Personal Finance Editor's Choice

Musisi yang Serius Trading Saham

Oleh Admin
Musisi yang Serius Trading Saham

“Sejak bergabung dengan grup band Padi tahun 1998, saya telah memutuskan bahwa musik adalah bisnis saya. Tapi saya lebih memilih menjadi seorang investor,” itulah yang dikatakan Piyu dalam presentasinya di acara Investor Summit, 28 November 2012. Lalu bagaimana perjalanan Piyu hingga menjadi trader seperti sekarang?

Selain tetap aktif sebagai musisi dan menjalankan berbagai bisnisnya di bidang musik dengan menjadi produser grup musik (merek) dan mengadakan proyek pencarian talenta setiap tahun, pria bernama asli Satrio Yudi Wahono atau yang lebih dikenal sebagai Piyu Padi ini kini memang aktif berinvestasi saham. Ia bahkan cenderung menjadi seorang trader ketimbang menyimpan saham yang dibelinya untuk waktu lama. Tak heran, musisi yang dikenal sebagai motor grup band Padi ini diundang oleh Bursa Efek Indonesia sebagai salah satu pembicara di Investor Summit tersebut.

Sebenarnya, investasi pertama Piyu bukanlah di instrumen keuangan, emas ataupun properti, melainkan pada gitar pertama yang dibelinya seharga Rp 2,35 juta dari hasil bekerja sebagai kru di belakang panggung yang membantu para awak band saat sedang pementasan di tahun 1997. “Sebenarnya harganya tidak segitu. Harganya sekitar Rp 5 juta. Tetapi karena saya menawar dengan gigih dan mengatakan kepada si penjual gitar begini, ‘Pak, kalau Bapak kasih saya membeli gitar ini Bapak pasti bangga deh. Karena saya akan masuk TV dengan gitar ini’,” ujar pria kelahiran Surabaya 15 Juli 1973 ini sambil tertawa.

Gitar tersebut terbukti memang memiliki nilai investasi bagi Piyu, karena sekarang harganya mencapai Rp 25 juta. Koleksi gitar bungsu dari lima bersaudara ini sekarang telah mencapai 50 buah. Pada dasarnya koleksi gitar tersebut tidak dimaksudkan untuk dijual kembali.

Setelah masuk dapur rekaman tahun 1998, Padi pun mendulang sukses. Mereka sering show ke berbagai tempat dan di tahun 1999 mereka mulai mendapat bayaran dari hasil kerjanya. Piyu pun memutuskan untuk membeli tanah di Villa Cinere Mas dengan uang hasil kerjanya tersebut. Properti itulah yang kelak ia bangun menjadi sebuah studio dan menghasilkan uang lagi baginya. Tahun 2000, studio itu pun telah balik modal karena sering digunakan. Sekali lagi, Piyu telah mengambil keputusan yang tepat dalam membelanjakan uang hasil jerih payahnya.

Diakuinya, saat itu, sebagai anak muda dengan usia masih 20-an tahun yang mendapat begitu banyak royalti dari show dan album, godaan itu sangat besar. “Kalau saya tidak tahan godaan untuk tampil mewah dan hidup konsumtif, semua itu bisa sia-sia,” ungkap lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ini. Karena itulah Piyu berusaha membelanjakan uangnya dengan bijak.

Tahun 2005 Piyu mulai membeli reksa dana. Dari sana ia belajar bahwa reksa dana hanya mampu menghasilkan 10%-15% per tahun. “Itu saja sudah bagus banget,” ia menambahkan. Maka, ia mulai berpikir untuk memiliki bisnis yang bisa membuatnya mendapat uang tanpa melakukan apa-apa. Piyu pun mulai membuat bank lagu, semacam tempat penyimpanan data di mana ia menyimpan lagu-lagu yang ia ciptakan, termasuk lagu yang belum dirilis. “Jadi jika ada yang meminta saya untuk dibuatkan lagu, misalnya untuk drama musikal dan sebagainya, saya tinggal membuka data atau bank lagu tersebut dan memilih yang sesuai. Pada akhirnya itu menghasilkan juga buat saya,“ ia menjelaskan.

Berikutnya di tahun 2007 ia mencoba membeli reksa dana asing. Tak tanggung-tanggung, US$ 80 ribu ia gelontorkan untuk berinvestasi di reksa dana ini. Namun bukannya untung, krisis ekonomi yang menghantam sektor keuangan global di tahun 2008 justru menggerus investasi Piyu di reksa dana tersebut hingga 70%. Tiga tahun ia menunggu sebelum akhirnya memutuskan untuk me-redeem seluruh dananya pada reksa dana tersebut. “Ya setelah tiga tahun itu masih rugi, tapi sudah tidak sampai 70% seperti di 2008, sudah membaik,“ ia bertutur.

Namun, pengalaman itu menjadi turning point bagi Piyu. Setelah itu, ia hanya memiliki aset berupa properti yang terbilang tidak likuid. Saat itu pulalah seorang temannya menyarankan untuk mencoba investasi di saham. Kebetulan teman Piyu itu bekerja di perusahaan Grup Bakrie. Ia pun memperlihatkan riwayat saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) yang telah turun dari harga Rp 8.000-an ke Rp 475. Saat itu Piyu baru saja memperoleh royalti senilai Rp 475 juta dari memproduseri Titi Kamal. Diakuinya, saat itu ia masih mencoba-coba karena memang belum mengerti soal investasi saham. Akhirnya ia membeli saham BUMI di harga Rp 775. Dan ia menjualnya setelah harga BUMI mencapai Rp 2.525. Piyu pun mendulang untung hingga 300% dari saham BUMI.

Sejak itulah ia mulai melakukan trading saham. “Sejak tahun 2008 banyak pelajaran yang saya terima, bukan hanya loss, tapi juga soal bagaimana saya dapat memperoleh profit. Saya kira saham ini benar-benar investasi yang bagus,” ujarnya lagi. Menjelang 2010, ia mulai rajin mengikuti berbagai seminar tentang trading di pasar modal.

Akhirnya, di 2012 ia merasa telah menemukan gaya trading-nya sendiri setelah mengikuti seminar Asia Chart yang belum lama ini diadakan. Seminar itu mengangkat topik tentang cara trading dengan mengikuti tren pasar. “Jadi saya ini mainnya jadi swing trader, following the trend,” Piyu menjelaskan. Dari seminar itu, ia jadi memiliki acuan strategi untuk menentukan waktu masuk ke pasar yang tepat dengan melihat historikal pergerakan harga suatu saham. Ia menggunakan indikator moving average dan volume oskilator.

Menurut Piyu, ia selalu membeli suatu saham pada saat break out, yang berarti harga saham itu telah melampaui titik resistennya dengan volume perdagangan yang cukup besar, sehingga berpotensi menguat. Selanjutnya, ia menetapkan target profit taking, misalnya 10, 20, 30 atau 40 poin di atas harga beli, dan ia pun menetapkan target stop loss, misalnya 50 poin di bawah harga beli. Jika harga saham itu telah naik beberapa poin ia kerap melakukan profit taking sebagian. “Misalnya dari harga beli Rp 600, kalau sudah mencapai Rp 650 saya lakukan parsial profit taking, besarnya 50% saja dari jumlah saham yang saya miliki. Kalau naik lagi sampai Rp 700 ya rezeki, saya bisa cash out, atau bisa tahan. Saya turunkan target stop loss-nya, sehingga kalau pun turun lagi sampai Rp 650, saya bisa lepas, toh masih profit. Tapi kalau dari Rp 600 itu langsung turun, di Rp 550 saja saya sudah cut loss,” tutur gitaris band Padi ini.

Piyu menilai, dirinya terbilang agresif. “Saham blue chip, saham gorengan semua saya sikat. Memang orang-orang ada yang bilang jangan main saham gorengan. Saya pikir sama saham gorengan kok takut. Bagi saya sih, asal siap meminimalkan risikonya saja,“ ia menambahkan. Piyu juga hampir tidak pernah menyimpan suatu saham lebih lama dari sebulan. Dalam sehari ia bahkan dapat beberapa kali keluar masuk pasar. “Setelah liburan ini saya memang belum masuk pasar lagi karena saya lihat pasar sudah cukup jenuh dan orang banyak yang profit taking. Tapi sebelum liburan itu saya bahkan pernah trading saham SUGI (PT Sugih Energy Tbk.) sampai tiga kali dalam sehari. Capek juga rasanya,“ ujarnya sambil tertawa.

Ia memang tidak selalu meraih profit dalam trading, tetapi ia berusaha disiplin untuk dapat memperoleh akumulasi profit setiap bulannya karena pada dasarnya ia melakukan trading saham untuk memperoleh cash flow. Sebagai contoh, beberapa bulan lalu ia pernah membeli saham MYRX (PT Hanson International Tbk.) yang telah menembus level resisten Rp 300-305, yakni di harga Rp 295. “Setelah dia menembus Rp 300, saya pikir Rp 295 itu harga bagus. Ternyata dia turun terus ke Rp 265, saya masih average terus. Tapi saya tunggu bahkan sampai tiga bulan, akhirnya saya cut di Rp 275, sebenarnya itu harga modal saya jika dirata-ratakan, ya saya tidak rugi. Tapi ternyata harganya malah kembali naik bahkan sampai ke Rp 310,” ungkap Piyu.

Keuntungan trading saham itu ia gunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan sebagian lagi ditabung, misalnya untuk liburan bersama keluarga. “Karena itu setidaknya setiap bulan, harus ada poin yang bisa saya dapatkan. Intinya saya mencari cash flow dalam bisnis saham, tapi dengan risiko minimal,” ia menandaskan.

Diakuinya, dulu ia sempat sangat berambisi untuk dapat memperoleh keuntungan berlipat dari trading saham. Ia bahkan berani masuk dengan jumlah lot yang sangat besar di saham blue chip. Namun akhirnya Piyu menyadari, sebagai trader ia bukanlah yang mengatur gerak pasar. Maka, kini ia lebih memilih bertransaksi dengan mengikuti tren pasar dan lebih disiplin. “Soal berapa lot itu tentu tergantung kemampuan dan tergantung harga sahamnya juga,” lanjutnya. Namun, biasanya Piyu mengusahakan untuk dapat membeli lebih dari 2 ribu lot agar jika harga saham tersebut naik satu poin saja, ia sudah dapat beroleh keuntungan cukup signifikan. Terlebih pada saham yang harganya masih di level ratusan rupiah.

Pendeknya, Piyu selalu mempertimbangkan masak-masak sebelum membeli saham apa pun. Jika, menurutnya, chart saham tersebut sudah sangat bagus dan kecil kemungkinan untuk meleset, ia berani membeli dalam jumlah banyak sekalipun saham itu tergolong saham gorengan. Adapun pada saham blue chip, Piyu akan membeli jika dirasanya benar-benar akan ada volume kenaikan yang cukup banyak pada harga saham tersebut. Namun, ia menekankan bagi para investor yang baru memulai, agar jangan langsung membeli dalam jumlah besar, apalagi jika memang belum berani dan terbiasa.

Sebenarnya tak hanya saham, ia pun pernah mencoba trading di forex atau valuta asing. Pengalaman rugi besar pun dialaminya. Tak tanggung-tanggung US$ 25 ribu kandas di pasar forex tahun 2009. Kini, setidaknya ia dapat mengantongi keuntungan rata-rata 30% per bulan dari pasar saham.

Kini, portofolio Piyu hanya ada di saham dan properti. Menurutnya, dari total aset yang ia miliki: sekitar 30%-nya berada di properti yang terdiri dari studio, rumah dan apartemen; 60% di saham yang ia trading-kan; dan 10% sisanya pada dana darurat, termasuk tabungan dan emas. Selain itu, ia juga memiliki asuransi kesehatan dan asuransi plus investasi atau yang dikenal sebagai unit link.

Dari aset propertinya, setidaknya ia dapat memperoleh peningkatan nilai aset 10% per tahun. Dan angka itu di luar penghasilan sewa yang ia peroleh setiap bulannya. Apartemen miliknya bahkan ia agunkan ke bank untuk memperoleh kredit modal kerja bagi bisnis clothing-nya. Ia kini memang tengah mempersiapkan pembukaan toko clothing-nya di Thamrin City.

Ke depan, Piyu tidak hanya ingin meneruskan trading saham, melainkan ia benar-benar ingin menjadi investor di bursa saham. “Saya kira idealnya saya ini mengalokasikan 40% portofolio saya di saham yang untuk long-term, dan 60% yang saya trading-kan. Agresif memang,” ujarnya mengakui. Menurutnya, investor kelas dunia seperti Warren Buffett dan Jesse Livermore sangat menginspirasi dirinya dalam berinvestasi. “Kalau di Indonesia, yang sangat menginspirasi saya ya Bapak Lo Kheng Hong itu,” ungkapnya.

Lisa Soemarto menilai positif langkah Piyu yang telah aktif dan sadar berinvestasi di luar kegiatannya sebagai musisi. Apalagi ia juga telah memiliki proteksi yang berupa asuransi. Namun, perencana keuangan dari Aidil Akbar ini mengingatkan agar Piyu juga perlu menyediakan dana jangka pendek untuk waktu 1-2 tahun, seperti dana sekolah anak. “Hal itu dapat dialokasikan di reksa dana campuran atau pendapatan tetap,” ujarnya mencontohkan. Selain itu, menurut Lisa, idealnya dana darurat yang harus dimiliki Piyu sebagai kepala keluarga dengan istri dan tiga anak adalah 9 kali pengeluarannya per bulan.

Cara Piyu Melakukan Trading Saham

=Menggunakan indikator moving average dan volume oskilator.

= Masuk pasar pada saat break out (harga saham telah menembus level resisten).

= Melakukan averaging (pembelian bertahap) jika harga saham yang diincar turun.

= Menentukan target profit taking.

= Menetapkan stop loss area.

= Melakukan parsial profit taking ketika harga saham telah naik beberapa poin.

= Disiplin melakukan cut loss jika harga saham telah mencapai target stop loss.

= Tidak membeli dalam jumlah yang terlalu besar hanya karena ingin langsung memperoleh profit yang besar.

Komposisi portofolio aset:

Tabungan dan emas: 10%

Properti: 30%

Saham: 60%

Return:

Properti: 10% per tahun

(kenaikan aset di luar penghasilan sewa)

Saham: rata-rata keuntungan 30% per bulan


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved