CEO Interview Editor's Choice

Trust, Kunci Sukses Garuda Indonesia dari “One Dollar Company” Menjadi “Billion Dollars Company”

Trust, Kunci Sukses Garuda Indonesia dari “One Dollar Company” Menjadi “Billion Dollars Company”

Nama maskapai plat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk semakin berkibar dalam bisnis penerbangan Tanah Air dan mancanegara. Perusahaan yang dikendalikan oleh Emirsyah Satar itu pernah mengalami keterpurukan, bahkan nyaris bangkrut, seolah si burung besi itu berada di titik nadir.

Namun berkat program transformasi yang dilakukan pada tahun 2005, Emir, sang komandan tertinggi, berhasil mengantarkan si burung besi itu menjadi maskapai bintang empat. Kunci sukses transformasi Garuda ternyata bukan hanya berkat kepiawaian Emir dan manajemen baru dalam memutarbalikan keadaan, tapi terlebih karena faktor kepercayaan (trust factor) dari banyak pihak sehingga perusahaan yang berdiri pada 1949 ini menjelma dari one dollar to billion dollars company.

Trust factor itu terjalin dari di antara orang-orang kunci yang menyelamatkan dan membangun fondasi bagi Garuda untuk dapat bangkit dan terus berkembang. Mereka, antara lain,Tanri Abeng, mantan Menteri BUMN; Robby Djohan, mantan Direktur Utama Garuda; Abdul Gani, mantan Direktur Utama Garuda; dan Emirsyah Satar, Presiden Direktur Garuda.

Bagaimana Garuda bisa menjelma menjadi billion dollars company? Apa saja milestone dan lika-likunya? Berikut penuturan Emirsyah Satar, Tanri Abeng, Sugiharto (mantan Menteri BUMN), dan Robby Djohan di sela-sela peluncuran buku “From One Dollar to Billion Dollars Company” di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, pada 4 September lalu. Buku ini merupakan karya bersama Dr. Rhenald Kasali, profesor dari Universitas Indonesia, dan Emirsyah Satar.

Sugiharto

Sugiharto

Sugiharto:

Saya terkesan dengan perkembangan yang luar biasa yang dilakukan oleh Garuda Indonesia. Dulu, saya sering menggunakan maskapai lain untuk menghadiri suatu pertemuan mancangera. Namun kini, sebagai Komisaris Utama di Pertamina, saya hanya ingin menggunakan Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan.

Saya tahu betul bagaimana perjuangan Emirsyah Satar melakukan transformasi yang begitu keras pada awal tahun 2005. Problematika di maskapai plat merah ini dulunya amat banyak. Mulai dari masalah keuangan, daily operation, hingga masalah sumber daya manusia. Namun sekarang, ketiga masalah pokok itu bisa dituntaskan dengan baik. Perlahan, maskapai berwarna biru ini mampu menjadi maskapai bintang empat.

Saya masih ingat betul bagaimana saat itu di dalam kubu perusahaan juga sedang terjadi penolakan, misalnya serikat pekerja terbagi tiga. Bahkan, kondisi tersebut hampir membuat Emir putus asa karena banyaknya politisasi dalam kasus Garuda.

Milestone Garuda dimulai pada tahun 2000-2007 di mana saat itu adalah masa konsolidasi. Tahun berikutnya, Garuda memasuki masa-masa survival dengan ditandai mulai adanya persaingan antara 20 maskapai dan pasar dalam negeri yang semakin memanas. Tahun 2009-2010 adalah masa turn around bagi Emir dan tim untuk melakukan perubahan serta transformasi besar-besaran. Dan hingga kini, maskapai ini memasuki masa “growth”.

Tanri memang ikut berperan atas pencapaian Garuda pada saat ini. Ketika Garuda tengah sekarat dan ditambah himpitan krisis ekonomi 1998, Tanri –ketika itu menjabat sebagai Menteri Negara Pendayagunaan BUMN– menunjuk Robby Djohan untuk menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia. Lalu, giliran Robby yang mengajak Emirsyah Satar untuk bergabung ke Garuda sebagai Direktur Keuangan. Jika saat itu Robby tak berhasil membujuk Emir, mungkin jalan cerita Garuda akan berbeda, tidak seperti saat ini.

Tanri Abeng

Tanri Abeng

Tanri Abeng:

Garuda dulu dan Garuda sekarang amatlah berbeda. Jika dulu banyak orang yang mencibir bahwa tidak ada pramugari dalam Garuda alias pramugarinya tua-tua, maka sekarang Anda bisa lihat kondisi itu jauh berbeda sekarang ini. Coba saja Anda terbang ke rute mancanegara, Garuda kini memiliki awak-awak muda, pramugari yang bukan hanya berasal dari Indonesia, tapi juga dari beberapa negara, seperti Tiongkok dan Korea.

Seperti yang dijelaskan oleh Sugiharto, memang benar, bahwa sangat sulit bagi Emir untuk men-turnaround Garuda. Di sana terlihat jelas ketegangan-ketegangan yang tiada henti pada tahap awal: perlawanan internal, pemogokan, gangguan pada sistem informasi, kasak-kusuk kegelisahan, dan ancaman-ancaman kematian.

Semua itu bisa menjadi cerita yang berbeda dengan Garuda Indonesia yang Anda lihat dan rasakan pada hari ini. Garuda yang kita kenal hari ini adalah sebuah kisah yang membanggakan dengan segudang pujian dan penghargaan. Keberhasilan Garuda melakukan turnaround melaksanakan “IPO” meraih berbagai penghargaan berskala internasional, dan menjadi anggota aliansi penerbangan global, telah menempatkan Garuda sebagai global player dalam industri penerbangan internasional dewasa ini.

Oleh karena itu, ketika akhirnya menerima tugas dari pemerintah untuk memimpin Garuda, saya lebih banyak mendapatkan komentar yang bernada pesimis dari kolega-kolega saya mengenai masa depan Garuda.

Manajemen baru yang dipimpin Emir ini mengemban tugas yang tidak mudah. Ketika itu total utang Garuda mencapai US$845 juta dengan posisi cash flow yang negatif, utang Garuda tidak boleh default, sebab itu bakal berdampak negatif terhadap utang luar negeri Indonesia. Dari sisi operasional, tingkat load factor Garuda juga terbilang rendah, hanya berkisar 60%, dengan kinerja on time performance (OTP) masih di bawahstandar: 85%.

Utang yang bertimbun, negative cash flow, ditambah terjadinya kasus pembunuhan Munir di pesawat Garuda adalah babak pembuka dari perjalanan Emir sebagi CEO Garuda Indonesia. Emir harus berhasil meyakinkan anggota DPR bahwa untuk menyelamatkan Garuda, maskapai penerbangan itu membutuhkan suntikan modal hingga Rp3 tiliun. Ini bukan jumlah yang sedikit, sehingga dicairkan dalam dua tahun anggaran.

Dengan masalah yang tertimbun, Garuda layak dinyatakan sekarat, bahkan secara teknis bisa dikatakan bangkrut, sehingga nyaris dilikuidasi oleh pemerintah. Waktu itu, Menteri Keuangan menginginkan perusahaan ini ditutup pula. Bahkan investor menilai bahwa nilai saham Garuda hanya US$1 dolar saat itu. Mau taruh di mana muka saya saat itu jika orang-orang tahu bahwa Garuda hanya dihargai satu dolar AS.

Dari situlah saya berpikir keras, apa yang harus saya lakukan untuk menyelamatkan Garuda? Saat itu, saya dipanggil oleh Presiden Soeharto untuk berbicara soal pembenahan perusahaan-perusahaan milik negara yang sedang bermasalah, salah satunya Garuda.

Saya memberikan beberapa pendapat agar BUMN bisa dikelola dengan baik, salah satunya mesti ada badan/perusahaan yang mengontrol mereka. Pak Harto setuju terhadap pendapat saya, tapi beliau lebih setuju kalau saya yang menjabat sebagai Menteri BUMN saat itu. Jujur saya terkejut.

Garuda menjadi salah satu PR terbesar saat itu. Kemudian saya mencari cara bagaimana agar keterpurukan ini tidak sampai menutup Garuda. Saat itu saya berpikir, salah satu cara menyelematkan Garuda adalah mengganti orang-orang di dalamnya, khususnya Direktur Utamanya. Setelah melihat buruknya catatan Garuda, saya percaya, yang bisa memulihkan kondisi ini adalah profesional-profesional yang berlatar belakang dari dunia perbankan alias bankir.

Satu nama yang ada di kepala saya adalah Robby Djohan. Robby pernah 11 tahun berkarier di Citibank dan 18 tahun memimpin Bank Niaga. Dalam kondisi seperti itu, saya setuju Garuda mesti dipimpin oleh sosok yang menguasai masalah-masalah finansial dan memiliki karakter kepemimpinan yang keras dan kuat. Maka, tak heran kalau pilihannya jatuh pada Robby Djohan.

Kemudian, saya telepon Robby untuk membicarakan hal ini. Namun, seperti yang saya sudah duga, bukan perkara mudah mengajak beliau untuk mengambil posisi ini. “Lah, gua udah banyak duit kok,” itu jawaban Robby saat itu. Dengan susah payah, akhirnya saya berhasil meyakinkan Robby untuk mau membenahi Garuda dengan alasan membantu negara.

Ketika Robby masuk, kondisi Garuda sudah sangat kritis. Kegiatan operasionalnya terancam. Dana kas Garuda hanya tinggal US$ 20 juta. Padahal, biaya operasional Garuda per bulan mencapai US$ 60 juta.

Saat itu Robby hanya meminta satu hal: memberikan kebebasan dan kepercayaan sepenuhnya kepada dia dalam melakukan perombakan ini-itu. Robby meminta jajaran direksi juga dirombak. Untungnya, Pak Harto menyetujui perombakan itu dan memberikan kebebasan dan kepercayaan sepenuhnya kepada saya dan Robby. Selain kebebasan, Robby juga minta hanya kerja 6 jam per hari. Yah, begitulah gaya dia bekerja. Tapi memang untuk membenahi Garuda saat itu hanya orang-orang “gila” yang bisa melawan mafia-mafia saat itu. Singkatnya “mafia” harus melawan mafia.

Selanjutnya, Robby digantikan Abdul Gani, lalu kemudian ia digantikan oleh Indra Setiawan, yang notabene merupakan orang dalam Garuda. Beberapa waktu setelah itu, Emir pun mengundurkan diri dari Garuda. Ia merasa sudah cukup mengabdi bagi negara dengan menjadi Direktur Keuangan. Emir kemudian pindah ke Bank Danamon sebagai wakil presiden direktur.

Emirsyah Satar, CEO Garuda Indonesia

Emirsyah Satar, CEO Garuda Indonesia

Emirsyah Satar:

Masuknya saya ke Garuda tidak se-simple yang Anda kira sebenarnya. Saat itu, saya sedang membangun karier di Hong Kong. Tiba-tiba orang kantor saya mengatakan bahwa ada telepon dari Robby Djohan. Sontak saya terkejut dan bertanya, “Ada apa dia menelpon saya?”.

Melalui saluran telepon, Robby meminta saya untuk menjadi Direktur Keuangan Garuda. Saat itu jawaban saya jelas: “Tidak bisa”, karena saya sudah merasa “cukup” dengan apa yang saya dapat di Hong Kong.

Penawaran Robby tidak berhenti sampai di situ. Dia terus meminta saya untuk membantu. Nah, karena saya menghormati dia sebagai senior, maka saya memutuskan untuk bertatap muka langsung dengan beliau. Niatnya, saya mau bilang: “Maaf, saya benar-benar tidak bisa bergabung,” secara tatap muka dengan sopan. Namun, ketika bertemu, yang dia tangkap saya sudah meng-iya-kan tawaran itu.

Ketika saya ketemu, Robby langsung menyodorkan setumpuk kertas dan menceritakan permasalahan Garuda. Saat itu saya juga bingung, padahal saya bertemu dia hanya ingin mengutarakan penolakan secara halus, tapi kenapa akhirnya saya disodorkan masalah-masalah ini. Wah, mungkin dia salah tangkap maksud saya.

Robby Djohan:

Saya sendiri waktu itu merasa sulit meyakinkan Emir untuk bergabung. Pasalnya, saya tahu, Garuda tidak bisa membayar mahal buat Emir. Saat itu saja, mungkin Garuda hanya bisa menggaji dia sekitar Rp 80 jutaan, sementara gaji dia di Hong Kong bisa mencapai Rp 500 jutaan per bulan.

Dengan teknik yang sama yang dilakukan Tanri ke saya, saya yakinkan Emir agar mau berkontribusi buat negara.

Emirsyah Satar:

Saya pun ketika ditanya oleh istri, saya hanya menjawab: “ I do not know how much I get.” Fasilitas apa saja yang saya dapat, saya benar-benar tidak tahu hal itu. Hingga suatu hari, saya dan Robby bertanya, “Kita dapat apa ya di Garuda? Gaji kita berapa?” Lalu, kita panggil HRD untuk menjelaskan hal itu..hahahahaa.

Saat itu kondisi Garuda sangat mengenaskan. Armada kami pada tahun 2006 hanya sekitar 49 pesawat saja, dengan revenue hanya sekitar US$1 miliar. Tapi kemudian, hingga 2013 kami memiliki 140 pesawat dengan revenue sekitar US$3,7 miliar atau naik empat kali lipat.

Tahun-tahun ini, kami harus terus growth agar bisa menangkap peluang. Kami sebenarnya ingin menaikan harga tiket tapi harus mendapat izin dari Kementerian Perhubungan terlebih dalu. Pak Menteri bilang, izin akan dikeluarkan setelah Lebaran ini, dan kini kami menagih janji itu. Dengan begitu, kami akan bisa terus meningkatkan kinerja di tahun ke depannya. Untuk kuartal keempat ini masih ada opportunity salah satunya pemberangkatan calon jamaah haji.

Untuk menjadi pemain kelas dunia, Garuda fokus tiga hal: people, process dan teknologi. Untuk people misalnya, kami berkerja sama dengan GE untuk memberikan pengetahuan leadership. Seluruh direksi dan direksi anak perusahaan kami berangkatkan ke sana.

Robby Djohan

Robby Djohan

Robby Djohan:

Perjalanan Garuda menjadi perusahaan seperti sekarang adalah pembelajaran bagi semua perusahaan di Indonesia. Keberhasilan Garuda saat ini berkat sebuah kepercayaan. Faktor kepercayaan (trust factor) adalah kunci keberhasilan bertranformasi hingga menjadi “billion dollar company”. Misalnya, kepercayaan yang diberikan Tanri ke saya, atau kepercayaan saya ke Emir dan banyak pihak lainnya.

Kita semua saling support satu sama lain. Trust relationship kami amat begitu kuat sehingga melahirkan sinergi yang sangat baik pula. Emir adalah successor Garuda. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved