Perkawinan Dini Akibatkan Negara Alami Kerugian Besar | SWA.co.id

Perkawinan Dini Akibatkan Negara Alami Kerugian Besar

Meski belum ada data yang tepat,  dampak perkawinan dini dipastikan mengakibatkan negara mengalami kerugian besar.

Ini karena beban yang harus ditanggung negara akibat perkawinan anak membawa dampak buruk bagi anak perempuan seperti  gangguan kesehatan dan reproduksi, gizi buruk, gangguan psikologis, risiko kekerasan dalam rumah tangga, terhentinya pendidikan dan kurangnya kesejahteraan.

Angka perkawinan usia anak di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia. Berdasarkan laporan UNICEF dan Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sekitar 1.000 anak perempuan menikah setiap hari. Ada beberapa penyebab yang mendorong terjadinya perkawinan anak di Indonesia seperti pendidikan, budaya dan status ekonomi.

Plan Internasional yang merupakan organisasi non profit yang sangat konsern pada pemberdayaan anak perempuan dunia mengungkapkan 1 dari 4 anak perempuan Indonesia menikah terlalu dini atau setara dengan 1,2 juta anak.

Pernikahan dini ini banyak terjadi di antaranya di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah. Walau begitu, pernikahan dini juga terjadi di perkotaan, bahkan di Ibu Kota karena kurangnya pengetahuan seksual dini pada anak.Data yang membuat miris ini dipaparkan dalam kampanye yang dilakukan dalam diskusi dengan tema “Cegah Perkawinan Anak Guna Wujudkan Generasi Produktif” yang digelar Plan Internasional Indonesia di Ke Kini Ruang Bersama Cikini Jakarta.

“Secara global, kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15 – 19 tahun. Ancaman kesehatan yang berakibat fatal ini terjadi karena remaja perempuan di bawah usia 18 tahun belum memiliki kesiapan fisik yang prima, baik dari stamina jantung, tekanan darah, atau organ reproduksinya,” ungkap Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi Dr. dr. Julianto Witjaksono, Sp.OG (KFER), MGO salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.

Dokter Julianto menambahkan, perkawinan dini juga meningkatkan angka stunting (gizi buruk) pada anak-anak yang mereka kandung. Ini mengakibatkan otak kecil kemampuan belajar terbatas, berdampak rendahnya keceedasan dan produktifitas. Juga mengakitbatkan tingginya angka penyakit pada saat kehamilan, belum lagi risiko kanker servik.

Tadinya dikira perkawinan dini hanya di pedesaan saja, ternyata peningkatan pernikahan dini terjadi juga di perkotaan. Maka itulah Plan International Indonesia, organisasi non profit yang peduli terhadap pemenuhan hak-hak anak dan kesetaraan anak perempuan, berperan aktif dalam memutus rantai dan mencegah perkawinan anak melalui berbagai inisiatif dengan membangun aliansi maupun kemitraan dengan berbagai pihak. Seperti proyek “Yes I Do” yang dilakukan bersama Rutgers WPF Indonesia dan Aliansi Remaja Independen.

Proyek ini ditujukan untuk mendukung anak perempuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi dan partisipasi anak muda yang bermakna. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi juga diperlukan untuk mencegah kehamilan dini, yang juga sering menjadi penyebab perkawinan anak. Selain itu, pencegahan perkawinan usia anak juga didukung oleh Komite Perlindungan Anak Desa (KPAD) dan prototype pencatatan kelahiran online (pembuatan akta lahir).

“Di tahun 2009 Plan International Indonesia menginisiasi pembentukan KPAD di 31 desa dan kini telah berkembang di lebih dari 900 desa di Indonesia karena perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak. KPAD merupakan kelompok kerja kolaborasi antar berbagai unsur masyarakat dan pemerintah dalam melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan,” ujar Amrullah , Child Marriage Program Manager Plan International Indonesia.

Amrullah menambahkan pihaknya juga menggandeng forum anak, sekolah, lingkungan ( dunia usaha) serta tentunya keluarga penting sebagai agensi untuk menekan pernikahan anak. “Kami menggunakan persepsi anak muda, melalui youth program untuk membantu mereka menyuarakan dengan tepat ke anak-anak ini tentang kerugian perkawinan dini. Di perkotaan beda dengan pedesaan pendekataannya,” imbuhnya. Agar efektif, Plan Internasional membangun Youth Coalation for Girls agar gerakan ini tepat sasaran. Selain itu untuk membuat para anak yang sudah terlanjur menikah dini, dilakukan youth economic empowerment. Contohnya dengan menciptakan kewirausahaan, mengembangkan teknologi pertanian di kampung (salah satunya di NTT), dan menghilangkan mental block, melalui soft skill.

"Kami menggandeng perusahaan global dan APINDO untuk upaya-upaya tersebut,” imbuh Amrullah. Pihaknya juga terus memperjuangkan agar anak-anak yang sudah terlanjur hamil atau menikah, tidak dikeluarkan dari sekolah dengan melakukan pendekatan pada Pemda setempat.  Tujuannya, agar anak-anak ini tetap produktif ke depannya, negara juga tidak mengalami kerugian lebih besar.

Karena perkawinan anak dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk kepada generasi yang akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Jika perkawinan anak terus berlanjut akan berpengaruh pada bonus demografi usia produktif sehingga berdampak pada terhambatnya pertumbuhan sosial dan ekonomi. Bonus demografi usia produktif di Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mencapai 70 persen. Hal ini dapat mempercepat roda pertumbuhan ekonomi saat generasi muda memiliki kualitas yang baik; secara pendidikan, pekerjaan dan kesehatan.

Untuk itu peran serta berbagai pihak, baik itu pemerintah, masyarakat, organisasi serta anak itu sendiri memiliki peranan penting dalam mencegah terjadinya perkawinan anak,” ujar Rohika Kurniadi Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan, Keluarga dan Lingkungan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlinduangan Anak Republik Indonesia.

Menjelang Hari Anak Perempuan International yang jatuh pada tanggal 11 Oktober, Plan Internasional Indonesia ingin mengajak masyarakat untuk turut berperan aktif dalam mencegah praktik perkawinan anak di Indonesia." Sebagai organisasi yang berkomitmen untuk memastikan anak perempuan dapat belajar, memimpin, memutuskan dan berkembang dengan baik, kami ingin anak Indonesia menjadi generasi yang produktif dengan mengenyam pendidikan setinggi mungkin, sehingga mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak,” kata Amrullah.

 

Editor : Eva Martha Rahayu

 

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)