Listed Articles

Ada Apa dengan Rimo?

Oleh Admin
Ada Apa dengan Rimo?

Ada dua gerai Rimo yang kini bermasalah. Gerai dua lantainya di Mal Taman Anggrek (MTA) per November lalu ditutup. Penyebabnya, sebagaimana diklaim Hardjanto Salim, Direktur Operasional & Sekretaris Korporat Rimo, biaya operasionalnya terlalu tinggi, sedangkan omset tidak menutupi. Padahal sebelumnya, penjualan Rimo di MTA yang dibuka tahun 1996 itu diakui Hardjanto selalu memberi kontribusi 25% dari total omset Rimo. “Jadi, penutupan itu bukan karena kami tidak mampu berkompetisi,” ujarnya berkilah.

Ia menegaskan, setelah tarif sewa MTA naik yang dipatok dalam US$, pihaknya mulai keberatan. “Idealnya, biaya sewa dan service charge di bisnis ritel itu 10%-12% atau maksimal 14% dari omset. Namun, yang terjadi di Rimo MTA, sewanya sudah lebih 20% dari omset. Ini sama sekali tidak sehat,” ungkap Hardjanto saat ditemui di kantor Rimo Pasar Baru. Membengkaknya cost Rimo MTA berimbas pada subsidi silang yang tidak lazim. Rimo MTA yang notabene gerai terbesar Rimo justru harus disubsidi beberapa gerai Rimo yang kecil. Ketimbang terus berdarah-darah, akhirnya Rimo MTA ditutup.

Rimo Plaza Tunjungan (PT) 1, Surabaya, merupakan gerai kedua yang bermasalah. Saat ini space Rimo yang dibuka tahun 1986 itu mengalami penciutan. Mengapa? Bukan karena biaya sewa yang melambung. “Akses pengunjung menuju PT 1 kurang karena sebagian jalannya ditutup dengan pengembangan PT 2, 3 dan 4,” Hardjanto kembali berdalih. Pendeknya, ia ogah jika dianggap produk Rimo yang tidak kompetitif sebagai kambing hitam. “Pokoknya, kerugian kami gara-gara tingginya cost sewa dan stok barang.”

Dengan ditutupnya gerai Rimo MTA, kini gerai dept. store yang dibesut pasangan suami-istri Rita-Mohanlal Ramchand Harjani tersebut tinggal 8. Lokasinya tersebar di Jakarta (Plaza Gajah Mada, Supermal Karawaci, Pasar Baru), Surabaya, Bandung, Bali dan Manado. Gerai yang berkinerja bagus: Rimo Plaza Gajah Mada dan Supermal Karawaci (kontribusi masing-masing 20%) serta Rimo Bandung (17%). “Selama ini rata-rata penjualan Rimo stabil di kisaran Rp 220-230 miliar,” kata Hardjanto, “tapi dengan tutupnya Rimo MTA, kemungkinan tahun depan tinggal Rp 150-170 miliar.”

Hardjanto membantah pendapat bahwa Rimo kian terdesak. Pasalnya, sejauh ini yang masih dianggap pesaing head-to-head hanya Matahari lantaran sama-sama bermain di kelas menengah. Keagresifan Centro, Sogo dan Metro dinilainya bukan ancaman karena segmen mereka untuk kelas atas. Begitu juga Ramayana dan Lotus, yang menggarap pasar menengah-bawah, tidak perlu ditakuti. Dulu, citra Rimo memang untuk kelas atas karena saat berdiri tahum 1978 belum ada dept. store yang menggarap pasar premium. Sementara Ramayana yang juga lahir tahun 1978 sudah membidik pasar menengah-bawah. “Sejak awal kami fokus di kelas A-B. Kalau dibilang segmen Rimo bergeser, itu tidak benar, karena brand kami sama,” ujar Hardjanto lagi-lagi menyanggah.

Menurut Hardjanto, sejatinya Rimo tidak tinggal diam menghadapi masalah penurunan kinerja ini. “Beri waktu dua tahun untuk melihat hasil masa transisi Rimo. We are doing our job,” katanya tandas. Sejumlah strategi baru telah diagendakan untuk pengembangan dan pemulihaan performa Rimo pada 2007. Apalagi, Rimo kini ditangani generasi kedua: George Mohanlal Harjani (36 tahun) dan Richard Mohanlal Harjani (35 tahun) yang diharapkan mempunyai semangat bisnis tinggi.

Lantas, apa yang akan dilakukan Rimo? “Kami akan bangun gerai Rimo dengan wajah baru yang lebih modern,” ujarnya. Salah satu prototipenya telah dibuka buka di Manado, dengan displai produk dan interior toko bergaya masa kini. Rencananya, pada 2007 akan dibuka satu gerai di Bogor. Selain itu, Rimo pun bakal terus memanjakan pelanggan loyalnya dengan berbagai program menarik, karena mereka menyumbang penjualan hingga 40%. Bentuk apresiasi yang sudah diberikan adalah pemberian kartu Rimo Smart Card. Dengan berbelanja memakai kartu ini, pelanggan akan mendapatkan electronic cash dengan diskon 15% yang bisa diakumulasikan untuk belanja lagi. Dengan jurus pembenahan toko dan bekal pelanggan yang loyal, Hardjanto yakin, masa depan Rimo tidak di ambang kehancuran, tapi tetap prospektif.

Lain halnya dengan prediksi Hendra Bujang. Analis saham dari perusahaan sekuritas lokal itu menilai prospek bisnis Rimo tetap berat lantaran persaingan bisnis ritel kian ketat dan citra merek sangat menentukan. “Brand image Rimo masih kalah dari Matahari,” ucap Hendra. Lagi pula, Rimo tidak mampu mendapatkan suntikan dana besar sebagai modal ekspansi.

Di lantai bursa, performa saham Rimo pun melempem. Saat listing, harga sahamnya Rp 500, tapi kini menukik di kisaran Rp 60. Hendra mengatakan, saham ini tidak likuid di pasar dan kapitalisasi pasarnya kecil. Investor tidak melirik saham Rimo karena fundamental dan kinerja keuangannya tidak bagus.

Menurut Hendra, ada tiga strategi yang harus dilakukan Rimo untuk menyelamatkan diri ke depan. Pertama, merestrukturisasi biaya. Kedua, secepatnya mencari akses sumber pendanaan yang lebih murah. Ketiga, mendiversifikasi bisnis. “Jadi, bukan zamannya lagi perusahaan itu stand alone. Ini konsep bisnis lama. Di tengah kompetisi bisnis yang dinamis, siapa yang tidak siap akan tersingkir,” ujarnya tegas.

Eva Martha Rahayu & Afiff M.Dewanda

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved