Personal Finance

Mulai dari Right Issue BRI Hingga Hasil FOMC, Inilah Alasan IHSG Merangkak Naik

Oleh Editor
Mulai dari Right Issue BRI Hingga Hasil FOMC, Inilah Alasan IHSG Merangkak Naik

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kenaikan selama seminggu kemarin. Kenaikan dari pembukaan pada Senin (20/9) dari level 6.133 ke level 6.144 pada penutupan Jumat (24/9) mencapai 11,58 poin atau 0,19%.

Pada perdagangan Jumat lalu, IHSG berhasil menguat 2 poin atau +0.03% pada level 6.144. Kenaikan tertinggi tercatat di level 6.163 sedangkan nilai terendah berada di 6.119. Perencana keuangan Finansialku, Gembong Suwito, CFP®, menganalisis bahwa ada tiga isu yang menjadi pemicu pergerakan market.

Pertama, Case Evergrande Tiongkok. Case Evergrande Tiongkok adalah perusahaan properti terbesar ke 2 Tiongkok yang mengalami kesulitan likuiditas dan pembayaran utang dengan total kewajiban sebesar US$ 300 miliar baik untuk pembayaran obligasi, vendor, dan kontraktor.

Sehingga dikhawatirkan akan terjadi efek domino seperti kasus subprime Mortgage Lehman Brother di tahun 2008. Ditambah lagi, krisis ini bukan hanya menimpa Case Evergrande Tiongkok, melainkan perusahaan lain di sektor properti. Akibatnya, muncul sentimen negatif karena pasar saham global menjadi reaktif.

Menghadapi kondisi ini, Pemerintah Bank Sentral Tiongkok (PBOC) menggelontorkan likuiditas sebesar US$ 18,6 miliar dalam sistem perbankan untuk menstabilkan pasar. Untungnya, penurunan ini hanya sementara sehingga kecil kemungkinan untuk mengalami Subprime Mortgage.

Penggerak market kedua, yaitu right issue BRI. Right issue BRI mencatat sejarah sebagai right issue terbesar di pasar modal di kawasan Asia Tenggara, peringkat ketiga di wilayah Asia, dan menduduki peringkat tujuh di seluruh dunia.

Berdasarkan data dari Biro Administrasi Efek, jumlah HMETD yang telah di-exercise hingga Rabu (22/9) telah mencapai 27,48 miliar lembar saham yang jika dinominalkan mencapai Rp 93,4 triliun atau mencapai 97,4% dari Total Right Issue.

“Keberhasilan Right Issue ini merupakan cermin bahwa dunia luar masih percaya akan prospek ekonomi indonesia saat ini dan dimasa mendatang” kata Sunarso Direktur BRI.

Terakhir, rilis The FED dalam FOMC memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga di bulan September. FOMC atau Federal Open Market Comittee sendiri adalah rapat yang diadakan oleh Bank Sentral Amerika Serikat.

Pada FOMC tahun ini yang diadakan pada 21 – 22 September lalu, The FED akan mempertahankan suku bunga acuan AS sebesar 0 %– 0,25%. Namun, The FED akan melakukan Tapering setelah November 2021.

Mengutip dari Bloomberg, The Fed akan mengurangi stimulus makro dengan mengurangi pembelian obligasi bulanan dan akan menghentikan pembelian US Treasury pada pertengahan 2022.

Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa ia tidak berharap kenaikan suku bunga sampai proses Tapering selesai. Artinya The Fed hanya membutuhkan waktu 8 bulan dalam menyelesaikan Tapering. Siklus ini lebih pendek dibandingkan pelaksanaan Tapering di tahun 2014 membutuhkan waktu 10 bulan..

Lalu bagaimana prediksi pergerakan market minggu ini?

Menurut Gembong, secara teknikal masih naik. Diperkirakan IHSG masih mengalami kenaikan dengan harapan kenaikan dapat mencapai target 6.180 dengan batas resisten di 6.250. “Namun jika terjadi sentimen negatif global dan regional sehingga selling presure tinggi maka batas support masih di 6.060 dan support kuat di 6.000. Secara outlook masih bersifat sidesways namun cenderung naik,“ ujar Gembong. (Mutiara Ramadhanti)

Artikel ini diproduksi oleh tim finansialku.com untuk swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved