Editor's Choice Entrepreneur

Irma Djohan, Bisnis Sekolah Pilot

Irma Djohan, Bisnis Sekolah Pilot

Bisnis penerbangan di Indonesia kian menggiurkan sejak 2008. Namun, pesatnya pertumbuhan bisnis tak diimbangi denganpasokan pilot yang memadai. Inilah yang mendorong Irma Djohan untuk mendirikan sekolah pilot, yakni Bali International Flight Academy (BIFA).

“Start di 2009 dan mendapatkan license di tahun yang sama. Dulu saya merangkap sebagai CEO dan CFO sekaligus,” katanya mengenang.

Menurut dia, pendirian BIFA menelan biaya investasi hingga Rp 45 miliar, 40% dalam bentuk modal, 40% pinjaman pemegang saham, dan 20% pinjaman bank. Lokasi sekolah di Buleleng Bali dengan luas area 7.000 m2.

“Kami juga ada cabang di Blimbing Sari (BSR) Banyuwangi, Adisumarno di Solo, Surakarta, dan Lombok International Airport,” ujarnya.

Irma D. Djohan, Chief Finance Officer Bali International Flight Academy

Irma D. Djohan, Chief Finance Officer Bali International Flight Academy

Untuk yang di Bali, lanjut dia, bisa menampung hingga 84 siswa. Sementara, di Banyuwangi hanya 26 siswa. Dalam setahun, BIFA menerima 110 siswa dalam 5 kali penerimaan. Biaya sekolah mencapai Rp 670 juta untuk satu tahun dan bisa dibayar dalam tiga tahap.

“Siswa yang masuk ke sini akan masuk asrama selama satu tahun dan semua biaya sudah kami tanggung. Ini juga yang membedakan kami dengan sekolah pilot lain, yang masih ada kemungkinan untuk bayar lain-lain,” katanya.

Hingga tahun 2014, jumlah lulusan telah mencapai 473 siswa. Mereka semua tersebar di beberapa maskapai seperti Garuda Indonesia, Air Asia, Citilink, Batik Air, Lion Air dan Travira.

“BIFA menggunakan pesawat Cessna 172. Kini sudah ada 17 unit. Karena ingin masuk ke multiengine, kami membeli 3 Piper Seminole,” katanya.

Dia menjelaskan tantangan terbesarnya selama menangani BIFA adalah kinerja perusahaan yang masih merugi selama 2009-2010. Saat itu, perusahaan masih menggunakan sistem 12 bulan target 1 batch selesai dan biayanya dibagi menjadi 12 bulan.

Namun, sistem tersebut tidak cocok dengan ketersediaan infrastruktur. Dengan jumlah siswa yang masih minim, penyelesaian satu batch bisa mencapai 14-16 bulan, tidak cukup setahun.

“Dari situ, kami mengubah struktur revenue based kami, based on activity. Jadi, pada saat sudah terlaksana baru kami acknowledge revenue dan cost-nya,” katanya.

Keputusan tersebut tepat. Mulai tahun 2011, BIFA mulai meraih keuntungan, yang digunakan untuk mengembalikan semua pinjaman bank dan pinjaman dari pemegang saham. Sepanjang tahun 2014, return on equity perseroan mencapai 50% sementara return of investment mencapai 60%.

Namun, BIFA sempat kesulitan membentuk manajemen. Sekolah pilot di Indonesia belum pernah ada yang berhasil. Sehingga, tidak ada yang bisa dijadikan contoh. Irma sampai harus keliling dunia mencari figur yang cocok, hingga akhirnya merekrut seorang instruktur lokal dan satu lagi asal Australia.

“Mereka yang membantu kami membuat strukturnya. Kami memang tak punya background tentang hal ini,” katanya. (Reportase: Destiwati Sitanggang)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved