CSR Corner

Program Co-Class Ini Dipuji Menaker RI

Program Co-Class Ini Dipuji Menaker RI

Dalam rangka mewujudkan kesepakakatan yang telah ditandatangani antara Kementerian Ketenagakerjaan, UID (United in Diversity) atau Yayasan Upaya Indonesia Damai dan Tsinghua University pada November 2016, maka diadakan Collective Creative Learning and Action for Sustainable Solution (Co-Class). Kelas yang diselenggarakan bersama Universitas Paramadina juga ini merupakan wujud tiga pihak dalam meningkatkan kapasitas kepemimpinan kolektif tri-sektor bisnis, Pemerintah, dan masyarakat madani sehingga mampu mengatasi berbagai tantangan ketenagakerjaan ke depan.

Menteri Tenaga Kerja Muhammad Hanif Dhakiri mengapresiasi Co-Class yang program untuk angkatan pertamanya ditutup pada Sabtu 4 November 2017. “Walau program ini kurang dari lima bulan, tapi berhasil melakukan reformasi mental yang sangat penting untuk menghasilkan aksi nyata dalam mewujudkan sistem ketenagakerjaan yang berdaulat, mandiri, berlandaskan gotong royong dan rasa percaya. Saya juga bergembira dengan adanya aksi nyata yang muncul dari prototype solusi ketenagakerjaan yang disampaikan oleh 4 kelompok dari Co-Class dan saya berharap bahwa aksi nyata tersebut akan dilanjutkan,” kata Hanif saat penutupan program ini di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan RI, Jakarta.

Program ini telah diselenggarakan sejak pertengahan Juni lalu, meliputi 6 kali workshop: orientation workshop, foundation workshop, sensing workshop, deepdive workshop, prototyping workshop dan terakhir pada 3-4 November, yaitu final workshop dan acara kelulusan. Pembelajaran yang diberikan selama Co-Class berfokus kepada peningkatan kapasitas pemimpin di abad 21 meliputi hardskill dengan penekanan kepada kemampuan softskill, yaitu berbagi visi (sharing vision), membuat keputusan strategis (making strategic decision), meningkatkan kesadaran dalam diri (awareness), membangun hubungan (building relationship), dan menjadi manusia pembelajar (learning).

“Kami merasa berbahagia, kami bisa merasakan semangat gotong-royong dalam setiap ide prototype yang ditampilkan dalam kegiatan kelulusan ini. Kami merasa optimis bahwa dengan adanya rasa saling percaya lintas sektor, pemerintah-bisnis-masyarakat madani, Bangsa dan Negara Indonesia akan mampu melewati tantangan dengan mengubahnya menjadi peluang. Dan itulah alasan utama mengapa kami mendirikan organisasi UID ini, ” kata Cherie Nursalim, pendiri UID.

Setelah melalui proses seleksi, program Co-Class ini diikuti 26 peserta. Mereka terdiri dari 16 peserta yang berasal karyawan Kemenaker dari 7 unit eselon I dan BNSP yang terdiri 3 orang Eselon II dan 13 Staf atau Eselon IV. Kemudian 3 orang dari serikat pekerja, 1 orang dari LSM, 5 orang dari dunia usaha dan 1 orang dari akademisi. Dalam pelaksanaannya, peserta diminta untuk membentuk 4 kelompok kerja yang mendalami atau dalam bahasa Co-CLASS “menyelami” (deep dive) berbagai isu berbeda dalam sistem ketenagakerjaan. Inilah resume dari hasil nyata 4 kelompok kerja yang berupa solusi terhadap salah satu isu ketenegakerjaan yang dapat di replikasi dan di implementasi selanjutnya.

Kelompok pertama yang menamakan diri Mc Gyver, mengangkat isu perlindungan TKI. Kelompok ini berhasil mengembangkan prototipe TKI-One dalam bentuk website yang bisa membantu calon TKI meningkatkan pemahaman tentang segala seluk beluk bekerja di luar negeri.

Kompok kedua bernama Vocational Enrichment Training Tranformers (VETTs) dengan fokus kepada mengatasi isu adalah perbedaan gap kompetensi tenaga kerja dengan kebutuhan industri yang sangat erat kaitannya dengan upaya untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kelompok ini berhasil mengembangkan prototipe E-POINT (e-Pemerintah dan Asosiasi Industri untuk Talenta Nusantara), sarana jejaring komunikasi digital bagi asosiasi industri dengan pihak pemerintah.

Dengan menggunakan perusahaan ritel PT Mitra Adiperkasa Tbk, dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) sebagai tempat uji coba, ditemukan dua hal pokok yaitu pertama adanya perbedaan kompetensi kurikulum dan modul yang diberikan oleh Balai Latihan Kerja (Kemenaker) Bisman Semarang yang membuat industri sulit untuk menyerap keluarannya. Kedua, proses komunikasi dengan Asosiasi Industri membantu pemerintah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam akan trend dan kebutuhan industri. Kerjasama ini direncanakan akan ditindaklanjuti dan diharapkan memberdayakan BLK sehingga keluarannya dapat diserap oleh industri.

Sedangkan Kelompok ketiga yang menamakan diri Caterpillar dengan fokus isu yang diangkat adalah kualitas pelayanan publik ketenagakerjaan di Kementerian Ketenagakerjaan. Kelompok ini berhasil mengembangkan prototipe Aplikasi Sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (ASIKKK) untuk memudahkan proses Sertfikasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).

Kelompok keempat dengan nama Masa Kini Masa Gitu (MKMG) dengan fokus isu yang diangkat perlindungan atau jaminan sosial bagi tenaga kerja informal. Kelompok MKMG berhasil mengembangkan prototipe Gojes-Jempol yang terbukti mampu meningkatkan akses pekerja informal ke layanan perlindungan sosial. Prototipe kelompok ini mampu melahirkan kerjasama perusahaan transportasi online Gojek dengan BPJS yang kemudian mendorong driver online ikut serta dalam layanan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam satu bulan uji coba, tidak kurang dari 8.100 pengemudi Gojek yang ikut dalam layanan BPJS Ketenaga Kerjaan melalui Gojes-Jempol.

Seperti diakui salah satu peserta, Sumiyati, Sekretaris Serikat Pekerja Nasional, yang mengatakan bahwa awalnya dia tidak yakin Co-Class adalah program yang serius dan mampu memfasilitasi serikat pekerja, pengusaha, pemerintah, LSM, dan akademisi duduk bersama untuk membahas isu ketenagakerjaan dan mencari solusi bersama. “Rasanya saya ingin mundur dari program ini. Namun ternyata saya salah, dan mengakui bahwa program ini telah mengubah banyak cara pandang saya, cara saya berpikir dan bertindak, bahkan mengubah hal-hal yang selama ini saya yakini benar,” kata Sumiati.

Metode pembelajaran Co-Class sangat membantu membuka wawasan peserta tidak hanya terhadap situasi saat ini, namun juga mampu membangun visi bersama terhadap sistem ketenagakerjaan seperti apa yang diidamkan oleh tri-sektor. Selain itu, melalui proses pembelajaran, peserta mampu membangun hubungan lintas sektor yang didasarkan pada rasa saling percaya sehingga memungkinkan terciptanya kolaborasi dan sinergi untuk mencari solusi agar dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan bagi Indonesia.

Cherie Nursalim mengatakan, Co-Class sangat fleksibel sehingga bisa diterapkan pada sektor atau fokus isu apapun, karena subtansi pembelajaran dalam program ini adalah mengajak peserta untuk berpikir terbuka, hadir utuh dan sadar penuh dalam setiap kegiatan yang dilakukan, dan sebagai pemimpin harus rajin sensing atau blusukan sehingga peka terhadap isu riel di lapangan. “Melihat hasil yang dicapai, kami berharap program semacam Co-Classdapat dilanjutkan dan bisa dikembangkan ke sektor lain sehingga proses revolusi mental yang menjadi salah satu semangat pemerintah saat ini bisa tercapai,” kata Cherie.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved