Arton Widodo: Berusaha Cari Uang Sebanyaknya | SWA.co.id

Arton Widodo: Berusaha Cari Uang Sebanyaknya

Buku Multiple Streams of Income menjadi sumber inspirasi Arton Widodo. Buku investasi buah pena Robert G. Allen ini mengajak pembacanya menciptakan mesin uang sebanyak-banyaknya sebagai ladang penghasilan. ?Memang banyak buku investasi yang saya baca, tapi Multiple Streams of Income yang paling menarik,?  kata peraih gelar MBA bidang finance investment dari Universitas Golden Gate, San Francisco ini.

 

Setelah memahami dan merenungkan buku itu, Arton segera bertindak. Ia berpikir: doing  things right now. Maka mula-mula dipilihlah instrumen properti sebagai ajang perdana mempraktikkan ilmunya. Investasi properti itu dilakoni seiring kesibukannya sebagai CEO Grup Avigra, perusahaan yang membidangi komunikasi pemasaran, periklanan dan public relations.

 

Bentuk investasi properti yang memikat hatinya: apartemen, tanah, ruko dan rumah. Aset alokasi investasi ini mayoritas dengan porsi 60% total portofolio pribadinya. Untuk ruko, Arton berprinsip: Biarkan uang orang lain bekerja untuk kita. Bagaimana caranya? Ia menuturkan, bersama 20 temannya patungan untuk membeli apartemen satu blok (isinya 4-5 ruko). Uang itu hanya dipakai sebagai pembayaran uang muka. 

 

Nah, karena ruko itu masih dalam tahap pembangunan, biasanya pengembang memberi diskon. ?Diskon yang kami dapat selisihnya bisa 5%-10% lebih gede dari diskon yang diberikan ke pembeli eceran,? katanya. Begitu pengembang melakukan launching ruko, maka Arton dkk. juga ikut-ikutan menjual hak rukonya itu. Ia mengklaim ruko yang ditawarkannya laku keras karena dijual dengan harga lebih rendah ketimbang tawaran dari pengembang. Dengan pola investasi semacam ini dana Arton dkk. tidak perlu terlalu lama mengendap. Transaksi ini cuma memakan waktu 3-4 bulan Dengan demikian duitnya bisa diputar ke lahan berikutnya.

 

Kali ini yang menjadi sasaran investasi propertinya jenis apartemen. ?Kalau dihitung-hitung, saya sudah membeli apartemen 20 unit,? ujar kelahiran Jakarta 41 tahun lalu itu. Lokasinya tersebar di berbagai wilayah di Jakarta. Rata-rata apartemennya itu dibeli sebelum dibangun, sehingga lagi-lagi cukup membayar uang muka. Sama halnya dengan ruko, begitu bangunan apartemen jadi, segera pula dilepas.

 

Urusan strategi investasi apartemen, Arton punya tip: Jangan terlalu lama menyimpan apartemen, karena menjual di pasar sekunder lebih susah dan untuk menyewakan juga ketat persaingannya. Ia mencontohkan, beberapa apartemannya di Taman Anggrek dijual semua karena di sana terdapat 2.800 unit apartemen yang membuat persaingan untuk menyewakannya sangat tajam. ?Makanya saya jual saja meski kenaikan harganya tidak terlalu gede. Daripada menanggung risiko lebih besar lagi,? ia mengungkapkan. Harga apartemen seluas 150 m2 itu tahun 1996 rata-rata sekitar Rp 300 juta (dengan kurs Rp 2.000/US$). Untuk menjual lagi ia butuh waktu tiga bulan.

 

Saat ini, Arton masih memiliki apartemen seluas 170 m2 di Jak-Sel dan disewakan seharga US$ 2 ribu/bulan. ?Apartemen ini saya keep, karena saya ingin mendapatkan passive income,? ujarnya. Betul biaya pemliharaan apartemen  mahal, sekitar Rp 3 juta/bulan. Namun, dengan mendapatkan uang sewa kurang-lebih Rp 18 juta/bulan, masih ada sisa penghasilan tetap yang lumayan.

 

Tanah juga menjadi ajang investasi properti Arton. Ia membeli ribuan m2 tanah di dekat tol Lippo Karawaci tahun 1983. Saat itu harga tanah masih Rp 9.000/m2, tapi kini harga pasarannya menjadi sekitar Rp 900 ribu/m2. Tanah itu rencananya bakal tetap dipertahankan karena biaya perawatan rendah dan harganya masih berpotensi naik lagi.

 

Arton tak puas hanya main di properti.  Maka, ia pun melirik saham sebagai ajang membiakkan uangnya.  Di instrumen yang tergolong berisiko tinggi ini, Arton mengalokasikan dana 15% portofolio investasinya. Ia menyentuh dunia saham tatkala memiliki banyak klien perusahaan yang hendak go public sejak tahun 1990. Awalnya, ia suka membeli saham-saham IPO karena dipersepsikan harganya terus naik. Faktanya, ia pernah rugi gara-gara membeli saham di pasar perdana.  Tidak hanya itu, ia masih berupaya mengejar peruntungan saham di pasar sekunder.

 

Namun, ia sial lagi. Mengapa? Ternyata, setelah diusut kesalahan ada pada dirinya sendiri. Artinya, sudah tahu harga saham itu tidak naik-naik, tapi masih diuber terus. ?Ternyata main saham itu sekolahnya mahal ya,? ungkap Arton.

 

Kapok? Tidak juga. Arton justru memetik pelajaran berharga dari beberapa kali pengalaman gagal investasi saham. Ibaratnya, lebih baik mengumpulkan uang Rp 1.000/hari daripada Rp 30 ribu/bulan. Maksudnya, lebih baik untung yang kontinyu meski tipis. Jadi, kalau meraih capital gains 1 poin saja sudah cukup.

 

Strateginya bertransaksi saham:  Ikuti momen-momen kapan window dressing, kapan tiba-tiba harga turun tidak wajar dan pilih jenis saham yang aman. Sekarang, Arton cenderung main saham bluechips dengan alasan lebih likuid. ?Saya ingin main saham yang membuat saya tenang tidur,? ujar ayah dua anak ini. Untuk itu, ia pun aktif melakukan riset tentang kinerja emiten, manajemen, kondisi industri dan pergerakan harga sahamnya. Pendeknya, aman lebih penting ketimbang gains yang spekulatif.

 

Selain itu, investasi yang terkait dengan hobi pun ia jalani, tapi alokasinya hanya 2,5% total investasi. Arton mengakui koleksi lukisannya bukan kelas tinggi, karena saat ini masih tahap belajar. Jumlahnya mencapai belasan dari berbagai pelukis dan aliran seni lukis. Toh, ia cukup gembira karena lukisan yang disimpannya mengalami kenaikan harga lumayan gede. Ia mencontohkan salah satu lukisan yang dibeli tahun 1997 seharga Rp 1,5 juta, kini harga pasarnya mencapai Rp 15 juta.

 

Kemajuan teknologi informasi juga dimanfaatkan Arton untuk berinvestasi. Ia kepincut investasi domain dengan alokasi 2,5% seluruh investasinya. Dikatakannya, ia membeli beberapa domain di Internet, seperti unyil.com dan rajaduit.com. Untuk mendapatkan domain itu cukup melakukan registrasi dengan biaya US$ 20/tahun. Dan ia memprediksi harganya bakal melambung jika ada yang tertarik membelinya bak lukisan. Sebagai gambaran, di luar negeri saja sering terjadi transaksi domain dengan harga US$ 10 ribu/domain.

 

Bagaimanapun beragamnya diversifikasi investasi Arton,  ia tak meninggalkan tabungan sebagai wahana investasi konvensional. Bentuknya ada dua macam. Pertama, simpanan tetap yang jumlahnya 10% income. Kesadaran sendiri untuk disiplin menyisihkan 10% pendapatan itu baru dijalani tahun 2004. Rencananya bila duit itu terkumpul akan diputar untuk diinvestasikan lagi ke beberapa instrumen. ?Tapi jumlah pokok duit yang saya ambil itu nanti akan dibalikkin lagi sebesar semula,? ungkap lelaki berkacamata minus ini.

 

Kedua, tabungan dan deposito di bank. Arton tercatat sebagai nasabah wealth management banking di Standard Chartered Bank dan HSBC. ?Saya tertarik layanan private banking karena layanannya lebih individu, jemput bola dan memperhatikan nasabah,?Arton menerangkan.

 

Arton mengaku belum puas dengan hasil investasi sekarang dan masih banyak belajar mencari alternatif instrumen lain. ?Saya akan mencari mesin uang sebanyak-banyaknya untuk persiapan hari tua,?tuturnya. Itulah sebabnya, dalam waktu dekat ia akan ikut seminar The Millionaire Matrix di Singapura dengan pembicara pakar investasi yang ia idolakan: Robert G. Allen.

Tags:

Sign In

Get the most out of SWA by signing in to your account

(close)

Register

Have an account? Sign In
(close)