Technology Strategy Trends zkumparan

AP II Akan Monetisasi Data Jutaan Trafik Penumpang di Bandara

AP II Akan Monetisasi Data Jutaan Trafik Penumpang di Bandara

(Kiri) Muhammad Awaluddin, Direktur Utama Angkasa Pura II (Dok. SWA)

Selama tahun 2017 Angkasa Pura II (AP II) telah melewati batas angka psikologis traffic passenger, yaitu 100 juta di 15 bandara. Akhir tahun, angkanya diprediksi akan mencapai 120 juta, tumbuh 11-12 persen dari tahun lalu.

Sementara itu, pergerakan penumpang Bandara Soekarno Hatta rata-rata 220-230 ribu, setahun mencapai 65 juta dengan 60 maskapai domestik dan internasional. Setiap harinya, jumlah take off-landing mencapai 1.300 kali

Angka di atas merupakan data, yakni sebuah aset berharga bagi bisnis di era digital ini. Melihat besaran angka tersebut, Muhammad Awaluddin, Direktur Utama AP II tidak tinggal diam. Ia sudah mulai mengimplementasikan strategi transformasi untuk perusahaannya sejak 2-3 tahun ke belakang, salah satunya berupa masuknya portofolio bisnis baru yang berhubungan dengan digital.

“Ada 5 portofolio bisnis AP II. Pertama, airport big data. AP II memiliki hampir 1.000 tenant di bandara yang mengisi ruang komersial. Tahun ini, terjadi hampir Rp 3,2 triliun transaksi uang tunai di sana. Pada saat kami konversi ke e-payment, bisa menjadi revenue stream baru bagi perusahaan. Ini adalah salah satu cara untuk monetisasi big data,” ungkapnya pada acara Kongres FORTI BUMN 2018 di Jakarta (19/12/2018).

Kedua, airport e-commerce, bekerja sama dengan aplikator yang sudah eksis. Ketiga, airport e-payment, bekerja sama dengan platform e-payment eksisting. Keempat, airport e-advertising. Kelima, airport community. Ada komunitas non-traffic passenger di bandara; pekerja dan pengunjung. Di Bandara Soetta, ada 60 ribu satu non-traffic passenger setiap harinya. Kalau ditotal, boleh disebut orang yang keluar masuk Bandara Soetta, mendekati angka 300 ribu orang setiap hari. “Inilah yang kami sebut komunitas yang menciptakan kesempatan bisnis,” dia menegaskan.

Bandara merupakan angota dari ekosistem besar, yang terdiri dari airport operator, air navigation system provider, airlines provider, otoritas, dan lain-lain dengan total 15 anggota ekosistem.

Dalam kiprahnya memimpin perusahaan BUMN tersebut, Awaluddin bervisi untuk menggerakan bandara-bandara kelolaan AP II menjadi smart and connected airport. “Smart airport adalah semua basis proses yang kami otomasikan. Connected airport adalah stakeholders collaboration. Pada saat kita bisa mengolaborasikan 15 anggota ekosistem tadi, itulah konsep connected airport,” jelasnya.

Ada empat pendekatan yang dipakai untuk visi tersebut. Pertama, infrastructure and sharing model. Kedua, resource collaboration model yang kalau tidak ada, bandara akan mengoperasikan sumber daya dengan boros . Misalnya, masing-masing maskapai menyediakan fasilitas groundhandling operation-nya sendiri-sendiri yang merupakan pemborosan. Ketiga, operation platform model yang juga harus disamakan. Keempat, otoritas, juga punya operation platform, misalnya imigrasi punya boarder system control yang merupakan platform imigrasi.

“Ini adalah tantangan paling berat dalam rencana implementasi di bandara, yaitu Airport Collaboration Decision Making yang dalam 1-2 tahun terakhir kami dibantu Telkom Indonesia untuk mengolaborasikan itu. Konsep tadi harus disatukan dan kami memberikan wadah untuk para stakeholders tadi dalam satu tempat yang disebut Airport Operation Control Center (AOCC); ada yang berbasis platform ada yang tida,” ungkap Awaluddin. AOCC tersebut pertama kali dibangun di Bandara Soekarno Hatta, karena berkontribusi 60 persen pendapatan, pergerakan pelanggan, hingga capex (capital expenditure). Melalui hal ini, AP II mengharapkan ada peningkatan pengalaman pelanggan, efisiensi operasi, dan membangun bisis digital.

Untuk mentransformasikan bisnis ke arah digital, Awaluddin berpendapat bahwa inisiasi itu harus datang dari tangan orang nomor satu, yaitu Direktur Utama. Akan sulit bila perubahan besar tersebut dikelola oleh jabatan VP saja. Pasalnya, perusahaan harus membangun digital culture yang kuat, di mana pelanggan dan seluruh pemegang kepentingan perlu dididik. “Kalau hal itu tidak dilakukan, nantinya hanya jadi nice try to have saja dalam teknogi,” ujarnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved