Tahun 2014, dunia bisnis di tanah air menghadapi tantangan yang tidak ringan. Seperti diketahui, akibat defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), membuat nilai tukar rupiah terus memburuk. Di triwulan I 2013, defisit NPI tercatat US$ 6,6 miliar, lalu turun menjadi US$ 2,5 miliar di triwulan II dan US$ 2,6 miliar di triwulan III. Pangkal penyebabnya adalah defisit transaksi berjalan yang tinggi. Pada triwulan I, defisit transaksi berjalan sebesar US$ 5,3 miliar (2,4% dari PDB/Produk Domestik Bruto), lalu melonjak di triwulan II menjadi US$ 9,9 miliar (4,4% dari PDB), dan di triwulan III sebesar US$ 8,9 miliar (3,8% dari PDB). Untungnya, neraca transaksi modal dan finansial mencatat angka positif, sehingga dalam triwulan II dan III, angka defisit NPI lebih kecil dibandingkan dengan defisit transaksi berjalan.
Untuk mencegah merosotnya nilai tukar rupiah, maka Pemerintah pun mengambil kebijakan: menaikkan suku bunga (BI Rate). Posisi BI Rate pada Januari 2013 masih 5,75%, di bulan November lalu sudah berada di level 7,5%, setelah dinaikkan sebanyak 5 kali. Dengan menaikan suku bunga ini, diharapkan masyarakat lebih senang menabung ketimbang menggunakan uangnya untuk konsumsi, terutama konsumsi produk-produk impor. Dengan bunga tinggi pula, aktivitas investasi coba direm, sehingga penggunaan bahan baku maupun barang modal impor berkurang. Sementara itu, Bank Indonesia ingin menahan laju kredit dengan menargetkan pertumbuhan kredit hanya 15%-17%, lebih rendah dari tahun 2013 sekitar 22%. Tentunya, langkah ini berisiko terjadinya perlambatan ekonomi di Tahun Kuda ini. Bagaimana analisa Faisal Basri, ekonom senior dan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, terhadap kondisi ekonomi Indonesia 2014? Berikut penuturannya kepada wartawan SWA, Kusnan M. Djawahir dan Rangga Wiraspati.
Faisal Basri
Bagaimana prediksi Anda terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2014? Apakah defisit neraca pembayaran masih menjadi ancaman?
Saya sepakat bahwa penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun depan berasal dari dalam negeri. Namun, persepsi pemerintah RI menyatakan sebaliknya. Bagi pemerintah, biang keladi perlambatan ekonomi Indonesia adalah kebijakan penghentian stimulus moneter oleh Amerika Serikat dan derasnya aliran modal portfolio asing yang keluar. Padahal kenyataannya tidak begitu, pada kuartal kedua tahun ini aliran modal asing ke Indonesia justru meningkat. Aliran modal keluar ada, namun yang masuk lebih banyak. Saat ini, pemodal asing memegang 30% surat hutang Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 42% surat hutang yang dipegang asing berdurasi 10 tahun, yang di bawah satu tahun hanya 4%. Jadi, kemungkinan modal asing lari ke luar Indonesia relatif kecil, karena credit rating kita pun cenderung stabil. Melemahnya nilai tukar Rupiah pun bukan karena tapering. Dari segi foreign direct investment (FDI), menurut sebuah survei resmi untuk periode 2013-2015, Indonesia menempati peringkat keempat negara yang paling diminati. Sampai saat ini, daya tarik Indonesia di mata investor asing masih sangat besar. Pemerintah perlu berpikir obyektif melalui data-data ini dalam memahami perekonomian Indonesia.
Apa sebenarnya yang menjadi penyebab utama defisit neraca pembayaran, yang berdampak pada turunya nilai tukar rupiah?
Rupiah sudah melemah sejak bulan September 2011, bukan tahun 2013. Begitu pula cadangan devisi negara, mulai turun sejak September 2011. Dalam neraca pembayaran ada komponen akun semasa (current account) dan arus modal (transaksi modal dan investasi). Sejauh ini arus modal tetap positif, walaupun sempat negatif satu kali pada triwulan pertama 2013. Kontribusi arus modal terhadap neraca pembayaran positif. Yang berkontribusi negatif secara signifikan pada neraca pembayaran adalah ekspor-impor non-migas (manufaktur dan pangan) dan ekspor-impor migas (minyak). Saya menyebutnya triple deficit, yakni defisit manufaktur, pangan, dan minyak. Bidang manufaktur sudah defisit sejak 2008. Pangan sejak 2007. Defisit minyak (BBM) paling gila, sudah sejak 2002. Bahkan, tahun 2013 pun produksi minyak mentah sudah defisit. Sampai bulan September tahun ini, nilai defisit minyak naik menjadi US$ 8 miliar dari US$ 5,2 miliar di tahun 2012. Akhir tahun ini defisit minyak akan semakin membengkak. Poin saya adalah current account dalam neraca pembayaran kita sudah defisit sejak triwulan keempat 2011, sehingga sudah delapan triwulan berturut-turut sampai sekarang.
Kenapa soal defisit baru dinilai sebagai masalah serius di tahun 2013?
Pada saat defisit current account terjadi secara signifikan di tahun 2012, pemerintah masih tenang-tenang saja, sebab mereka menganggap bahwa neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus waktu itu, sebesar US$ 215 juta. Bisa surplus karena arus modal asing yang masuk besar. Pemerintah lupa bahwa arus modal asing yang masuk banyak dipengaruhi oleh jadi tidaknya kebijakan tapering Amerika Serikat. FDI memang baik, tetapi yang jadi masalah adalah portofolio asing. Investasi asing pada saham di Indonesia sangat volatile. Di bulan Mei, indeks saham Indonesia masih menempati nomor dua terbaik di dunia. Begitu masuk bulan September, indeks saham kita terburuk nomor dua di dunia. Buat saya, kita lupa bahwa sumber kekuatan ekonomi di dalam negeri semakin tergerus setiap hari.
Apakah, menurut Anda, kebijakan yang diambil Pemerintah tidak akan memperbaiki ekonomi Indonesia?
Setelah impor BBM naik sejak Juli 2013, pemerintah malah membuka keran investasi untuk low cost green car (LCGC). Pertumbuhan bisnis industri otomotif naik 3,5 kali lipat dalam enam tahun terakhir. Padahal, penyebab defisitnya neraca pembayaran adalah loyonya bisnis di sektor pangan, manufaktur, dan minyak. Jadi kenapa industri otomotif yang dibantu? Kebijakan BI Rate juga aneh. Ketika inflasi sudah turun, kenapa BI Rate terus dinaikkan? Menurut BI, untuk meredam defisit current account. Bagi saya, kebijakan itu bukan obat mujarab, karena current account tidak ada hubungannya dengan BI Rate. Dengan dinaikkannya tingkat suku bunga, Pemerintah berencana untuk menurunkan konsumsi rumah tangga, karena sebagian belanja rumah tangga merupakan impor. Pemerintah berharap agar masyarakat lebih gemar menabung, tetapi kebijakan kenaikan suku bunga tidak efektif untuk meredam konsumsi rumah tangga, karena kebutuhan rumah tangga adalah riil. Jadi pola pikir pemerintah adalah, suku bunga naik, investasi turun, maka impor pun turun. Dengan langkah ini, penurunan impor tidak akan signifikan, karena arus modal yang masuk adalah FDI. Peminjaman modal FDI tidak diambil dari Indonesia. Aneh jika pemerintah mengerem investasi dalam negeri, namun mempromosikan investasi luar negeri melalui FDI. Banyak sinyalemen tidak jelas yang dikeluarkan pemerintah.
Apakah repatriasi ikut mempengaruhi?
Jelas berpengaruh. Jumlah keuntungan yang diperoleh perusahaan asing dan dibawa pulang ke negara asalnya naik. Namun, jJika dibandingkan dengan FDI yang masuk, netto-nya masih positif. Repatriasi yang besar menunjukkan bahwa gairah asing untuk berinvestasi di Indonesia tinggi, karena untungnya tinggi. Ini indikator yang bagus. Tetapi, pemerintah harusnya bisa membuat kebijakan agar repatriasi ini kembali ditanamkan di Indonesia. Ini yang belum ada. Pemerintah tinggal memberi insentif agar perusahaan asing mau reinvestasi.
Terkait transaksi perdagangan manufaktur yang minus tadi misalnya, apakah berarti produk kita kurang kompetitif?
Dulu investasi asing masuk ke garmen, tekstil, elektronik, mainan anak-anak, sepatu, dll. Semua itu dulu orientasinya ekspor. Sekarang, penanaman modal asing (PMA) ada pada bidang transportasi, pergudangan, kimia dasar, metal dasar, yang sebagian besar berorientasi pasar dalam negeri, sehingga FDI yang datang ini tidak meningkatkan kapasitas ekspor. Itu salah satu yang menjelaskan. Saat ini harusnya pemerintah mulai memilih untuk memberikan arahan pada investor mengenai sektor-sektor yang harus diseimbangkan, dan mana yang jadi prioritas. Untuk investasi asing, selain berorientasi pada pasar dalam negeri, juga harus bisa meningkatkan kapasitas ekspor juga. Jangan semua diberi insentif, harus dipilah-pilah oleh pemerintah. Sekarang, justru yang dikasih insentif malah industri otomotif yang boros devisa.
Menyambung ke industri otomotif, kontribusinya terhadap impor karena adanya kebutuhan akan BBM dan komponen. Untuk ini apa solusinya, apakah kita perlu membatasi pertumbuhan mobil atau apa?
Saya pikir pertumbuhan mobil tidak perlu dibatasi. Saya tidak anti industri otomotif. Industri otomotif perlu didukung, tetapi caranya bertolak belakang dengan apa yang dilakukan pemerintah sekarang. Yang dilakukan pemerintah sekarang adalah menurunkan harga mobil dengan cara menghapus PPnBM. Jadi pemerintah mendorong penjualan dengan menurunkan harga akhir mobil. Kalau saya mendorong produksi. Caranya, pemerintah menentukan tipe mobil yang akan beredar di Indonesia dengan konten lokal 60% ke atas dan mendorong tipe mobil hybrid yang menggunakan sebagian non-fossil fuel. Kemudian, 50% hasil produksinya diekspor. Semua perusahaan akan mengajukan proposal, tapi yang menang paling cuma dua. Kalau sekarang kan semua perusahaan kebagian, jadi peningkatan produksinya terbagi kecil-kecil. Jika hanya dua, peningkatan produksinya besar, sehingga ongkos produksi bisa turun. Jadi, harga turun karena ongkos produksi turun, sementara sekarang harga turun karena pajak dihilangkan. Sekarang, pendapatan pemerintah dari pajak pun ikut hilang. Kita bisa mencontoh Thailand. Dari segi penjualan dan produksi mobil, Thailand kalah dari Indonesia, tetapi kalau dari ekspor Thailand menang.
Kenapa pemerintah mengambil langkah itu, dengan mengorbankan pendapatan dari PPn BM untuk mendorong penjualan mobil?
Pertumbuhan industri otomotif itu sudah tinggi sekali, tidak perlu doping dari pemerintah. Dalam enam tahun bisa tumbuh 3,5 kali lipat! Ini terkait naiknya tingkat pendapatan penduduk juga, sehingga kebutuhan akan mobil naik.
Sebenarnya, pertumbuhan motor sudah melandai. Sepertinya, pertumbuhan penjualan mobil didorong perpindahan dari motor ke mobil. Harusnya kan didorong dari motor dan mobil ke transportasi publik. Perpindahan dari motor ke mobil dipercepat oleh kebijakan pemerintah saat ini. Jadi penduduk kelas menengah bawah ini kan yang beli motor, tetapi pertumbuhan kelas menengah yang ‘tengah’ ini memang kencang sekali.
Untuk dana-dana orang Indonesia yang diparkir di luar negeri, apakah perlu ada amnesti pajak dari pemerintah untuk menarik dana-dana yang terparkir di luar negeri?
Dana-dana itu sudah datang kok. Di Singapura bunganya rendah, di sini bunganya tinggi, pada datanglah dana-dana itu. Ke sektor manakah dana yang masuk itu-dana itu? Perasaan saya mengatakan dari sektor properti. Kalau diperhatikan, perkembangan sektor properti tidak terefleksikan oleh kredit properti dari bank. Memang ada kredit properti, tapi dilakukan konsumen. Lihat saja sekarang perkembangan sektor properti, seperti tidak ada habisnya.
Bagaimana likuiditas perbankan di tahun depan?
Pak Agus (Gubernur BI) dalam Bankers Dinner mengatakan akan menahan laju pertumbuhan kredit menjadi 15-17% di tahun 2014 dibandingkan saat ini, yaitu 23%. Jadi akan diperketat, karena BI yakin hanya dengan jalan memperketat itulah current account akan membaik. Memang disengaja.
Apakah hal itu akan mengganggu pertumbuhan sektor riil?
Pemerintah memang sengaja mengganggu laju pertumbuhan sektor riil, karena memang ingin diturunkan. Saya bilang langkah pemerintah itu “Keliru diagnosis, keliru beli obat”. Menteri Keuangan bilang dalam pernyataan resmi bahwa melemahnya rupiah karena kebijakan tapering AS. Padahal, jika biang keladinya adalah tapering, maka rupiah akan melorot hampir setara dengan indeks harga saham. Indeks harga saham tidak semelorot rupiah saat ini. Melorotnya indeks harga saham juga belum tentu karena asing, orang Indonesia juga jual saham. Jadi jika sumber masalahnya sama, maka rupiah dan indeks harga saham akan anjlok dengan proporsi yang kurang lebih sama. Seperti pada periode 2008-2009.
Para pengusaha cenderung lebih optimis tentang tahun depan dibanding tahun ini. Ini, juga karena kepastian hukum yang dinilai makin tinggi. Apa tanggapan Anda?
Sejalan dengan temuan saya, sewaktu berkunjung ke Surabaya dan di beberapa seminar, 99% pengusaha yang saya temui optimis akan peluang bisnis di tahun 2014. Optimisme itu tidak bisa diredam. Meski BI ingin menahan laju kredit di 15-17%, sepanjang nasabah bisnisnya beres, proses kreditnya beres, BI tidak akan mampu meredamnya. Pasar kita masih luar biasa, pengusaha akan terus berekspansi. Menurut temuan BCG (Boston Consulting Group), kelas konsumen yang menyatakan memiliki masalah finansial hanya 1%, pengusaha mana yang tidak ngiler? Kenapa? Di rumah tangga, hutang masih jauh lebih kecil daripada pendapatan. Dibandingkan di Malaysia dan RRC, rasio perbandingan antara hutang dan pendapatan rumah tangga Indonesia masih jauh lebih kecil, hanya belasan persen. Malaysia kira-kira 80%, sementara RRC kurang lebih 30%. Sekarang pedagang di Indonesia berani menawarkan barang dengan memberi hutang, karena kredit yang macet sedikit.
Jadi, sebaiknya mereka tetap berinvestasi di tahun 2014?
Yang pesimis itu pemerintah. Pemerintah memang ingin memperlambat pertumbuhan ekonomi dan pandangan mereka terhadap Pemilu negatif. Menurut pemerintah, investasi di tahun Pemilu akan melambat dan saya tidak setuju terhadap pernyataan itu. Bagi saya tidak ada hubungannya antara Pemilu dan investasi. Justru saya terkejut dengan temuan bahwa jumlah turis di tahun Pemilu naik dari tahun ke tahun. Ketika masyarakat, ekspatriat, pengusaha tidak pesimis, pemerintah malah pesimis. Saya tidak paham dengan mindset pemerintah saat ini. Menurut saya, mungkin motif pemerintah merencanakan kebijakan itu adalah mereka tidak bisa menyelesaikan masalah current account dari akarnya. Seperti saya katakan tadi, current account sudah melemah sejak 2011, dan kita terlena oleh gembar-gembor potensi kelas menengah dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jadi ada mental complacency di pemerintahan kita, cepat berpuas diri. Harus diingat juga, yang memberatkan keadaan adalah kebijakan SBY untuk menurunkan harga BBM dua kali pada Desember 2008 dan Januari 2009. Itu salah satu biang keladi.
Bagaimana prediksi Anda tentang kelas menengah ke depannya?
Saat ini kelas menengah masih didominasi kelas menengah bawah, namun peningkatan kelas menengah ‘tengah’ sangat signifikan. Menurut data Bank Dunia, di tahun 2020 kelas menengah ‘tengah’ Indonesia sudah mendominasi. Sebagaimana tercermin dari konsumsi motor oleh kelas menengah bawah yang mulai melandai di angka sekitar 8 juta sampai bulan Oktober, perpindahan dari motor ke mobil dipercepat oleh doping LCGC. Di bisnis mobil, tanpa harga diturunkan saja penjualan masih kencang, kompetisinya memang belum keras. Tapi dengan masuknya mobil-mobil Eropa, pengusaha otomotif tidak bisa semena-mena. Jadi meredam pertumbuhan ekonomi itu memang dengan kompetisi sehat.
Seperti apa perubahan fundamental yang bisa dilakukan pemerintah, jika problem-nya memang di pemerintah?
Sumber masalahnya memang di pemerintah. Ambil kasus di pelabuhan, waktu proses telah membaik, international shipment juga membaik, yang memburuk justru urusan pemerintah seperti infrastruktur dan bea cukai (custom). Ini di luar kendali perusahaan. Listrik per kapita di Indonesia saja sudah kalah dibanding Vietnam. Pemerintah memang kurang antisipasi.
Lalu, bagaimana mengatasi impor minyak yang masih sangat tinggi?
Menurut saya, kita juga harus bangun kilang minyak. Dalam 30 tahun terakhir kita tidak bangun kilang minyak. Ketika kita ingin bangun kilang, selalu gagal karena peran mafia minyak. Bagi saya solusinya adalah biofuel, karena membangun kilang mungkin masih membutuhkan waktu yang cukup lama. Jadi 10% dari BBM yang kita pakai sehari-hari disisipkan biofuel. Tapi langkah itu tidak menyelesaikan masalah current account, karena biofuel berasal dari CPO (crude palm oil), yang tadinya ditujukan untuk ekspor dan sekarang untuk dalam negeri. Saya pribadi mendukung upaya diversifikasi energi.