Editor's Choice Youngster Inc. Entrepreneur

Perjuangan Theo dan Stephen Muluskan Bisnis Mesin Antrean

Perjuangan Theo dan Stephen Muluskan Bisnis Mesin Antrean

Sekarang, antre di bank atau kantor layanan pelanggan lainnya tak lagi harus berdiri menunggu giliran orang yang ada di depannya. Ketika masuk, customer hanya perlu tekan tombol mesin antrean otomatis (queuing system) untuk mendapatkan nomor antrean, plus nomor teller atau boks petugas yang akan melayani. Setelah itu, tinggal duduk manis di kursi yang disediakan untuk menunggu panggilan.

Theodosius Surya Adhitama (Theo) dan Jozef Stephanus Aditamaputra (Stephen)

Theodosius Surya Adhitama (Theo) dan Jozef Stephanus Aditamaputra (Stephen)

Nah, orang yang menangkap peluang bisnis di balik antrean di berbagai tempat itu adalah Theodosius Surya Adhitama (Theo) dan Jozef Stephanus Aditamaputra (Stephen). Keduanya mengembangkan mesin antrean otomatis yang tergolong dalam IT embedded system.

Bermula dari kegemaran pada bidang elektronik, dua sekawan lulusan Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung ini sepakat mengembangkan usaha pembuatan mesin antrean. Lalu, badan usaha bernama Newtronic Solution didirikan tahun 2008. Ternyata bisnis mesin antrean ini cukup prospektif. Pada 2012, omset Newtronic mencapai Rp 7 miliar. “Peluang usaha di bidang itu cukup menjanjikan,” ujar Theo.

Theo menceritakan, bisnis ini bermula pada 2007 ketika ada temannya, yang selama ini menjadi broker barang elektronik kebutuhan perusahaan, menanyakan kepada mereka apakah bisa membuat mesin antrean. Pasalnya, si broker mendapat pesanan mesin antrean dari kantor ticketing Garuda Indonesia Bandung. Tanpa berpikir panjang, Theo dan Stephen menyanggupi mengerjakan proyek tersebut. Padahal, keduanya belum pernah mengerjakan produk semacam itu. “Saat itu, kami hanya berpikir: terima saja dulu,” ucap Theo yang lahir di Pati 11 April 1983, sambil tersenyum.

Ternyata, proyek mesin antrean perdana senilai Rp 15 juta itu hampir gagal, karena ketidaksesuaian antara hasil uji coba di laboratorium dengan implementasi di lapangan. Misalnya, angka pada mesin antrean yang tidak sinkron ketika mesin dinyalakan kembali setelah mengalami pemadaman aliran listrik. “Awalnya, kami hampir tidak bisa memenuhinya. Kami coba berikan ke pihak lain, tapi sulit dicari. Ada yang mau, tapi minta waktu yang cukup lama. Mau tidak mau, kami kerjakan sendiri,” kata Stephen mengenang sambil tertawa.

Akhirnya, pengerjaan dan instalasi mesin antrean ini kelar dalam waktu dua bulan. Hikmahnya, mereka menyadari ada peluang bisnis di bidang ini. Terlebih, setelah ada pesanan proyek yang sama dari PDAM Bandung. Maka, mereka pun menyepakati membentuk Newtronic.

Memakan waktu dua bulan, selesai juga pengerjaan dan instalasi mesin untuk PDAM Bandung itu. Stephen mengaku sejak saat itu mulai terbuka peluang lain. “Akhirnya kami seriuskan membuat perusahaannya pada 2008,” kata Stephen yang lahir di Bandung 19 Desember 1982.

Sejak saat itu, mereka mulai menawarkan produknya secara door-to-door ke sejumlah perusahaan di Bandung. Namun, karena modal cekak, mereka tidak bisa membuat contoh produk yang ideal. “Kami membuat contoh mesin antrean yang bisa dibawa ke mana-mana menggunakan aluminium, sehingga ketika pengeras suara (speaker) di dalamnya berbunyi, maka mesin antrean itu bergetar dan bunyi breerrrr,” cerita Theo sambil terbahak.

mesin antrean

~~

Theo yang bertindak sebagai kepala pemasaran mengaku betapa sulitnya bertemu dengan kepala bagian sebuah perusahaan untuk memasarkan mesin antrean ini. Kalau pun dijanjikan ketemu dan sudah menunggu lama, eh tiba-tiba dibatalkan karena ada urusan lain. Atau, kalau pun bisa berjumpa, belum tentu produknya diminati. Banyak alasan yang disampaikan mereka. Misalnya, “Ah, customer kami santai-santai saja kok, gak ada yang komplain” atau “Belum ramai, ngapain beli mesin antrean?”

Toh, Theo tidak kurang akal. Ia meresponsnya dengan mengatakan supaya mind set-nya diubah: siapkan mesin antrean dulu. Untuk itu, Theo menyarankan kepada calon kliennya untuk mencoba mesinnya dulu selama seminggu secara gratis. “Akhirnya saya minta coba gratis selama seminggu. Ramai tidak ramai yang penting barang sudah di sana. Kalau mereka sudah pakai, kami yakin pegawainya akan mendorong untuk memakai karena pekerjaan pegawai dipermudah oleh mesin antrean,” cerita Theo. “Untuk meyakinkan calon pembeli butuh waktu 1-2 bulan karena perlu proses edukasi juga,” imbuh Stephen, yang bertindak sebagai kepala operasional.

Kenyataannya, mereka masih kesulitan mendapatkan pembeli. Supaya bisnis tidak sampai gulung tikar, mereka pun mengalihkan produksi ke barang lain. Kebetulan saat itu salah satu bengkel AHASS di Bandung meminta dibuatkan RPM meter digital. Produk ini lebih gampang terjual, karena harganya relatif murah, sekitar Rp 1 juta. “Kami buat RPM meter digital lumayan banyak, sekitar 100 unit. Kami tawarkan ke seluruh AHASS di Bandung hingga Surabaya,” ujar Theo. “Ternyata cukup banyak bengkel yang sudah punya RPM meter,” tambahnya.

Lalu, keduanya memutuskan menggarap kembali bisnis mesin antrean. “Lagi pula kami sudah dapat pengalaman dan uang dari hasil menjual RPM meter digital, yang bisa digunakan untuk membuat sampel produk mesin antrean dengan kualitas yang lebih baik,” ungkap Theo.

Terbukti, tidak lama berselang pesanan pembuatan mesin antrean datang dari BRI Bandung. Sekarang, hampir semua cabang BRI di seluruh Indonesia menggunakan mesin antrean bikinan Newtronic. Diklaim Theo dan Stephen, kini sudah ratusan perusahaan atau kantor yang memiliki unit customer service menjadi klien Newtronic, di antaranya: PDAM, Apotek Kimia Farma, Lab Klinik Pramita, Bank Jabar Banten, BNI, Bank Sinar Mas, Bank Mandiri, BRI Syariah, dan Angkasa Pura Offset.

Selain mesin antrean, Newtronic juga menyediakan produk displai kurs, megatron, CCTV dan alarm. Menurut Stephen, hampir 80% komponen yang dibutuhkan untuk membuat produk tersebut dipenuhi dari pemasok lokal dan sisanya impor. “Kami produksi sendiri mesin antrean, mulai dari desain, model, perakitan, pemrograman, quality control, hingga pemasangan,” ujar Stephen.

Menurut Theo, sejauh ini lebih dari 50% pendapatan perusahaannya dikontribusi dari penjualan mesin antrean, yang harganya mulai Rp 15 juta hingga Rp 100 juta per unit – tergantung paket yang dibeli: Basic, Advance, dan Multimedia. Sementara sisanya dikontribusi dari penjualan produk lain. Dengan didukung 30 karyawan, bisnis Newtronic mampu terus bertumbuh. Diklaim Theo, tahun lalu pendapatannya mencapai sekitar Rp 7 miliar, naik sekitar 30% dibanding pendapatan pada 2011 yang mencapai Rp 5 miliar.

Tahun 2013, kami tidak menargetkan pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi. Tapi, kami lebih menargetkan pengembangan diri, yaitu bisa mendapatkan ISO 9001:2008 terkait SOP,” ucap Theo. “Obsesinya, kami ingin menjadi perusahaan terbaik yang fokus pada embedded system development dengan memberikan produk elektronik berkualitas tinggi,” Stephen menambahkan.

Denoan Rinaldi & A. Mohammad B.S.

Riset: Adinda Khalil


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved