Listed Articles

Ada Duit di Balik Billboard

Oleh Admin
Ada Duit di Balik Billboard

Peluang itulah yang disambar PT Nusindo Prima Indah (NPI), pemasok bahan baku dan teknologi bagi para sign maker. NPI didirikan oleh sekelompok pengusaha Indonesia yang mengambil kursus manajemen di Universitas Singapura, di antaranya Jotje Wantah, Oon Oswara, Efendi Salim dan Bambang Irawan. Kebetulan, salah seorang rekan para pendiri adalah pemasok bahan baku periklanan di Singapura. Ia memberi masukan bahwa peluang di bisnis ini sangat bagus. Ia sendiri pemegang lisensi penjualan Aslan, salah satu merek bahan baku periklanan untuk seluruh Asia Tenggara.

Atas masukan tadi, didirikanlah NPI pada 1992, menempati ruko tiga lantai di Jalan Bungur Raya, Jakarta. Dituturkan Iwan Kuntjoro, Manajer Pengembangan Bisnis NPI, perusahaannya boleh dibilang merupakan pionir. Diakuinya, waktu itu sudah cukup banyak perusahaan yang menggeluti bidang serupa, tapi bahan periklanan yang mereka pasok ke para sign maker masih sederhana.

Contohnya, neon box masih dibuat dengan akrilik dan airbrush. Logo untuk neon box didesain dengan karton, lalu dipotong dan ditempel di akrilik, baru kemudian dicat. Billboard pun masih dibuat dengan teknologi gambar. Maka, jangan heran jika iklan sabun mandi yang menampilkan bintang wanita cantik di 10 tempat, dijamin ke-10 gambarnya tidak sama persis. “Bisa jadi gambar Sophia Latjuba di Depok dan di Cawang berbeda, karena masih manual,” kata Iwan.

NPI mengedukasi pasar dengan mengenalkan bahan dan teknologi periklanan modern seperti yang digunakan di negara-negara maju. Antara lain, flexible sign face, sign cutting plotter, reflective sheeting, self adhesive vinyl, banner stand & point of sales display, aluminium frame extrusion dan digital inkjet printer. Awalnya, sulit diterima, sebab dari segi harga memang lebih mahal. Maka, begitu berhasil menggaet klien, NPI langsung mengeksposnya dan membandingkannya dengan mereka yang masih tradisional. Menurut Agustinus Djilin, Manajer Korporat NPI, tahun 1993 adalah tonggak penting bagi NPI, karena berhasil menggaet BCA untuk menggunakan stiker yang dijual NPI demi keseragaman warna dan logo di seluruh ATM-nya.

Bisnis NPI makin mengakar pada 1995, yang ditandai dengan menguatnya citra merek Aslan. Sejak itu, jika orang akan membeli bahan baku untuk membuat neon box atau sign box, yang ada di kepala mereka cuma kata ?Aslan?. Padahal, nama bahan baku itu mestinya aluminium flexible sign face dan self adhesive vynil. Aslan hanyalah salah satu merek dari ratusan produk sejenis. “Seperti orang beli air mineral, bilangnya Aqua,” tutur Iwan.

Sejak itu, banyak merek dunia lain yang memercayakan pemasaran produknya di Indonesia pada NPI, seperti A Graphics (Amerika Serikat), Vutek, Hey Tex, Kiwalite, KSC (Korea), Mactac, Graphtec, Mutoh dan Summa. “Tapi, kami tetap selektif. Kami lihat dulu kualitas, harga, support dan after sales service-nya,” jelas Iwan. Seiring menguatnya kuku NPI, bermunculan pula pemain baru. Namun, hingga kini, hanya ada empat pelaku yang boleh dibilang kuat. “Tapi, kami masih paling besar,” Iwan mengklaim.

Hal itu diamini Agus Suseno, Direktur Mentari Billboard, salah satu pelaku sign maker terbesar. Menurut Agus, NPI yang dikenalnya sejak 1995 memang pionir penyedia bahan baku berkualitas tinggi untuk iklan luar ruang. Namun, menurut Agus, NPI bukanlah yang pertama, karena ada nama-nama lain seperti Sigmaco, Tri Tunggal dan Cipta Mandiri. ?Tapi, NPI memang yang terbesar,” tegasnya.

Menurut Iwan, untuk media luar ruang, 70% dari biaya tersedot buat konstruksi dan pajak. Adapun 30%-nya baru diambil untuk media atau materialnya. “Paling tidak, uang yang bisa diraih 70%-80% dari 30% itu,” ujarnya. Penguasaan pasar NPI di industri ini, seperti dikatakan Agus, beragam, sebab barang yang ditawarkan juga beragam. Untuk flexible sign face, NPI menguasai sekitar 80%, tapi untuk stiker 40%-50%. “Secara keseluruhan, NPI menguasai 60%-70% pasar bahan baku dan teknologi outdor advertising,” jelas Iwan.

Didukung 40-an karyawan, kini NPI memiliki sekitar 1.600 sign maker yang menjadi mitra. Agar mitra di luar Jakarta terpenuhi kebutuhannya, NPI membuka dua dealer, di Medan dan Surabaya. Tahun depan ditargetkan bertambah 4-5 dealer lagi di berbagai kota besar. Dengan alasan klasik bahwa NPI tak mau dilihat pesaing, Iwan mengelak menyebutkan omset. Dia hanya mencontohkan, kalau satu billboard nilainya Rp 5 miliar, pengeluaran untuk membeli bahan sekitar Rp 100 juta.

Dari total belanja iklan nasional, hanya 15% yang diserap oleh media luar ruang. Karenanya, NPI terus mencoba memenuhi kebutuhan hampir semua bagian. Tak lagi sebatas media luar ruang, tapi juga dalam ruang seperti plang iklan TV, logo perusahaan dan plang gerai makanan cepat saji.

Riset: Siti Sumariyati.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved