Management Strategy

Perlukah Pembatasan Impor Jagung dan Kedelai?

Perlukah Pembatasan Impor Jagung dan Kedelai?

Seiring dengan tren, jumlah produksi jagung dan kedelai yang meningkat, Pemerintah terus optimis bahwa produksi jagung dan kedelai akan bisa memenuhi kebutuhan di tahun 2016.Tahun 2016 ditargetkan produksi jagung akan meningkat hingga 24 juta ton per tahun, sedangkan kedelai naik 963 ribu ton. Namun, bagi sebagian masyarakat, target tersebut terlalu ambisisus ketika melihat historis dan produksi jagung hanya mengalami peningkatan sebanyak 700 ribu ton, sedangkan kedelai hanya mengalami peningkatan sebanyak 8 ribu ton. Pun, produksi kedelai masih jauh dari target swasembada, yakni 2,5juta ton di tahun 2015.

P_20160425_133123-640x360

Dalam kondisi target peningkatan produktifvtas yang belum tercapai, Pemerintah berencana melakukan pembatasan impor jagung dan kedelai melalui Bulog dengan sistem kuota. Untuk impor jagung misalnya, jagung yang digunakan untuk pakan ternak akan diserahkan ke Bulog, sedangkan untuk konsumsi manusia akan diserahkan pada swasta. Perbandingannya 80:20. Dengan perubahan tersebut, Pemerintah berasumsi bisa mendorong stabilitas pasokan dan pengendalian harga.

Keputusan Pemerintah untuk melakukan kebijakan pembatasan impor menjadikan beberapa pihak, antara lain para pelaku dunia usaha meragukan keberhasilan dari rencana perubahan importasi dengan sistem kuota. Muncul beberapa kekhawatiran akibat ketidakpastian. Contoh, ketidakpastian jumlah produksi dan konsumsi, ketidakpastian akan kelembagaan Bulog, serta adanya perpanjangan rantai pasok sehingga berdampak pada harga.

Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, menyatakan, jika data produksi belum diyakini akurasinya, penentuan besarnya kuota impor justru berpotensi pada ketidakpastian ketersediaan jumlah pasokan. utamanya ketersediaan jagung untuk pakan ternak yang jumlahnya cukup besar.

“Selain karena akurasi data, belum jelasnya kelembagaan Bulog akan menimbulkan masalah baru. Pemberian hak monopoli pada Bulog yang belum jelas ini bisa berpotensi menimbulkan moral hazard dan harga yang tidak kompetitif.

Dengan adanya impor melalui Bulog, dikhawatirkan rantai pasok akan semakin panjang, sehingga harga pakan akan terus meningkat dan berdampak pada harga daging. Jika begini, yang dirugikan adalah masyarakat sebagai konsumen terakhir.

Berkaitan dengan kebijakan mengenai impor jagung dan kedelai, Enny Sri Hartati, Direktur INDEF menyatakan pemerintah perlu melakukan pertimbangan secara rasional dan terukur. Ia juga menghimbau agar pemerintah tidak terlalu terlena pada ambisi semu dengan peningkatan produksi domestik secara fantastis.

Menurutnya, swasembada jagung dan kedelai memang menjadi solusi pamungkas dalam jangka panjang, namun banyak syarat yang mesti dipenuhi pemerintah antara lain adanya kebijakan insentif yang signifikan bagi peningkatan produktivitas. Mulai dari ketersediaan benih unggul, pupuk yang tepat, penanganan hama penyakit, dan stabilitas harga beli di tingkat petani.

Dengan demikian, peningkatan produksi jagung dan kedelai akan mengalami peningkatan dan membantu melepaskan diri dari ketergantungan impor. Namun, tetap saja, jika melihat realitas konsumsi jagung dan kedelai yang masih cenderung lebih tinggi di masyarakat, Pemerintah harus bijak dalam mempertimbangkan kebijkan impor jagung secara tepat dan terukur. Tujannya adalah agar stabilitas ekonomi makro dan kepentingan masyarakat tetap menjadi propritas. (EVA).


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved