Editor's Choice

Jerry Aurum: Ide Kreatif Bisa Datang Kapan dan di Mana Saja

Jerry Aurum: Ide Kreatif Bisa Datang Kapan dan di Mana Saja

Nama Jerry Aurum sudah jelas masuk jajaran fotografer ‘mahal’ Tanah Air. Dari portofolionya saja sudah cukup terlihat bahwa ia eksis di bidang ini. Bagaimana sebenarnya awal mula suami Denada Tambunan ini kawin dengan lensa kamera?

Ternyata cerita masa kanak-kanak turut memengaruhi. Sejak kecil, lelaki berpembawaan santai ini memang sudah getol gadget, termasuk kamera. Saat SD, dirinya sudah cakap photo hunting. Padahal riwayat keluarga tidak ada yang terjun ke dunia seni sama sekali. Ayahnya bekerja sebagai notaris, sedangkan ibunya berkutat di perusahaan asing pemasok alat-alat berat untuk perkebunan. Kedua saudaranya pun jauh sekali dari bidang art, yakni berprofesi sebagai dokter jantung dan biro arsitektur.

JerryAurum (utama)

Tahun 1992, tepatnya saat kelas 2 SMA, Jerry memutuskan untuk membeli kamera besar untuk pertama kalinya. Sejak itulah, fotografi menjadi hobi yang makin diseriusinya. “Dulu saya adalah pemburu hadiah lomba foto. Sebab sedari kecil memang kami dididik mandiri, jauh dari kesan manja, sehingga kalau ingin apa-apa harus nabung dulu. Nah, supaya bisa membiayai hobi foto yang memang mahal pada masa itu, saya kejar uangnya dari ikut lomba-lomba,” ujarnya kepada Gustyanita Pratiwi

Selulus kuliah dari Jurusan Desain Komunikasi Visual, ITB, Jerry sempat bekerja 3 bulan di 2 perusahaan. Tapikarena insting enterpreneurship-nya jalan, ia pun langsung mendirikan perusahaan sendiri bernama Jerry Aurum Design and Photography (2000). Bagaimana cerita lengkap ayah dari Shakira Aurum ini berjibaku dengan kreativitas yang terpancar dari mata lensanya ini? Berikut penuturannya:

Bagaimana Anda terus menghasilkan ide-ide kreatif dalam fotografi?

Ide itu sendiri saya anggap tidak beda jauh dengan olahraga. Semakin sering kita lakukan, semakin besar pula peluangnya untuk jadi kebiasaan. Ibaratya, kalau kita pertama kali lari sejauh 1 km pasti rasanya capek. Tapi kalau sudah sering dilakukan, maraton pun akhirnya bisa kita tempuh tanpa merasa capek. Begitu juga dengan mengolah ide, kalau itu dibiasakan rutin dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya dihitung bukan lagi sebagai sesuatu yang menyeramkan atau butuh konsentrasi yang sangat tinggi. Jadi saya cukup santai karena sudah jadi bagian hidup sehari-hari.

Bagaimana proses menghasilkan ide-ide tersebut?

Tumbuhnya ide itu betul-betul tidak mengenal limitasi. Dia bisa muncul pada saat saya sedang melihat karya foto orang lain, menonton film, melihat pameran lukisan, atau bahkan sambil menonton Formula 1. Kenapa? Karena fotografi yang saya geluti itu kan bidangnya luas sekali. Saya percaya bisa memotret di lingkup apapun dari kehidupan kita sehingga otomatis inspirasinya juga bisa muncul di mana saja.

Apa saja stimulusnya?

Stimulusnya adalah setelah saya melihat sebuah pencapaian dari fotografer, artist, desainer-desainer, ataupun pengusaha-pengusaha muda lain yang sukses menelurkan sesuatu yang bagus. Itu biasanya bikin saya jadi agak ‘panas, ha..ha..ha..!!! Kok orang bisa bikin gini? Saya jadi lebih terpacu untuk tidak mau kalah.

Misalnya siapa?

Misalnya, Sandiaga Uno. Dia kan memulai usaha rekapitulasinya justru setelah krisis sehingga dia harus melakukan sesuatu sendiri. Ternyata ilmu, semangat, dan kelihaian seseorang dalam usia yang demikian muda itu mampu menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Nah, itu satu contoh yang membikin saya ‘panas’ karena melihat apa yang sudah berhasil mereka capai .

Atau misalnya, teman saya Christian dari Ismaya Group. Dia selalu bisa membaca tren kuliner dan menciptakan resto-resto yang menjadi trendsetter sehingga dari segi finansial pun sukses sekali. Itu juga bikin ‘panas’.

Dari situ saya lihat filosofinya saja. Bagaimana orang-orang muda ini selalu mencoba keluar dari pakem-pakem karier yang sudah digarisbawahi oleh orang tua zaman dulu. Yang harus sekolah tinggi, cari gaji yang baik, berkarier dengan baik, nanti kalau sudah naik jabatan dapat fasilitas enak, dst. Tapi anak-anak muda yang memutuskan menempuh pattern-pattern-nya sendiri untuk membuat garis hidupnya itu membuat saya layak untuk mengacungkan jempol.

Jadi apapun profesinya, di industri kreatif ini memang mampu memberikan jalan yang sangat beragam. Kalau kita memang berani menempuhnya , saya rasa hampir seluruh pelaku industri kreatif tidak akan mulus perjuangannya. Karena industri kreatif sendiri kan sering kali dipandang bukan sebagai sesuatu yang menjanjikan, tadinya. Sekarang saja mulai berubah karena orang sudah mulai terbuka matanya. Selain itu, industri ini juga memiliki tolok ukur kesuksesan yang beragam. Bukan berarti kalau sudah punya rumah mewah atau mobil lantas dibilang sukses. Tapi bisa juga, walaupun materinya hanya berkecukupan, tapi bisa membuat tren baru dalam seni rupa dunia misalnya, atau mengangkat nama Indonesia menjadi harum di belahan dunia mana, maka dia bisa dibilang sukses. Jadi pencapaian dalam industri kreatif lebih bermacam-macam di mata saya.

Apa saja karya-karya fotografi yang sudah Anda hasilkan dan bisa dibilang maha karya? Apa tolok ukur keberhasilannya?

Ini buku saya yang berjudul ‘In My Room’. Diterbitkan tahun 2009 yang berisi 100 tokoh Indonesia yang difoto di kamar tidur masing-masing. Ini merupakan salah satu buku fotografi Indonesia yang paling laris. Lalu buku saya yang terakhir ‘Hampir Fotografi’, terbit tahun ini dan termasuk dijual di banyak toko buku juga hingga ludes kurang dari 3 bulan. Kalau buku saya yang pertama, ‘Femalograph’, itu diterbitkan tahun 2006 dan diedarkan ke seluruh dunia dan sudah mendapat banyak penghargaan.

Begitu juga dengan foto di sampulnya, yang iseng-iseng saya ikutkan di satu perlombaan foto bergengsi di Amerika yang berjudul ‘Graphis 100 Best in Photograpy 2012, New York’. Ternyata saya memenangkan penghargaan platinum yang merupakan pencapaian tertinggi dalam lomba tersebut. Itu saya anggap sebagai bonus yang menyenangkan dan membuat saya sedikit punya tolok ukur apakah kiprah saya dalam industri kreatif ini punya daya saing yang cukup global.

Saya cukup menghindari jadi jago kandang. Karena kalau jadi jago kandang saja tidak membanggakan dan menginspirasi juga pada ujungnya. Kita bisa saja mengklarifikasi bahwa secara internasional mutunya bersaing. Tapi apa buktinya? Nah, itulah yang saya temukan bahwa lomba-lomba internasional bisa jadi tolok ukur atau benchmark supaya kita tahu posisi kita kira-kira ada di mana.

Kalau dari segi penjualan buku-buku fotografi Anda bagaimana?

Memang tolok ukur keberhasilan dari buku salah satunya dari segi penjualan. Apakah best seller atau tidak. Tapi selain itu juga apakah buku ini banyak diulas di berbagai media massa. Ya ke-3-nya memang punya porsi sendiri-sendiri. Dan secara kuantitatifnya saya tidak hitung berapa. Tapi ke-3-nya sukses waktu launching di Jakarta. Ratusan wartawan datang. Semua yang kami undang datang. Itu yang saya senang. Misalnya yang saya undang 100 media, nah ke-100-nya itu benar-benar datang. Mungkin karena event-event khusus fotografi masih kurang ya, jadi mereka senang dengan sesuatu yang baru seperti ini. Dan itu juga ada roadshow-nyadi berbagai kota. Sampai saat ini sudah terhitung 13 kali roadshow dan selalu ramai.

Kalau karya Anda yang paling masterpiece sampai dengan saat ini?

Susah ya. Artist kalau ditanya seperti itu susah. Apalagi kalau sifatnya fotografi. Karena karyanya cenderung banyak. Kalau pelukis, mungkin dalam hidupnya akan menghasilkan sekian ratus lukisan. Tapi kalau fotografi penghasilannya dari jutaan eksemplar foto. Jadi biasanya kalau karyanya banyak, susah cari master piece-nya.

JerryAurum (2)

Di tiap melahirkan ide/konsep butuh waktu atau tempat khusus?

Enggak juga sih. Karena itu sudah jadi kebiasaan, yang namanya ide bisa muncul di mana saja, kapan saja, dan bukan menjadi sesuatu yang menyulitkan. Apalagi, di Indonesia, lumrah dengan istilah Sistem Kebut Semalam (SKS). Dikasih tugas sebulan, tetap saja 29 hari enggak dikerjain, baru hari terakhir dikebut (under pressure), tapi hasilnya tetap bagus-bagus saja sih. Melihat gaya kerja seperti itu (apalagi sudah sering kita kerjakan sejak kuliah), saya rasa kemampuan kita tetap ada. Berbekal dari itu, saya tidak pernah membuat itu jadi sesuatu yang khusus. Kalau mau dikerjain ya dikerjain. Dan itu bisa di mana saja (dalam kondisi apapun).

Berapa banyak ide yang timbul dalam kurun waktu tertentu?

Macem-macem. Sebagai contoh, untuk proyek saya yang ‘In My Room’, di mana saya harus memotret 100 tokoh Indonesia di kamar tidurnya masing-masing. Memotretnya memang lama, komitmennya juga harus panjang. Tapi idenya kan 1, memotret orang terkenal di kamar tidurnya. Wis !! Sederhana sekali idenya. Tapi dalam ide global yang sangat sederhana itu, setiap tokohnya harus mendapat idenya sendiri-sendiri. Kalau tidak kan sama semua. Jadi di setiap kamar mereka, harus ada keunikannya sendiri-sendiri. Makanya, idenya sendiri susah dihitung karena di dalam 1 foto bisa jadi ada ide tunggal yang menjelma menjadi ide-ide kecil lainnya, yang sebenarnya di dalamnya itu ada lagi ide-ide lainnya yang lebih kecil.

Misalnya, foto di kamar tidur, orangnya akan dililit-lilit oleh satu kain yag menjadi hasil desainnya. Tapi kemudian, apakah dia mau difoto berdiri, sambil nungging, bergelantungan, atau seolah-olah sedang ditempelkan ke tembok, kaki di atas, dst, itu kan sudah ide tersendiri lagi. Sehingga yang ingin saya tunjukkan di sini adalah sulit mengkategorikan idenya berapa. Karena ide itu sendiri sifatnya tidak matematis. Tidak bisa dihitung. Sehingga kalau sekarang orang tanya ke saya, ‘In My Room’ ini idenya berapa? Saya bisa jawab idenya 100, bisa juga cuma 1.

Mengumpulkan klien-kliennya bagaimana?

Kalau untuk proyek buku, saya tanyakan satu per satu mau atau tidak. Tapi kalau proyek-proyek lainnya, bisa jadi model itu didapatkan oleh klien-klien kami, bisa juga kami yang merekomendasikan. Macem-macem. Tidak ada proses tertentu yang baku.

Bagaimana menguji ide-ide tersebut sebelum diterapkan di sesi pemotretan? Apakah punya tim yang membantu?

Kebetulan di dunia fotografi ini, saya banyak melibatkan kerja tim sehingga support mereka yang kompak sangat memudahkan. Tim inti saya jumlahnya ada 3, 1 produser, dan 2 asisten. Kalau tim gabungannya bisa banyak, 30-40 orang. (***)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved