Personal Finance

Terjerat Sunk Cost Fallacy, Sayang Namun Toxic

Oleh Editor
Terjerat Sunk Cost Fallacy, Sayang Namun Toxic

Toxicrelationship ternyata bukan hanya terjadi dalam hubungan romantis saja. Dalam ekonomi pun ada kondisi yang dapat disebut toxicrelationship. Kondisi ini disebut dengan sunk cost yang berarti biaya yang dikeluarkan tidak bisa dikembalikan atau disebut ‘biaya hangus’.

Istilah tersebut berkembang menjadi sunk cost fallacy, yang dapat diartikan sebuah situasi di mana seseorang telah menginvestasikan, memberikan, mengorbankan apa yang dimilikinya untuk mendapatkan sesuatu, meskipun timbal balik yang didapatkan tidak sepadan.

Contohnya, saat makan di restoran berkonsep all you can eat, banyak orang yang makan melebihi dari porsi yang disanggupi. Alasannya, ‘sayang sudah bayar mahal’ atau ‘mumpung bisa makan banyak’. Meskipun mereka tahu bahwa makan berlebihan akan berdampak buruk bagi tubuh.

Dalam berinvestasi pun dikenal kondisi sunk cost fallacy ini. Investor merasa sudah mengeluarkan modal besar untuk saham tertentu, akhirnya mereka tetap berinvestasi pada saham itu walau trennya sedang turun sekalipun. Mengapa tetap membeli saham yang downtrend? Bukankah rugi?

Ya, pertanyaan di atas sangat tepat diajukan. Ada beberapa kemungkinan penyebab seorang investor tetap mengalokasikan dananya, salah satunya adalah karena faktor psikologis yang membuat kita merasa apa yang sudah dilakukan sebelumnya sia – sia. Harapan dan kepercayaan juga menjadi faktor seorang investor tetap mempertahankan sahamnya.

Namun, apakah mempertahankan saham dan rela terjebak dalam sunk cost fallacy pasti selalu berakibat buruk? Menurut perencana keuangan Finansialku Gembong Suwito, CFP® terdapat perbedaan pendapat tentang hal ini. Bagi trader, hal ini akan merugikannya sehingga mereka cenderung menghindari sunk cost fallacy. Terlebih sifat trading yang jangka pendek, jadi mereka lebih condong pada saham – saham yang up trend.

Berbeda dengan investor jangka panjang yang melihat turunnya saham sebagai peluang untuknya membeli saham lebih banyak. Namun, hal ini pun tergantung dengan pedoman sang investor sendiri. Bagi para investor yang lebih mengandalkan analisis teknikal tentu akan meninggalkan saham sunk cost dan beralih ke saham yang trennya positif. Sebab bagi mereka, apa yang terjadi saat ini lebih penting meskipun emiten tersebut sebelumnya memiliki kinerja yang bagus.

Sementara, opsi berbeda ditunjukkan oleh investor yang percaya dengan analisis fundamental. Mereka melihat bukan hanya yang terjadi saat ini, melainkan menganalisis track record perusahaan beberapa tahun sebelumnya. Apabila performanya baik, maka mereka tidak segan mengalokasikan uang lebih banyak di saham – saham dengan fundamental yang kuat. Contoh emiten yang ramai dibicarakan dan menjebak investornya pada kondisi sunk cost fallacy, yaitu Unilever.

“Kondisi Unilever dalam dua tahun terakhir memang mengalami penurunan. Penurunannya kenapa? Ya salah satunya karena operasional bisnis memang berkurang. Jadi sebenarnya kondisinya terjadi memang penurunan. Tapi kalau kita lihat produk dan bisnisnya itu dia tetap jadi market leader.”, ungkap Gembong.

Melihat fenomena ini, apa yang dilakukan para investor? Sebagian dari mereka tetap percaya jika pandemi sudah berakhir dan situasi kembali normal, maka saham Unilever akan bangkit. Namun, sebagian lainnya memilih menjual saham mereka.

Lantas apa yang sebaiknya dilakukan jika terjebak dalam sunk cost fallacy?

Gembong menuturkan ada 3 opsi untuk mengadapi kondisi ini. Pertama, apabila investor mengedepankan fundamental perusahaan yang kokoh dan memiliki uang sebagai amunisi, maka membeli saham dengan harga yang murah menjadi peluang menguntungkan.

Kedua, apabila investor merasa sudah cinta dan tidak rela melepas sahamnya, maka yang dapat dilakukan hanya bergantung pada deviden sambil menunggu sampai nilainya kembali naik.

Ketiga, investor dapat menjual sahamnya saat menyentuh angka stop loss atau angka terendah yang dapat ditolerir. Oleh karenanya, penting bagi investor merencanakan investasi sejak awal termasuk menentukan di minimal angka berapa saham harus dijual atau stoploss. (Mutiara Ramadhanti)

Artikel ini diproduksi oleh tim finansialku.com untuk swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved