Editor's Choice Youngster Inc. StartUp

Passion Sarah Callista Segarkan Jagat Fashion

Passion Sarah Callista Segarkan Jagat Fashion

Sarah Callista

~~

Besar di lingkungan keluarga yang menggeluti bisnis fashion, membuat Sarah Calista akhirnya kepincut terjun ke bisnis yang telah lama diakrabi keluarganya itu. Pendidikan diploma dari LaSalle College International Jakarta pun kian memantapkan langkahnya di bisnis kreatif tersebut hingga akhirnya Sarah sukses menelurkan labelnya sendiri: Oxygen Mask atau biasa disingkat O2M.

Sarah tak hanya membesarkan label busana yang dibesutnya pada Agustus 2009 itu, ia juga sukses menjadi desainer kostum berbagai selebritas, iklan televisi ataupun video klip.

Diwawancara SWA di gerai Fashion X-Change Store di EX Plaza, Jakarta, dara kelahiran Jakarta 1 Maret 1989 ini mengaku bahwa awal kiprahnya justru karena “ditodong” ibunya. Selulus SMA, ia sesungguhnya ingin menempuh jurusan yang konservatif seperti kedokteran atau hukum. Namun, ibunya mempunyai firasat tersendiri menyangkut bakat anaknya. “Mama bilang, ‘kamu itu lebih cocoknya ke fashion designer’,” tutur putri tunggal pasangan Handi Santosa dan Susan Setiadi itu.

Ibu Sarah memang seorang peritel fashion yang telah 20 tahun berkecimpung di bidangnya. Sang ibu banyak mendatangkan baju dari Korea Selatan. “Jadi, beliau sudah paham betul ihwal berjualan baju, utamanya baju impor. Kebanyakan bajunya sih didatangkan dari Korea. Bisa dibilang, Mama sudah sodorin semua barang fashion ini dari kecil, makanya saya agak terdoktrin juga,” ujar Sarah.

Toh ternyata keputusannya mengikuti jejak ibundanya menimbulkan kekalutan tersendiri. “Waktu pertama masuk kuliah, agak panik. Aduh, bagaimana? Gambar gak bisa, jahit gak bisa, bikin pola apalagi. Memang saya gak ada bakat gambar. Parah banget,” ungkapnya.

Untung saja, memasuki semester ketiga di sekolah mode LaSalle, ia mulai diarahkan untuk mendesain koleksi busana. “Jadi lebih bikin konsep. Lebih bikin idenya bagaimana. Nah, di situlah akhirnya saya mulai jatuh cinta pada desain fashion karena bikin konsep itu seru. Apalagi, saya suka sekali pada dunia perfilman, baca buku atau hal-hal yang bersifat imajinatif yang bisa saya tuangkan ke dalam karya saya nantinya,” tutur penyayang binatang yang juga hobi berwisata, menonton film, baca buku dan main game itu.

Akhirnya, saat lulus, Sarah pun menelurkan label O2M dan langsung dipatenkan. Kala merancang merek tersebut, ia sambil bekerja di desainer Iwan Thoha selama dua bulan. Ia mengaku lebih ingin dikenal sebagai pengusaha fashion ketimbang desainer. “Karena memang saya lebih ke bisnisnya, bagaimana cara menjualnya. Jadi, lebih ke produk massal,” katanya.

Dipilihnya nama Oxygen Mask, karena Sarah memiliki impian dapat menjadi masker oksigen yang bisa me-refresh jagat fashion Indonesia. Perbedaan alirannya, menurut dia, terletak pada gayanya yang postmodern. “Seperti misalnya saya punya kemeja, tapi kemejanya punya kerah yang tidak biasa. Atau, punya lengan yang tidak biasa. Barang-barang saya mesti ada unique taste. O2M itu sangat postmodern. Dan saya lihat, di Indonesia masih jarang sekali desainer yang berpikiran postmodern,” ujar Sarah yang mengaku mendapatkan inspirasi dari berbagai hal berbau futuristik seperti film legendaris Star Trek ataupun buku yang dibaca dan game yang digandrunginya.

Demi prinsipnya itu, ia tak segan melawan arus dengan lebih mementingkan kenyamanan ketimbang penampakan busananya. “Mungkin kalau lihat saja, orang belum tentu tertarik. Tetapi pada saat pakai, baru bisa menilai, oh bagus ya desain O2M. Nah, saya bisa mengorbankan itu demi comfort,” katanya menguraikan.

Untuk urusan produksi, Sarah memiliki pasukannya sendiri yang terdiri dari tim desain, tim produksi, dan pengendalian kualitas. “Segala aktivitas itu dilakukan di workshop kami di Jl. Hemat I/27C, Jelambar. Timnya sementara ada empat orang. Basically, semuanya masih saya yang tangani. Bahkan dulu, waktu baru awal mulai, sampai pengambilan fotonya pun saya yang kerjakan.”

Di saat awal merintis labelnya, ia menjaga eksklusivitas desainnya. Satu desain busana hanya dibuat dua unit. Belakangan, ia mulai merambah ke arah koleksi sehingga satu desain bisa diproduksi hingga 6 unit. Begitu pula dengan banderol harga busananya yang kini menyamai artikel fashion di segmen ritel. “Saya tidak mengharuskan harga satu dress mencapai jutaan. Saya mau semua orang bisa beli barang saya. Mungkin yang berani saya tawarkan ke pasar ya karena this is not designer pieces. Ini lebih ke retaileveryday clothing,” papar Sarah yang memasang harga Rp 200-600 ribu per item dengan sasaran remaja perempuan berusia 20 tahun.

Saat ini, ia tidak memiliki butik sendiri dan lebih memilih menyalurkan produknya ke berbagai gerai toko offline ataupun online seperti di Fashion X-Change dan toko online Zalora. Ia pun lebih menyukai berpromosi melalui media sosial. “Paling di media sosial yang saya jorjoran gila-gilaan, mulai dari Facebook, Twitter, sampai YouTube. Jadi, kami punya channel YouTube sendiri, karena kami ingin hal tersebut menjadi satu komunitas.”

Dengan cara itu, Sarah akhirnya berhasil menarik perhatian para selebritas. Ia tercatat pernah menangani gaya fashion berbagai selebritas, baik kelompok maupun individu seperti JKT48, 7 Icon, Faby Marcelia, Aurelia Devi, boyband S4, sampai iklan Eskulin Cologne Gel dan Samsung Galaxy Chat. “Jadi, lebih menclok ke mana-mana. Saya tidak pernah eksklusif untuk siapa. Yang pernah eksklusif setahun itu hanya dengan JKT48. Sisanya seperti lebih dipanggil oleh labelnya atau manajernya kemudian minta dibikinkan baju,” ungkapnya terus terang.

Salah satu prestasinya yang menurutnya cukup fenomenal adalah ketika ia meraih rekor dari Museum Rekor Indonesia. “Waktu mendapatkan Rekor MURI kemarin, saya bikin baju yang lumayan unik karena saya bikinkan kawat-kawat di baju tersebut. Sebenarnya saya pernah melakukan hal yang sama, tapi tidak seheboh yang di MURI kemarin,” ujarnya.

Selain kawat, ia juga pernah mendesain baju yang nyleneh dengan berbahan cip komputer. “Jadi, pas dulu di Jakarta Fashion Week, saya bikin koleksi lumayan aneh, saya pretelin komputer, saya ambil cipnya lalu saya pasang-pasang di baju. Waktu itu saya bikinnya satu koleksi 8 potong. Kalau yang di MURI lima potong.”

Sarah rupanya masih memiliki obsesi terpendam. “Mungkin obsesi yang belum saya capai dan akan lebih membuat saya bangga lagi adalah pada saat pelanggan bisa terinspirasi dari konsep saya. Karena, konsep yang saya buat benar-benar menunjukkan cara saya berbicara dengan pelanggan. Mungkin sejauh ini persentase untuk bisa menyampaikan konsep tersebut belum dapat. Jadi, ke depan akan lebih saya tingkatkan,” paparnya.

Rica O. Darmawan, Koreografer & Proyek Freelancer, memaparkan kesan uniknya atas busana rancangan Sarah. “Baju-bajunya edgy tetapi juga tetap tidak menghilangkan esensi centil atau iseng. Bajunya bisa disesuaikan dengan gaya individualistis,” tutur Rica yang telah memakai rancangan Sarah untuk berbagai proyeknya sejak 2011.

Rica punya saran khusus. “Sarah harus lebih terbuka berkolaborasi dengan orang lain, agar mereknya bisa tersebar dan memiliki lebih banyak flagship. Lebih jelas lagi mengenai positioning mereknya apakah readytowear atau fashion statement saja. Juga, lebih konsisten dalam hal media sosial khususnya blogging,” saran Rica.

Gustyanita Pratiwi & Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Sarah Ratna Herni


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved