Editor's Choice Youngster Inc. Entrepreneur

Bisnis Wangi Angelinda dan Daniel

Bisnis Wangi Angelinda dan Daniel

Angelinda Fransisca dan Daniel Tan

~~

Bagi pasangan Angelinda Fransisca dan Daniel Tan, sabun bukan semata pembersih tubuh yang memberikan sensasi wewangian. Dari sabun, pasangan ini juga meraup omset lebih dari Rp 200 juta per bulan. Dengan merek The Bath Soap Box, mereka menawarkan berbagai ragam sabun. Mulai dari sabun batangan, cair, sampai bentuk-bentuk unik seperti cup cake dan slice cake. Tak ayal, sabun besutan mereka kerap dijadikan cenderamata pernikahan. Produk sabun aneka bentuk ini mampu diproduksi 7.000 batang per bulan.

Di rumah orang tua mereka yang tidak terpakai, mereka memproduksi lebih dari 40 liter sabun per hari. “Kami bisa bekerja 15 jam per hari untuk produksi,” ungkap Daniel. Membidik pasar anak muda, harga produknya dibanderol mulai dari Rp 25 ribu sampai Rp 230 ribu. Belakangan, tak hanya sabun, mereka juga memproduksi masker wajah, lip balm, body butter dan sabun wajah.

Mengusung produk natural karena berbahan alami dan membuatnya secara handmade, mereka memilih memasarkan produknya lewat jagat maya, baik melalui situs web maupun media sosial. Selain mengandalkan produk yang unik, The Bath Soap mengandalkan testimoni para penggunanya sebagai ajang promosi. Mereka juga kerap mengikuti pameran, seperti Inacraft. “Kami juga pernah memiliki temporary store di Mal Gandaria City,” ujar Angelinda, perempuan kelahiran 1991, yang akrab disapa Linda.

Melakukan debut bisnis pada September 2013, sejak awal mereka fokus pada produk sabun dan perawatan tubuh. Dituturkan Daniel, awalnya mereka menjual produk kosmetik asal Korea Selatan. Saat menjadi reseller untuk produk-produk kosmetik asal Negeri Ginseng itu, mereka kerap mendapat masukan dari pelanggannya soal ketidakcocokan mereka karena bahan kimia yang terkandung dalam produk itu. “Lalu, Linda memiliki ide membuat sabun batang,” kata Daniel yang sempat merintis karier sebagai koki di Bali. Produk sabun batangan itu awalnya sekadar untuk dipakai sendiri. Namun, mereka memberikannya juga kepada keluarga dan teman-teman dekat. “Ternyata, mendapat feedback positif. Lalu, kami coba untuk jual,” kata pria berusia 24 tahun lulusan Perhotelan Universitas Bunda Mulia ini.

Karena sudah memiliki pelanggan, tak sulit bagi pasangan ini untuk menjual produk sabun besutannya. “Masalahnya satu, mengubah mereka yang biasa menggunakan bahan kimia menjadi pengguna produk natural,” ungkap Daniel.

Memang bukan hal mudah ketika pertama kali terjun memproduksi sabun sendiri. “Untuk membuat satu produk, kami bisa melakukan percobaan 3-5 kali, baru kami menemukan produk yang sesuai,” tutur Daniel. Ditambahkan Linda, mereka banyak mencari tahu cara pembuatan sabun. “Kami juga riset tentang bahan-bahan yang cocok untuk berbagai jenis kulit,” kata Linda, sarjana ekonomi lulusan Universitas Atma Jaya.

Untuk membedakan produk sabunnya, mereka membuat secara handmade. “Kami mencoba menjual sesuatu dalam bentuk yang berbeda. Seperti lotion, umumnya orang menggunakan dalam bentuk lotion, sedangkan yang kami buat bentuknya bar supaya tidak menggunakan pengawet,” kata Linda. Menurutnya, produk sabun dan perawatan tubuh natural sejatinya sudah berlimpah di pasar, hanya saja kebanyakan membidik segmen orang tua.

“Desain, tampilan, wewangian dan pengemasan yang mereka gunakan identik dengan orang tua. Sedangkan anak muda melihat sesuatu yang lebih modern, oleh karena itu kami melihat peluang,” ujar Daniel. “Tujuan kami membuat produk ini adalah untuk mengubah pikiran anak muda yang melihat produk natural impor lebih bagus, karena mereka melihat produk natural Indonesia itu kuno sekali. Kami ingin ada pemikiran, produk lokal yang natural itu menjadi produk yang anak muda sekali.”

Dengan segmen anak muda yang berciri dinamis, mereka pun bermain di kemasan dan wewangian yang mencerminkan jiwa muda. “Kami selalu memakai packaging hitam yang mencerminkan anak yang muda dan keras. Kedua, wanginya disesuaikan dengan wangi yang diinginkan anak muda,” tutur Daniel.

Ditambahkan Linda, awalnya, untuk memberikan sesuatu yang berbeda, produknya juga dibuat dalam aneka bentuk yang unik dan lucu yang bisa digunakan untuk cenderamata. Dalam perjalanannya, itu ternyata menjadi bumerang karena pelanggan sayang memakainya. Pengalaman ini memberikan pemahaman kepada mereka untuk membuat produk yang orang suka memakainya dan menimbulkan repeat order. “Saat ini kami lebih fokus membuat produk yang lebih friendly untuk dipakai,” katanya.

Mulanya mereka hanya bisa menjual 100-an batang per bulan. Mereka kemudian rajin mengikuti bazar mal-mal papan atas yang menjadi tempat kongko-kongko anak-anak muda. “Kami awalnya iseng dengan modal nekat. Tetapi, kami banyak mencoba dan banyak juga gagalnya. Kami yakin, semakin banyak kami gagal, kami jadi banyak belajar lagi,” tutur Linda.

Selain itu, dari sisi produk, mereka terus melakukan perbaikan. “Kami memang masih memiliki produk yang bentuknya lucu, tetapi tidak terlalu ekstrem. Hal inilah yang membuat mereka penasaran,” kata Daniel. Menurutnya, pemasaran yang paling jitu dari produk mereka adalah word of mouth. “Kebanyakan memang tahu dari mulut ke mulut,” ucapnya. Bahkan, para pelanggannya tanpa diminta mem-posting produk mereka di Instagram, Line, Path, dll. “Kami membiarkan semua berjalan alami,” ungkap Daniel.

Untuk menjangkau pasar yang lebih luas, mereka menggandeng reseller yang saat ini sudah menyebar sampai ke Bali, Surabaya, Batam, selain di Jabodetabek. Dengan modal Rp 5 juta untuk membeli peralatan, saat ini omset The Bath Soap Box Rp 200 juta lebih per bulan. “Ketika pelanggan happy setelah menggunakan produk kami, di situlah kepuasan kami, sebuah kebahagiaan kecil,” kata Daniel. Ia mengakui masih memiliki kekurangan dalam hal pengembangan produk. Terlebih, SDM yang dimiliki juga masih sangat terbatas. Mereka hanya dibantu empat orang staf.

Ke depan, Daniel dan Linda berencana melebarkan sayap dengan membuat payung hukum untuk usahanya. “Kami sudah mendapat investor dan akan buat PT, juga memiliki kantor,” kata Daniel. Usahanya akan dikembangkan sebagai personal care online. Mereka juga akan mengembangkan produk dengan membuat masker yang fresh setiap hari tertentu sehingga produk tersebut hanya ada pada hari tersebut. “Pelanggan kami menyukai produk yang fresh, maka kami melihat peluang untuk membuat produk yang fresh,” katanya.

Bagi Kania Andriny, salah satu reseller The Bath Soap Box, dari sisi harga dan kemasan, The Bath Soap Box sudah bagus. “Kalau saya lebih ke BPOM-nya saja karena kalau memang ingin dapat market yang lebih besar, orang akan lebih peka melihat itu,” kata Kania yang mengenal The Bath Soap Box dari timeline temannya yang berprofesi dokter. Setelah mencoba sendiri, ternyata ia terpincut pada rangkaian produk The Bath Soap Box. “Karena saya hobinya ngomong, akhirnya saya ngomong ke teman-teman saya. Karena yang ngomong seperti itu saya yang biasa mengulik banyak produk, mereka percaya dan memesan produk The Bath Soap Box. Saya lalu pesan ke teman saya yang dokter itu dalam jumlah banyak. Kemudian, terpikir untuk jual sendiri, akhirnya menjadi reseller,” kata Kania yang berkarier sebagai Manajer Pengembangan Bisnis PT Dalle Energy.

Hanya dengan modal Whatsapp, dalam seminggu Kania bisa menjual 50-100 botol. “Itu benar-benar hanya dari mulut ke mulut, ke teman-teman saja,” kata Kania yang sejak Juli tahun lalu menjadi reseller The Bath Soap Box. Sempat saat ia bed rest, ia mampu menjual sampai 200-300 botol dalam seminggu. Saat ini, diakuinya, keuntungan yang diraihnya mencapai Rp 10-15 juta per bulan.(*)

Henni T. Soelaeman dan Destiwati Sitanggang


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved