Capital Market & Investment

Investor Masih Atraktif Berinvestasi di Saham, Reksa Dana Saham, dan Obligasi

Investor Masih Atraktif Berinvestasi di Saham, Reksa Dana Saham, dan Obligasi
(kiri-kanan) Head of Research Mirae Asset Sekuritas, Hariyanto Wijaya dan Senior Economist Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto di Jakarta, 6 Desember 2022. (Foto : Vicky Rachman/SWA)

Minat investor terhadap saham, reksa dana, dan obligasi masih cukup atraktif walau prospek ekonomi nasional dan global diprediksi menuju resesi di 2023. Pemodal, khususnya investor institusi, diyakini memiliki dana tunai yang cukup besar untuk berinvestasi di momentum yang tepat tatkala pasar mengalami kontraksi secara tiba-tiba (sudden volatile). Strategi investor adalah mengedepankan prinsip kehati-hatian dan menunggu momentum untuk mengkumulasi beli instrumen investasi yang tingkat risikonya cukup tinggi, seperti saham dan reksa dana saham.

Hariyanto Wijaya, Kepala RisetPT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, mengatakan investor institusi dan manajer investasi (fund manager) mengalokasikan kas dalam jumlah yang besar. “Investor institusi dan fund manager menyiapkan kas untuk masuk ke pasar di momentum tersebut. Sedangkan, investor institusi menunggu timing tatkala market cukup stabil,” ujar Hariyanto di sela-sela Sage Talk & Market Outlook 2023 di Jakarta, Selasa (/6/12/2022) malam.

Rully Arya Wisnubroto, Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas, menyampaikan potensi perekonomian Indonesia mengalami resesi di 2023 itu cukup rendah. S urvei yang dirilis Bloomberg pada Juli tahun ini menyebutkan Indonesia merupakan salah satu diantara negara Asia yang dianggap memiliki probabilitas sangat kecil untuk mengalami resesi. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa probabilitas resesi di banyak negara Asia mengalami peningkatan, meski masih lebih kecil dibanding Amerika Serikat dan Eropa (rata-rata probabilitas 40-55%).

Survei yang dirilis Bloomberg menyebutkan Indonesia merupakan salah satu diantara negara Asia yang dianggap memiliki probabilitas sangat kecil untuk mengalami resesi. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa probabilitas resesi di banyak negara Asia mengalami peningkatan, meski masih lebih kecil dibanding Amerika Serikat dan Eropa (rata-rata probabilitas 40-55%).

Probabilitas resesi untuk Indonesia pada survei Bloomberg sangat kecil, hanya 3% dan lebih rendah dibanding negara ASEAN lainnya, seperti Filipina (8%), Thailand (10%), Vietnam (10%), dan Malaysia (13%). Indonesia juga jauh lebih resilien dibanding negara-negara sejawat di kawasan Asia pasifik dengan probabilitas resesi tertinggi yakni Sri Lanka (85%), Selandia Baru (33%), Korea Selatan (25%), Jepang (25%), dan Tiongkok (20%).

Survei ini kembali menggarisbawahi kuatnya daya tahan ekonomi Indonesia di tengah gejolak global. Berbagai indikator ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa momentum pemulihan ekonomi terus menunjukkan penguatan dan masih terjaganya stabilitas domestik. Sejak tahun 2021, Indonesia sudah berhasil mengembalikan level output ekonomi ke tingkat sebelum pandemic dan menguat di tahun 2022.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada kuartal III tahun 2022 tumbuh 5,72%. Kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi pada kuartal III ini adalah industri pengolahan yang naik 17,88% dan berkontribusi 0,99%.

Di sisi lain, survei Konsumen Bank Indonesia pada Oktober 2022 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat. Hal tersebut tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di Oktober itu sebesar 120,3, lebih tinggi dibandingkan 117,2 pada bulan November 2022. IKK ini konsisten tetap berada di zona optimis lantaran di atas 100. Kenaikan IKK terpantau pada seluruh kategori pengeluaran, kelompok usia, serta kategori pendidikan responden.

Peningkatan itu beriringan dengan ekspansi sektor manufaktur Indonesia yang masih terjaga dalam 15 bulan secara berturut-turut. Kementerian Keuangan menyebutkan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia pada bulan November di level 50,3. Angka ini menunjukkan kinerja manufaktur masih dalam skala ekspansif lantaran di atas level 50.

Ekspansi manufaktur Indonesia terjadi di tengah pelemahan PMI manufaktur di beberapa negara yang bahkan mulai mengalami kontraksi seperti Vietnam 47,4 dan Jepang 49,0. Beberapa negara lain juga belum berhasil keluar dari zona kontraksi seperti Myanmar 44,6 dan Malaysia 47,9. Secara keseluruhan, optimisme dunia usaha masih terjaga dengan terus stabilnya kondisi pandemi serta pemulihan permintaan yang terus menguat meskipun sebagian responden mulai mengantisipasi risiko gejolak ekonomi global.

Sektor manufaktur yang masih ekspansif hingga saat ini merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga kesinambungan pemulihan ekonomi dalam negeri di tengah kenaikan risiko dan ketidakpastian perekonomian global

Rully menyampaikan apabila ada turbulensi, perekonomian Indonesia diyakini tak mengalami resesi di tahun depan. “Kemungkinan hanya pelambatan laju perekonomian, karena probabilitas resesi ekonomi Indonesia itu rendah,” tutur Rully. Dia menggarisbawahi minat investor terhadap Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) di 2023 masih pada tren positif lantaran tekanan peningkatan suku bunga sudah mereda di semester I tahun ini. “Obligasi dan ORI masih atraktif di tahun depan,” sebut Rully.

Sebelumnya, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) optimistis perekonomian nasional di 2023 masih terjaga stabil sehingga bisa menarik minat perusahaan menerbitkan instrumen investasi di pasar modal. BEI menargetkan jumlah pencatatan efek baru untuk menggalang dana di pasar modal melalui di berbagai instrumen semisal saham, obligasi korporasi baru, dan pencatatan efek lainnya meliputi exchange traded fund (ETF), Dana Investasi Real Estate (DIRE), dan Afek Beragun Aset (EBA) itu sebanyak 70 pencatatan efek di tahun 2023.

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved