Strategy

Mengawal Merek Lokal, Begini Caranya

Mengawal Merek Lokal, Begini Caranya

Awalnya, investasi asing memang sangat menggoda. Tapi, selanjutnya harus terserah pada putra-putri terbaik bangsa. Merek lokal tentu ingin menjadi raja di negeri sendiri. Satu hal yang tak akan bisa terwujud jika kepemilikan mayoritas telah berganti menjadi asing.

Managing Partner Inventure, Yuswohady mengharapkan para pemilik merek lokal tak begitu saja melepaskan hasil jerih payahnya membangun merek dari nol. Untuk bisa bersaing, memang harus memiliki modal, teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia yang kuat.

Itu semua bisa diperoleh jika ada dana segar masuk. Kuncinya, adalah melakukan aliansi dengan investor asing tapi kepemilikan lokal masih mayoritas. Sehingga, bisa menjadi kebanggaan di masa depan dan siap sedia manakala kontribusinya dibutuhkan negara.

Jika kepemilikan mayoritas sudah dikuasai asing, investor lokal tidak berdaya. Keuntungan hasil menggarap pasar Indonesia yang sangat besar ini juga lebih banyak mengalir keluar ketimbang yang dinikmati di dalam negeri.

vImage.php

Pria yang akrab disapa Siwo itu mengharapkan pemerintah mencontoh Cina yang melarang Google dan Twitter masuk dan menggarap pasar yang sangat besar, sekitar 1,3 miliar penduduk. Para pejabat Negeri Tirai Bambu memilih membuat search engine dan twitter sendiri daripada pasar mereka yang besar diambil asing.

“Alasannya? China punya 1,3 miliar penduduk. Jadi, dia punya bargaining power karena pasarnya besar. dia mau bikin mobil, obat, ataupun semua, kalau dari pemain luar mau masuk, Eits…tunggu dulu. Jadi ada bargaining dengan senjatanya adalah market dalam negeri yang besar,” paparnya.

Hal yang sama tidak terjadi di Indonesia. Pemain asing dengan mudahnya masuk dan menggarap pasar lokal yang besar. Akibatnya jelas, perusahaan lokal semakin menggurita. Saat ada pemain lokal yang sukses, tinggal dibeli. Itulah yang terjadi untuk merek lokal seperti Aqua, ABC, Kecap Bango, Sariwangi, dan Sari Husada.

Jika memaksakan duel head to head dengan asing, merek lokal harus punya daya tahan yang luar biasa. Dia mencontohkan merek the lokal seperti Sosro, kini sudah digempur dari segala penjuru oleh Nestle dan Coca-Cola. Lama-kelamaan, kekuatan merek lokal mengalami erosi.

Namun, ia berharap merek lokal harus tetap percaya diri dan berpikir strategis. Di tengah arus globalisasi, nasionalisme harus tetap dijaga. Jika kepemilikan mayoritas lepas, nilai asli yang menjadi kebanggaan negeri Indonesia akan hilang. Dji Sam Soe, Aqua, ABC, kini tak lagi “Merah-Putih” karena sudah dimiliki berturut-turut oleh Philip Morris, Danone, dan Heinz.

“Solusinya, kita harus berdamai. Kita menggandeng brand asing, tapi posisinya sama. Tidak seperti Aqua yang dibeli Danone. Intinya, kita (investor lokal) harus tetap mayoritas. Contoh, AXA membuat AXA Mandiri, Garudafood beraliansi dengan brand Jepang, lalu ada Transmart-Carrefour,” katanya.

Tujuan merek lokal beraliansi dengan asing ini adalah terjadi transfer teknologi, manajemen, modal, dan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan tetap mayoritas, ada jaminan tetap menjadi merek lokal. Dengan begitu, kontribusinya untuk membangun negeri masih bisa diandalkan.

“Kalau pemiliknya orang indonesia, seperti Irwan Hidayat, Martha Tilaar, orang-orang yang lahir di tanah Indonesia, perusahaannya akan membantu Indonesia. Makanya, kalau bisa, pemilik brand lokal jangan sampai dijual. kalaupun dijual, janganlah sampai 50%,” katanya. (Raden Dibi Irnawan)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved