Editor's Choice Corporate Action Corporate Action

Geliat Bisnis Data Centre

Geliat Bisnis Data Centre

Diam tetapi pasti, bisnis data centre tengah menggeliat hebat. Tanpa gembar-gembor, pasarnya tumbuh luar biasa. Mengutip data Frost & Sullivan tahun 2011, Asep Tjahjadi, Direktur Managed Service PT Sigma Cipta Caraka, menyebut nilai pasarnya mencapai Rp 9,4 triliun, mencakup layanan managed service, hardware, dan jaringan. Ditaksir, menurut Dimitri Mahayana, pakar teknologi informasi dari ITB, angka pertumbuhannya bisa di atas 100% per tahun.

Pesatnya bisnis data centre terkait erat dengan sejumlah faktor. Di antaranya: makin berkembangnya jumlah konten yang dikembangkan atau di-host di dalam negeri. Begitu pula dengan Internet dan aplikasinya, lalu industri broadband dan aplikasi enterprise, semuanya tumbuh. Alhasil, tak mengherankan, bisnis data centre menerbitkan liur banyak pihak untuk mencicipi gurihnya pasar ini. Setelah pemain lama malang melintang, antara lain Biznet, Telkom Sigma, CBN, IDC, CSM, Indosat, Lintas Arta, Omadata, Collega, dan Visionet, kini pemain baru bermunculan.

Para pemain baru ini sangat serius. Cyber CSF, misalnya, yang merupakan patungan antara perusahaan properti pengembang Gedung Cyber (PT Karya Graha Nusantara), dengan penyedia layanan data centre asal Malaysia, CSF Group. “Pertengahan 2012 ini mulai dioperasikan data centre Cyber CSF di Gedung Cyber, Jl. Kuningan Barat,” ujar Daniel W. Korompis, pengusaha properti yang juga Presdir PT Cyber CSF.

Kresna Adiprawira dkk (foto kiri), Adi Kusma (foto kanan)

Faasri Elitery pun termasuk pemain baru yang agresif sejak setahun lalu, dan punya data centre di Bogor. Perusahaan ini bahkan telah mendapatkan sertifikasi Tier 3 dari Uptime. Kresna Adiprawira, CEO PT Data Sinergitama Jaya, menjelaskan, Faasri bermain di pasar premium dengan kompetitor sekelas IBM, Biznet dan Telkomsigma. Karena bermain di layanan data centre Tier 3, pihaknya berkewajiban menjaga service level agreement (SLA) 99,982%. Artinya: hanya boleh ada downtime 1,6 jam dalam setahun. Meski Faasri terbilang pemain baru, mereka mengklaim sudah memiliki 120 klien.

Persaingan yang ketat seperti ini membuat para pemain berupaya fokus. Faasri, contohnya, banyak membidik perusahaan finansial, telekomunikasi dan energi. “Yang bisnisnya kritikal,” kata Kresna menunjuk. Sementara Biznet, seperti dijelaskan Adi Kusma, pendiri Biznet Networks, membidik perusahaan finansial, enterprise dan transportasi yang menganggap sistem Disaster Recovery Center sebagai hal penting. “Juga industri telko, konten, online dan UKM tertentu,” Adi menerangkan. Saat ini Biznet masih melakukannya sendiri (tanpa investor luar) untuk mengembangkan bisnis data centre-nya yang disebut Biznet Technovillage.

Tentu saja urusan mengajak orang berkongsi tidaklah mudah. Investasi di bisnis data centre sangatlah mahal. Biznet Technovillage yang kini punya luas bangunan 18.000 m2 dan ruang data centre raised-floor lebih dari 7.500 m2 ini telah membenamkan investasi Rp 350 miliar untuk pembangunan gedung, jaringan, power plant dan peralatan elektronik. “Pay back periode kami harapkan 7-10 tahun,” tambah Adi. Adapun investasi Telkomsigma di data centre bahkan sudah menyentuh Rp 1 triliun. Asep memperkirakan pay back period investasi Telkomsigma 5-8 tahun.

Daniel Korompis juga mengakui investasi data centre Cyber CSF tidak murah. Pihaknya telah mengeluarkan US$ 50 juta untuk pembangunan gedung dan sistem elektrikal yang mampu menyalurkan 24 megapower, serta membangun sistem pendingin yang dapat melakukan pendinginan hingga 4.000 ton refrigerant. Dua tahun ke depan pihaknya akan menambah investasi US$ 30 juta.

Meski mahal, bila sudah menemukan pasarnya, potensi pendapatannya juga wah. Telkomsigma mungkin termasuk pemain yang sudah merasakan manisnya bisnis ini, selain Biznet. Sesuai dengan penjelasan Asep Tjahjadi, tahun 2011 pendapatan Telkomsigma sudah Rp 578 miliar dan tahun ini ditargetkan Rp 745 miliar. “Sumbangan terbesar dari produk managed service di mana bisnis data centre termasuk di dalamnya. Data centre ditargetkan menyumbang 60%,” Asep berterus terang.

Asep mengakui ke depan persaingan akan makin sengit dengan hadirnya banyak pemain baru, termasuk yang skala kecil. Dia melihat para pemain ini bukan sebagai ancaman, melainkan pemicu untuk meningkatkan pelayanan pelanggan. “Itu memacu kami untuk meningkatkan kualitas dan menuntut kami selalu meng-upgrade kompetensi,” ia menegaskan. Ya, itu juga sangat positif bagi pasar dan perusahaan pengguna.

Denoan Rinaldi & Sudarmadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved