Diaspora

Promosi Kopi Indonesia di San Francisco

Promosi Kopi Indonesia di San Francisco

Memasukkan produk Indonesia ke pasar Amerika tidak selalu mudah. Ikut pameran merupakan salah satu upaya promosi untuk mempermudah upaya tersebut. Beberapa pebisnis kopi spesialti (specialty coffee) Indonesia mengungkapkan pengalaman mereka mengikuti San Francisco Coffee Festival baru-baru ini.

Booth Beaneka Coffee & Roastery di San Francisco Coffee Festival (Foto: koleksi pribadi /Beaneka dan Bimo)

San Francisco Coffee Festival tahun ini memasuki penyelenggaraan ketujuh. Bagi Beaneka Coffee and Roastery yang berbasis di San Francisco Bay Area, ini adalah keikutsertaan kedua dalam acara tahunan itu. Tahun ini, Beaneka memperkenalkan kopi spesialti Bali Kintamani, Sulawesi Toraja, Aceh Gayo, serta kopi luwak dari Ciwidey, Jawa Barat.

Kopi spesialti secara umum mengacu pada kopi berkualitas terbaik berdasarkan sejumlah indikator, dengan grade atau cupping score di atas 80. Kopi ini biasanya dijual dengan harga mahal dan diproduksi melalui proses tertentu.

Amanda Chinitra, salah seorang pemilik Beaneka, mengemukakan, “Ironisnya adalah dari pengamatan kami di coffee festival, banyak sekali orang Amerika yang tidak tahu kopi Indonesia.”

Pengunjung, lanjut Amanda, mengaku tidak pernah mencoba atau mendengar kopi Indonesia. Mengingat Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat dunia, ia tentu saja sempat merasa sedih dan siap bekerja lebih keras lagi untuk mempromosikannya. Ternyata, karena begitu beragamnya kopi Indonesia, masing-masing kopi dinamai dengan wilayah asalnya. Orang tahu kopi Sulawesi Toraja, atau Aceh Gayo, misalnya, tanpa menyadari bahwa Sulawesi dan Aceh adalah bagian dari Indonesia, jelas Amanda.

Bimo Rizki Abdusshamad. (Foto: koleksi pribadi /Beaneka dan Bimo)
Bimo Rizki Abdusshamad. (Foto: koleksi pribadi /Beaneka dan Bimo)

Bimo Rizki Abdusshamad adalah peserta program pertukaran mahasiswa di University of California di Davis (UC Davis). Ia turut menjadi pembicara dalam sesi Coffee Convos di festival itu, bertukar pengalaman mengenai usaha rintisannya.Meski baru kuliah di semester 5, ia sudah diserahi tanggung jawab untuk mengelola usaha rintisan kopi spesialti keluarganya, Grow and Luck, yang berbasis di Yogyakarta.

Ia belajar dari sesama peserta asal luar AS. Peserta asal Vietnam, India dan Amerika Tengah, misalnya, secara spesifik lebih menyoroti keunikan kopi dari negara mereka masing-masing. Karena itu ia menyimpulkan,“Lebih merujuk ke kopi spesialti saja sudah bisa mengangkat nama Indonesia untuk nantinya disebarkan ke berbagai penjuru dunia.”

Selain mengikuti sesi itu, Bimo turun tangan membantu Beaneka menghadapi antusiasme besar dari pengunjung.

Amanda mengatakan, kopi roasted Beaneka yang semula dikhawatirkan akan tersisa setelah festival, ternyata ludes bahkan sebelum acara hari pertama berakhir. “Jadi saya me-roast 12 jam nonstop untuk hari kedua. Responsnya sangat positif, sangat bagus. Nggak menyangka begitu. Beberapa orang berpikir kopi Indonesia itu acidic, low grade, nggak menyangka kopi Indonesia kualitasnya bisa sebagus ini,” jelasnya.

Adhi Jusuf, juga pemilik Beaneka, menambahkan, sejumlah pengunjung mengakui kopi spesialti yang mereka sajikan memiliki rasa terenak dibandingkan kopi peserta lainnya. Ia mengatakan, berbeda dengan rasa unik kopi Beaneka yang single origin (berasal dari satu perkebunan).

“Kami merasa yang lain rasanya sama semua karena hasil blend (racikan dari berbagai jenis kopi), jarang sekali yang single origin,” imbuhnya.

Suasana San Francisco Coffee Festival 2022. (Foto: koleksi pribadi /Beaneka dan Bimo)
Suasana San Francisco Coffee Festival 2022. (Foto: koleksi pribadi /Beaneka dan Bimo)

Dalam pameran yang digelar 12-13 November lalu saja, Adhi menyatakan telah ada beberapa orang yang mengajukan minat untuk bekerja sama, baik dalam mendatangkan biji kopi maupun kopi sangrainya dari Indonesia. Bimo menyatakan pentingnya mengikuti pameran, yaitu untuk memperkenalkan keunikan kopi serta untuk membangun jejaring.

Mengacu pada pengalamannya mengikuti festival kopi baru-baru ini, ia mengatakan bahwa salah satu keunggulan Indonesia adalah tidak ragu-ragu bereksperimen dalam memproses kopi, mencoba menciptakan citarasa baru yang unik.

“Setahu saya orang Indonesia saja yang mau bereksperimen. Di sini mereka tetap mempertahankan apa yang sudah mereka buat, sehingga prosesnya sama terus,” komentarnya.

Untuk berpromosi di AS pada era modernisasi ini, Bimo menambahkan kopi perlu diperkenalkan dengan cara keren dan masuk akal untuk orang-orang Amerika. Ia berancang-ancang akan memanfaatkan informasi digital untuk promosi tersebut. Di antaranya dengan membuat QR code, atau blockchain yang bisa menyimpan semua informasi untuk konsumennya, mulai dari pemrosesan, alat penyangrai (roaster), hingga citarasa dan aroma yang ada di dalam secangkir minuman tersebut.

Beberapa di antara produk kopi spesialti Beaneka. (Foto: koleksi pribadi /Beaneka dan Bimo)
Beberapa di antara produk kopi spesialti Beaneka. (Foto: koleksi pribadi /Beaneka dan Bimo)

Adhi, yang bermimpi dapat menyambungkan hubungan antara konsumen di AS dengan petani dan seluruh komunitasnya di Indonesia, pernah mencoba melakukannya dengan video call. Konsumen kemudian diberitahu dari mana asal muasal kopi yang diminumnya.

Amanda juga punya mimpi. Selain ingin dapat menyajikan kopi racikannya kepada Presiden Joko Widodo, ia ingin membuka kedai kopi dengan cabang di berbagai tempat di AS. Dengan kedai kopi itu, ia ingin, “Bisa menampilkan kopi Indonesia dari berbagai single origin dan memperkenalkan turisme Indonesia kepada para penikmat kopi.”

Dan bagi Bimo, yang akan kembali ke tanah air untuk melanjutkan kuliahnya di UGM, rencana terdekatnya adalah bersiap membawa produk kopi spesialtinya sendiri ke pameran kopi di Jerman tahun depan. [uh/lt]

Sumber: VoAIndonesia.com


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved