CEO Interview Editor's Choice

Kisah Sukses Tranformasi di Perusahaan “Duafa”

Kisah Sukses Tranformasi di Perusahaan “Duafa”

Agung P Murdanoto, CEO PT Mitra Kerinci (RNI Group), setelah gagal dalam bersaing memperoleh posisi pimpinan di RNI Group, dia mengaku bahwa dirinya dibuang ke sebuah perusahaan yang sangat tidak menguntungkan. Bahkan, dia menyebut perusahaan tersebut sebagai perusahaan duafa. Demi membalaskan sakit hatinya Agung bersama rekan-rekan “buangan” yang berada di Mitra Kerinci mencoba untuk menstransformasi perusahaan yang duafa menjadi perusahaan yang menguntungkan. Berikut pemaparan Agung kepada Dadi A. Salim dari SWA Online mengenai program transformasi yang dilakukannya di perusahaan Mitra Kerinci:

Agung Murdana (tengah) dan tim

Agung Murdanoto (tengah) dan tim

Apa alasan melakukan transformasi? Apa yang ingin ditransformasi?

Sebenarnya awalnya saya ingin membuktikan bahwa bisnis teh itu kalau dikelola dengan baik dan benar maka ada kemungkinan untuk bisa untung juga. Jadi intinya dari sebuah perusahaan yang selama ini rugi, kalau ditransformasi dengan baik dan benar maka akan bisa untung juga.

Yang ditransformasikan itu bisnis teh kalau digarap dengan baik dan masuk ke bisnis yang tidak digarap oleh orang lain maka akan bisa untung. Jadi kami menghentikan produksi teh hitam dan memproduksi teh hijau. Dan yang kedua, bahwa kami memang memproduksi barang yang dibeli oleh pasar. Jadi kami membuat yang memang ingin dibeli oleh pasar, buat apa produksi yang tidak dibeli pasar.

Gambarkan kondisi/kinerjan sebelum transformasi?

Dulu perusahaa itu kalau diakumulasikan bisa merugi sampai Rp43 miliar pada waktu 2012 awal. Utang kami juga hampir Rp273 miliar, dari situ kami mencoba bagaimana menjalankan bisnis dengan baik dan benar saja. Sekarang hutang sudah tidak ada meskipun laba kami masih kecil, hampir Rp1 milar tapi sudah bisa dapat laba. Dulu terkadang banyak pemetik yang pergi untuk jadi kerja di tambang atau kontruksi bahkan ada yang ikut garap sawit.

Bagaimana merancang transformasi? Apa model transformasi yang dijalankan? Apa perlu bantuan konsultan untuk menyusunnya? Bagaimana membentuk tim? Bagaimana melibatkan karyawan?

Kalau dibilang dirancang juga tidak sih, itu jalan begitu saja dan saling ngajak. Pokonya kami punya keinginan untuk membuktikan bahwa bisnis teh itu bisa untung. Kami ingin buktikan bahwa ini bisa jalan dengan baik dan benar kemudian jadi contoh untuk orang lain.

Langkahnya kami lewat dari jalur pimpinan. Jadi pimpinannya saya ajak dan disampaikan kalau cara metiknya seperti apa maka hasilnya bisa bagaimana dan sebagainya. Jadi lebih banyak mengedukasi dari jalur yang ada. Kami juga menenalkan Face Book pada para pemetik. Terus di sana juga ada radio dan kami manfaatkan. Jadi kalau ada pesan itu disampaikannya lewat situ. Jadi memang modelnya itu lebih kepada mengedukasi para pemetik tehnya. Kalau cara metik tehnya benar maka hasil tehnya pun akan bagus.

Kami juga ada membentuk tim untuk agen-agen perubahan. Itu untuk pimpinannya ya hanya kami-kami saja bersama, semua kami libatkan sebagai tim. Jadi tidak ada yang namanya pimpinannya siapa dan anggotanya hanya berapa orang. Semuanya harus terlibat dalam melakukan perubahan ini. Karena tadinya orang-orang ini banyak yang apatis, istilahnya sudah tidak ada harapanlah. Jadi mau tidak mau semuanya harus dilibatkan, sampai pada penduduknya, RT dan RW-nya kalau ada pimpinan agamanya kami libatkan juga. Jadi, tidak hanya karyawan saja yang dilibatkan, tapi penduduk sekitar perkebunan juga ikut terlibat. Di perkebunan teh itu memang ada warga yang tinggal didalam area perkebunan teh. Di area yang 2000 hektar itu ada permukiman mereka, jadi mereka juga ikut terlibat.

Agung Murdananto2

Bagaimana proses melakukan transformasi?

Dari awalnya kami tidak ada menggunakan jasa konsultan untuk transformasi ini. Kami hanya jalani saja. Saya dan rekan-rekan saya di Mira Kerinci coba garap sama-sama dalam artian kalau ada diskusi sama-sama pasti akan nemu caranya.

Tadi saya sudah bilang bahwa kamai menghentikan produksi teh hitam dan masuk ke teh hijau. Kami juga mengedukasi pemetik kami untuk cara memetik teh yang baik agar hasilnya bagus dan punya nilai harga yang tinggi. Memang pada awalnya kami hanya memberikan contoh pada pemetik dan mengedukasi mereka untuk bekerja seperti itu. Dari situ ya berjalan dengan sendirinya.

Apa saja kendala yang dihadapi saat melakukan transformasi? Bagaimana mengatasinya? Perlu berapa lama sampai transformasi itu menghasilkan apa yang diinginkan?

Tentu ada kendala yang dihadapai, karena banyak dari mereka yang sampai sekarang tidak yakin dengan teh itu bisa hidup. Terkadang para pemetik teh itu suka pergi untuk garap sawit atau ikut kontraktor garap untuk konstruksi bangunan, ada juga yang ikut jadi garap tambang. Tapi begitu mereka tahu kalau dari teh juga bisa ngasih uang bahkan dapat lebih, mereka pasti kembali ke kebun teh. Itu sudah terbukti dan mereka memang balik lagi.

Tadi seperti yang sudah saya bilang bahwa kami mulai itu tahun 2012 dan sampai sekarang berarti sudah jalan dua tahun dan sekarang sudah mulai masuk tahun ketiga.

Apa saja hasil-hasil yang telah diperoleh setelah melakukan transformasi? Apa indikasi keberhasilan transformasi ini?

Kalau bagi saya indikasi suksesnya itu kesejahteraan karyawan. Bila dibandingkan dulu tentu jauh lebih tinggi ya

Dalam artian bahwa kami mengajak para pemetik untuk masuk dan mereka akhirnya tahu sendiri hasilnya seperti apa. Dulu mereka tidak pernah dapat jatah produksi dari prosesnya. Sekarang mereka kami tunjukan kalau caranya seperti yang ditunjukan bisa menghasilkan teh yang baik. Untuk lebih gampang kami mengedukasinya dengan uang, jadi harga tehnya bisa lebih mahal.

Apa saja key driver yang membuat proses transfromasi sukses di perusahaan ini?

Kalau untuk saya kuncinya itu cara yang saya sebut ngewongke. Dalam artian memanusiakan manusai. Jadi saya bisa ngobrol dengan akrab dengan pemetik, walaupun saya pimpinan. Sama halnya pemetik saya kalau bicara dengan anak-anak mereka. Menurut saya itu akan jadi lebih mudah untuk melakukan komunikasi. Jadi saya tidak membuat jarak antara pimpinan dan para karyawan saya. Meskipun saya CEO tapi saya coba terapkan bahwa saya bisa sejajar dengan mereka. Jadi pimpinan dengan karyawan itu jadi satu.

Bagaimana faktor kepemimpinan dan peran CEO/owner dalam transformasi?

Keterlibatan karyawan dengan pemimpin itu jadi satu. Tidak ada bahwa kalau saya CEO jadi harus bagaimana. Bahkan ada salah satu pimpinan kami yang tidak lulus SD, karena memang dari sisi kepemimpinannya mereka bisa. Jadi tidak perlu perguruan tinggi untuk jadi seorang pemimpin.

Kalau hal uniknya di dalam kebun kami ada tiga kedai teh. Kami sengaja lakukan itu agar karyawan juga bisa tahu kalau teh yang enak itu seperti apa. Teh yang enak itu juga memang teh yang dibuat dari kebunnya sendiri. Jadi mereka bisa tahu kalau kebun tehnya bisa menghasilkan teh yang enak dan harga jualnya juga mahal. Itu juga jadi salah satu untuk mengedukasi karyawan. Jadi pesan yang bisa didapat dari situ adalah, kalau cara metiknya, memeliharanya bagus, hasilnya akan bagus dan dijualnya juga bagus.

Kalau kendalanya ya memang pada awalnya ada yang tidak percaya, tapi setelah mereka lihat sendiri akhirnya mereka juga sadar bahwa teh bisa menghasilkan dan menguntungkan.

Bagaimana kondisi/kinerja setelah melakukan transformasi?

Sekarang kondisinya harga teh sudah jauh lebih baik karena cara metiknya juga sudah baik. Para pemetik yang tadinya pergi, setelah mereka tahu akhirnya mereka balik lagi ke perkebunan. Utang yang Rp273 miliar juga sudah lunas, bahkan sudah bisa ada laba sehingga kami bisa memberika jasa produksi kepada karyawan. Pabrik juga bisa kami jadikan lebih baik sehingga pabrik teh hijau kami jadi yang terbesar di Asia Tenggara.

Setelah transformasi ini, apa next strategy-nya? Apa akan terus melakukan transformasi lagi? Di bidang apa?

Untuk ke depannya kami ingin mengarah ke listrik. Jadi masalah utama di perkebunan itu adalah listrik. Kebetulan di lokasi kami itu ada air terjun dan sungai. Jadi kedepannya kami ingin berusaha bagaimana merubah sumber energi yang tadinya pakai kayu bakar dan menggunakan listrik dari PLN jadi menggunakan energi yang dihasilkan oleh air terjun aatu sungai yang ada di sana.

Kalau itu nanti bisa berhasil, maka diperkirakan bisa menghemat biaya produksi sebanyak Rp2 ribu per kilo. Dengan demikian laba yang kami peroleh bisa lebih besar lagi. Selain itu juga sisa listrik yang ada bisa kami jual ke PLN. Dan efek ke para pemetik dan warga sekitar juga mereka jadi bisa nonton TV di rumah dan sebagainya. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved