CEO Interview zkumparan

Ratih Rachmawaty, CEO BTPN Syariah: 24 Tahun Menjadi Bankir

Ratih Rachmawaty, Presiden Direktur BTPN Syariah

“Jika kita selalu fokus dalam segala hal akan membuahkan hasil yang optimal, di lingkungan sekolah, kampus, dunia kerja atau percaturan bisnis.”

Sejak kecil tak punya cita-cita, siapa sangka jika kini Ratih Rachmawaty justru menjadi orang nomor satu di PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah (BTPN Syariah). Wanita kelahiran Cianjur (Jawa Barat), 20 Agustus 1971 ini, ditunjuk pemegang saham sebagai Presiden Direktur terhitung tahun 2014.

Sebagai bankir, jam terbang yang dimiliki Ratih sudah tinggi, yakni 24 tahun. Dia berpengalaman di bidang perbankan (finance, audit, risk management, business, development & business planning). Dan 14 tahun terakhir fokus dalam membangun model bisnis segmen mass market.

Pada April 2018, Ratih diapresiasi oleh Cambridge International Finance Advisory sebagai The Top 10 Most Influential Women in Islamic Finance dan April 2019, dia kembali menerima penghargaan sebagai Financial Top Leader 2019 kategori Syariah dari sebuah media nasional.

Meski kariernya moncer, sejatinya Ratih menjalani hidup bagai air mengalir. Sejak dulu dia tak bermimpi ingin jadi ini itu atau mengejar ambisi tertentu. Padahal, dia selalu berprestasi di sekolah ranking 1 atau 2 dari SD, SMP, hingga SMA. Bahkan, ketika mau kuliah dia tidak tahu mengambil jurusan apa untuk masa depannya.

Nah, saat lulus SMA itu, sang ayah menganjurkan dia untuk mengambil jurusan Akuntansi di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung dan dia menurutinya. “Waktu itu ayah saya beranggapan Akuntansi adalah jurusan favorit di masa tersebut,” ujar anak ke-6 dari 7 bersaudara ini mengungkapkan alasan ayahnya.

Ya, Ratih adalah anak yang patuh terhadap kedua orang tuanya. Apalagi sang ayah (Bakur Surojo) adalah tokoh panutannya. Ayahnya adalah pejuang kemerdekaan RI. Sejak di bangku sekolah tingkat SLTA, Bakur sudah mengangkat senjata. Pun, ayah Ratih juga mendorong semua kegiatan anak-anaknya. “Ketika saya SD ikut Pramuka didorong. SMP dan SMA ikut Paksibraka juga didorong. Pokoknya segala aktivitas yang sifatnya membangun karakter dan cinta Tanah Air pasti didorong oleh ayah,” ujar Ratih.

“Ayah saya bilang warisan terbaik orang tua terhadap anak adalah pendidikan. Jadi, sekolahlah setinggi mungkin, orang tua akan selalu support,” ujarnya mengenang wejangan sang ayah seraya mengatakan ayahnya meninggal di usia 80 tahun, sedangkan ibunya sekarang umur 85 tahun tinggal di Bandung.

Pendeknya, sang ayah membebaskan anak-anaknya untuk sekolah di mana saja, berkegiatan positif apa saja dan memilih profesi apa saja, yang penting bertanggung jawab atas pilihannya. “Bagi saya ini adalah prinsip mendidik yang ideal,” ujarnya dan menerapkan pola pendidikan keluarga seperti ini kepada kedua buah hatinya sekarang.

Lantas, wisdom apa yang ditanamkan orang tua? Menurutnya, nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan sang ayah adalah sikap nasionalisme yang tinggi untuk selalu mencintai Tanah Air dan di mana kaki dipijak, di situlah langit dijunjung. Sementara nilai-nilai yang diturunkan dari sang ibu adalah sikap penyabar dan penyayang.

Ketika menjadi mahasiswi Akuntansi Unpad, sosok Ratih dikenal sangat aktif. Dia mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan dan organisasi, seperti jadi pengurus Ikatan Akuntan Indonesia, pengurus Senat Unpad, jadi moderator banyak seminar kampus, studi banding ke berbagai universitas lain, kegiatan sosial kampus dan kemasyarakatan.

Meski jadwalnya padat, toh dia bisa lulus kuliah tepat waktu, bahkan cumlaude. Setelah jadi sarjana apa cita-citanya? “Belum ada juga,” ujarnya tergelak. “Padahal, teman-teman saya ingin bekerja di perusahaan akuntan publik. Lalu, saya iseng saja masukin lamaran ke perusahaan yang banyak jadi impian para job seeker saat itu, yaitu PT Astra International. Ternyata, saya diterima,” ungkap eksekutif wanita bersuara lembut ini.

Setelah bekerja di Grup Astra, rupanya Ratih ditempatkan di anak usaha bidang perbankan, yaitu Bank Universal sebagai management trainee. Selalu berprestasi, bisa ditebak di masa magang itu pun dia dinobatkan sebagai The Best Trainee. Lagi-lagi, Ratih mengaku masih belum punya cita-cita. Dia tidak mengincar target ingin ditempatkan di bagian kredit, funding, marketing atau audit. Yang pasti, dia mengikuti saja proses jenjang karier yang ditetapkan perusahaan.

Saat kariernya di Bank Universal dimulai, Ratih juga ingin melanjutkan kuliah S2 ke luar negeri. Karena keterbatasan biaya, dia mengajukan beasiswa Australia’s Aid dan diterima. “Beasiswa ini saya ajukan dua kali. Yang pertama tidak saya jalani karena masih awal banget kerja di Bank Universal dan tahun berikutnya saat krisis moneter tahun 1998, saya mengajukan lagi, ternyata diterima lagi,” ujarnya dengan nada girang.

Ratih tidak menyangka bisa kuliah MBA dari Melbourne Business School, University of Melbourne, Australia dari hasil beasiswa. Pasalnya, persaingan ketat saat krismon di mana orang lebih banyak kuliah lagi dan beasiswa tersebut diprioritaskan untuk akademisi. Apalagi, calon suaminya juga mendapat beasiswa S2 di Monash University, Australia.

“Strategi saya melamar beasiswa pakai kertas pink muda dan calon suami pakai kerta biru muda agar menjadi perhatian panitia dari ribuan surat lamaran. Begitu dipanggil panitia wawancara, saya berargumentasi bahwa meski saya dari karyawan swasta, tapi kami sungguh-sungguh ingin membantu negeri kita lebih baik dari bidang yang kami kuasai. Kebetulan saya bekerja di bank dan calon suami kerja di kantor akuntan publik,” jelasnya menguraikan.

Ketika beasiswa sudah dikantongi, Ratih menikah dengan Ferry Ardiansyah, adik kelasnya di Akuntansi Unpad. Setelah itu, mereka terbang ke Negeri Kanguru untuk sama-sama kuliah S2. Lagi-lagi, Ratih menorehkan prestasi dengan lulus cumlaude meski sedang hamil besar di akhir masa kuliah. Sebelum kembali ke Indonesia, Ratih melahirkan anak pertamanya bernama Putri Adiva Zahira.

Ratih Rachmawaty bersama suami dan putra putrinya

Setiba di Tanah Air tahun 2000 dan bekerja kembali, kondisi perbankan nasional babak belur pasca dihajar krismon. Industri perbankan Indonesia terjadi restrukturisasi besar-besaran, termasuk Bank Universal. Kala itu, bank milik Grup Astra ini dimerger dengan 4 bank lain menjad Bank Permata. Karyawan diberikan opsi melanjutkan di bank baru atau ambil paket. Dan Ratih pilih paket dengan uang pesangon yang digunakan untuk melunasi utang rumah KPR. “Jadi, saya bersyukur sekali, ketika masih muda (29 tahun) sudah lulus MBA, punya suami dan satu anak serta lunas cicilan KPR rumah,” ujar dia.

Dua tahun berikutnya, kelahiran anak pertama, disusul anak kedua bernama Putra Farrel Azhar di Jakarta tahun 2002. Menurutnya, filosofi nama anak-anaknya mencerminkan cinta Indonesia. Doanya menjadi anak yang memiliki kultur dan tata krama Indonesia, tapi berwawasan mendunia, plus berakhlak muslim.

Kini, kedua buah hati Ratih dan Ferry juga berprestasi dengan kuliah di universitas- universitas terkemuka di Amerika Serikat. “Jika kita kuliah di luar negeri bukan untuk sok-sokan. Namun, menambah pengalaman dan membuka wawasan dunia, sikap toleransi dilatih dan sudut pandang luas. Meski begitu, tetap harus menjunjung budi pekerti dan sopan santun ke-Timuran. Maka cara mendidiknya ada dua: pertama, berikanlah kasih sayang yang baik agar mentalnya baik. Kedua, ajarkan agama dengan taat beribadah,” dia menguraikan tips mendidik anaknya.

Setelah vakum tidak bekerja, Ratih dihubungi headhunter yang menawarkan pekerjaan di Bank Danamon. Dan dia bergabung di bank swasta itu selama 5 tahun, yaitu dari tahun 2003 bagian Risk Management dan divisi lain hingga 2008.

Awal Mengenal Microbanking

Dunia microbanking diakui Ratih Rachmawaty pertama kali dikenalnya saat bekerja di Bank Danamon. Saat itu Bank Danamon akan mengembangkan bisnis mass market bernama Danamon Simpan Pinjam. Akhirnya tahun 2004 diluncurkan Danamon Simpan Pinjam yang tetap berkembang hingga sekarang.

Tahun 2008, Ratih pindah ke Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) diajak oleh Jerry Ng, mantan atasannya saat berkarier di Bank Danamon. BTPN adalah bank swasta yang bermarkas di Bandung sejak lebih dari 50 tahun silam. Bank ini menggarap pasar layanan perbankan kalangan pensiunan.

Jabatan Ratih di BTPN adalah Business Planning Head untuk mass market. Tahun 2009 dia ditugaskan manajemen untuk mengkoordinir pelayanan Tunas Usaha Rakyat, program perbankan untuk keluarga pra sejahtera.

Untuk meningkatkan kemampuannya di bidang microbanking, Ratih dikirim BTPN mengikuti studi banding ke beberapa negara. Mulai dari India, Meksiko, Peru dan Bangladesh, serta institusi-institusi yang khusus bergerak di bidang financial inclusion dan pengentasan kemiskinan seperti Grameen Foundation, International Finance Corporation, United Nation Capital Development Fund dan World Micro Credit Summit.

Ratih juga mengasah kemampuan dengan mengikuti pelatihan kepemimpinan dari Institusi seperti McKinsey & Company, Harvard Business School (Boston, AS), INSEAD Centre for Creative Leadership dan Cambridge Islamic Finance Leadership Programme, serta institusi lainnya.

Kontribusi Ratih di bidang microbanking tidak diragukan lagi. Dia tercatat sebagai salah satu key founder mass market Danamon Simpan Pinjam (2003-2008), microbanking business (Mitra Usaha Rakyat) dan productive poor business (Tunas Usaha Rakyat) di Bank BTPN (2008-2014).

Productive poor business atau bisnis keluarga prasejahtera produktif menjadi bisnis utama Unit Usaha Syariah Bank BTPN, di mana Ratih menjadi Kepala Unitnya sejak tahun 2011. Pada Juli 2014 Unit Usaha Syariah BTPN di-spin off menjadi BTPN Syariah.

“Saya mengembangkan bisnis microbanking BTPN Syariah dari nol. Saya mengawali tim dari dua orang di BTPN unit Syariah tahun 2008. Dan tahun 2009 saya diminta memimpin Tunas Usaha Rakyat yang akhirnya jadi cikal bakal unit usaha syariah Bank BTPN. Seluruh portofolio Tunas Usaha Rakyat dipindahkan ke unit syariah BTPN Syariah. Tahun 2008 – 2014 saya jadi kepala unit syariah BTPN dengan 7.500 karyawan,” jelas Ratih.

Tahun 2014 unit usaha syariah BTPN berdiri sendiri menjadi BTPN Syariah, dan kini memperkerjakan 12.000 orang karyawan di seluruh Indonesia dengan 27 kantor cabang. Menariknya, dari 12.000 karyawan BTPN Syariah itu, sekitar 9.600 orang atau 70% adalah lulusan SMA. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan pola rekrutmen dunia perbankan pada umumnya yang mempersyaratkan pendidikan terakhir calon bankir minimal D3. Mengapa begitu?

“Waktu saya melakukan trip microbanking ke sejumlah negara, saya mempelajari bahwa cara paling tepat untuk melayani keluarga pra sejahtera dengan skala besar adalah melalui model kelompok. Dan kelompoknya adalah kaum wanita. Mengapa ibu-ibu? Karena riset dunia menyebutkan bahwa para ibu jika mendapatkan tambahan pendapatan usaha, maka akan digunakan untuk keperluan keluarga,” Ratih menguraikan alasannya.

Sebanyak 100% karyawan BTPN Syariah yang lulusan SMA (umur 19 – 25 tahun) itu adalah perempuan. Mengapa semua perempuan? Ratih menuturkan, untuk melayani nasabah perempuan, yang paling cocok adalah perempuan, karena mereka lebih sabar, terbuka dan luwes. Alasan lain, para pekerja perempuan ini tinggal di rumah penduduk yang disewa, jadi harus sama perempuan di satu akomodasi. Tidak mungkin mempekerjakan laki – laki dan perempuan tinggal satu rumah.

.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved