masyarakat atas lambannya pemerintah mengatasi beragam persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Di level legislatif tak kalah menyedihkan: masih banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang suka disuap oleh pihak tertentu untuk menggolkan RUU. Demikian pula di level yudikatif, masih kita saksikan aparat penegak hukum yang doyan sekali duit sehingga menyulitkan upaya penegakan hukum.

Sangat manusiawi jika kemudian banyak orang berteriak, “Kami butuh pemerintahan yang kuat.” Sedemikian frustrasinya, mereka lupa bahwa ekesekutif yang terlalu kuat, tanpa dibentengi lembaga legislatif dan yudikatif yang kuat, justru mengundang bangkitnya kediktatoran.

Bagaimanapun, sejelek-jeleknya kondisi sekarang, masih jauh lebih bagus dibanding era-era sebelumnya. Indonesia telah memilih dan menyambut dengan gegap gempita datangnya era keterbukaan, yang meniscayakan fungsi kontrol dari segala lapisan masyarakat. Kebobrokan memang masih menyeruak di sana sini, tetapi kontrol sosial dan tawaran jalan keluar yang konstruktif pun tak henti-hentinya mengalir. Baik dari lembaga swadaya masyarakat, pers, organisasi profesi, kaum intelektual, institusi keagamaan, perorangan, maupun komunitas dunia maya. Maka, tak usahlah terlalu merisaukan masa depan negeri ini. Yang kita butuhkan sekarang adalah kesabaran dan tanggung jawab bersama untuk berpartisipasi membangun infrastruktur demokrasi yang lebih kokoh lagi.

Itulah kabar baik bagi Anda, para pemimpin bisnis Indonesia. Dan, melihat semakin bergairahnya perekonomian Asia (terutama Cina dan India), plus pulihnya perekonomian negara-negara maju pascakrisis global, percayalah, tahun ini Indonesia bakal menikmati boom bisnis yang selama beberapa tahun terakhir tak pernah kita nikmati.

Maka, sudah seharusnya, Anda menyambut tahun yang penuh kelimpahan ini dengan agenda bisnis yang brilian dan – tentu saja – penuh optimisme.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved