Listed Articles

Bandung Lautan FO dan Kafe

Oleh Admin
Bandung Lautan FO dan Kafe

Tak dapat disangkal, Bandung merupakan salah satu kota di Tanah Air yang cukup tersohor. Kota Kembang adalah sebutan yang paling banyak dipakai orang untuk menggambarkan keindahan panoramanya. Di abad ke-18, masa-masa kolonialisme Belanda, kota ini juga memperoleh julukan Paradise in Exile, surga di tempat pembuangan. Bahkan, hingga kini, mereka yang suka mengenang romantika keindahan masa lalu kota ini lebih senang menyebutnya Parisj van Java.

Sekarang Bandung masih menjadi salah satu tujuan favorit pelancong, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Menurut Ernawan Natasaputra, Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandung, ini lantaran sebagai daerah tujuan wisata, kota ini cukup kondusif dan aman. Indikasinya, saat akhir pekan, tingkat hunian hotel selalu meningkat. Bahkan, di akhir minggu, tak kurang 25 ribu wisatawan berkunjung ke kota ini.

Memang, Bandung tak punya wisata alam yang bisa dibanggakan. Namun, meski tak seindah dulu, sisa-sisa pesona alami masa lalu kota ini masih bisa dinikmati. Hanya, ada magnet lain yang belakangan lebih kuat daya tariknya, yakni positioning-nya sebagai surga belanja busana dan wisata kuliner. Boleh dibilang, inilah potensi wisata penunjang yang makin bisa diandalkan.

Sebagai pusat belanja, dulu Bandung terkenal dengan kawasan Cibaduyut-nya, yang menjual aneka macam sepatu lokal dan pernak-pernik pendukungnya. Kini Bandung juga dikenal sebagai gudang factory outlet (FO), yang menawarkan pakaian sisa ekspor dengan harga miring (harga pabrik). Entah direncanakan formal ataukah terjadi secara alami, belakangan di beberapa kawasan kota ini bermunculan FO. Di Jl. Juanda misalnya, ada Rich & Famous, VIP dan M&M. Lalu, di Jl. RE Martadinata ada Riau Stock Mall dan Heritage. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Kota Bandung tahun ini, setidaknya ada 17 FO yang cukup punya nama.

Kehadiran banyak FO ini memang mampu menarik lebih banyak wisatawan. Agaknya, potensi ini pun dilirik para pengusaha kafe/resto. Tak heran, berkembangnya FO diikuti fenomena bermunculannya kafe-kafe yang menawarkan beragam hidangan dan suasana. Ernawan mengakui, jumlah FO dan resto/kafe di kotanya beberapa tahun terakhir memang meningkat pesat. Resto/kafe yang cukup beken, antara lain Kampung Daun, The Volley, The Peak, Sapulidi dan Isola.

Kampung Daun dikenal sebagai tempat makan dan bersantai yang didesain secara alami, menawarkan suasana pedesaan kepada pengunjung. SWA merasakan bagaimana kentalnya suasana alami Kampung Daun. Sungai dan tebingnya alami, bukan buatan, hanya sedikit dipoles, sehingga lebih indah. Penempatan ranggon dan saung yang disusun secara acak menghadirkan kesan pedesaan yang semakin kental. Apalagi, tiang ranggon terbuat dari bambu dan atapnya dari daun enau, yang mengesankan suatu kampung di daerah pedesaan. Tamu pun bebas memilih ranggon sesuai selera untuk menikmati makanan secara lesehan, sambil bersandar di tiang dengan diganjal guling. Atau, memilih ranggon yang menyediakan kursi-kursi kayu untuk duduk sambil menikmati udara segar dan gemercik air dari salah satu curug di bagian hulu.

Di malam hari, kafe yang sebelumnya bernama Kampung Cadas Gantung ini tampak lebih indah. Ada cahaya dari puluhan lampu cempor yang berbahan bakar minyak tanah. Sementar itu, makanan yang disajikan sangat bervariasi, dari makanan khas Indonesia hingga makanan asing. Pengunjung juga bisa menikmati sajian khas pedagang asongan di Jawa Barat, seperti gulali, mi kocok dan sate.

Terletak di lembah seluas dua hektare di kawasan objek wisata Cihideung, Bandung Utara, Kampung Daun dirintis oleh Ruth Tamzil de Fernandez dengan modal sekitar Rp 400 juta. Kafe ini beroperasi sejak 13 November 1999. Meskipun kemudian muncul kafe-kafe lain yang juga menawarkan suasana alami, seperti The Volley dan The Peak, Kampung Daun hingga kini masih diminati. “Pesaing berat Kampung Daun adalah The Volley, karena konsep restorannya bagus,” kata Uung Rumaji, Manajer Operasional Kampung Daun.

Jumlah pengunjung Kampung Daun rata-rata 150-200 orang/hari. Namun, di akhir pekan mencapai 800-1.000 orang. “Bahkan, pengunjung Kampung Daun rela antre. Malam Minggu, antrean sudah terjadi pada pukul 18.00,” kata Uung. Untuk menghibur tamu yang masuk dalam waiting list, manajemen menyajikan berbagai acara hiburan, dari musik akustik hingga pantomim. Untuk mereka, manajemen juga menyediakan penganan tradisional gratis, seperti singkong dan kacang rebus.

Awalnya, Kampung Daun hanya memiliki empat saung dan 6 ranggon, dan buka pada Sabtu dan Minggu saja. Sekarang resto ini buka Selasa dan Minggu. Jumlah saung dan ranggon pun bertambah, masing-masing menjadi 8 dan 11. Selain itu, Kampung Daun kini juga memiliki ruang yang lebih besar, seperti Curug 2 AB (kapasitas 20 orang), Rumah Besar (30 orang), Bumi Cai (30), Alfreco I, II, III (6-10 orang) dan Bale Ageng (125 orang). “Kami sedang mencoba mempromosikan Bale Ageng sebagai sarana pertemuan outdoor,” kata Uung.

Menurut Uung, Kampung Daun sebenarnya membidik seluruh segmen. Sebab, dengan dana Rp 35 ribu/orang, pengunjung sudah bisa menikmati hidangan di sini. Namun diakuinya, umumnya pengunjung adalah segmen menengah-atas dari Jakarta, Bandung dan beberapa kota lain. Omset Kampung Daun saat ini rata-rata sekitar Rp 250 juta/bulan, atau Rp 3 miliar/tahun.

Lain halnya dengan McNzie Uptown Resto. Kafe di Jl. Bukit Pakar Timur ini mengandalkan aneka hidangan steak dan menu Eropa. Kafe yang dimiliki dan dikelola oleh PT Adiboga Martini ini mulai beroperasi 7 Oktober 2000. Di kafe ini, sambil menyantap hidangan, pengunjung bisa menikmati keindahan Bandung dari ketinggian.

Adapun The Peak, yang berdiri pada Februari 1998 terletak di Jl. Desa Karyawangi, Ciwaruga, Kecamatan Paropong. Semula kafe ini lebih sebagai fasilitas berinteraksi antara pemilik vila di Giri Indah dan para tamunya. Awalnya, jumlah tamu hanya 20-30 orang pada hari biasa, dan sekitar 100 orang saat akhir pekan. Belakangan kafe ini dikembangkan menjadi tiga lantai. Sekarang, pengunjungnya pada hari biasa 200 orang lebih, sedangkan pada hari libur 500-600 orang. Menurut pengelolanya, sekitar 60% tamunya berasal dari Jakarta, 25% dari Bandung dan sisanya tamu mancanegara.

The Peak menawarkan menu Eropa dan makanan lokal seperti sop buntut. Selain itu, kafe ini memiliki koleksi sekitar 50 jenis wine, 20 jenis wiski, dan aneka sigaret. Pengelolanya mengaku, dengan transaksi pengunjung rata-rata Rp 125 ribu, paling tidak kafe yang bernaung di bawah bendera PT Hasta Krida Pratama ini membukukan omset Rp 750 juta/bulan.

Ternyata, yang diminati wisatawan bukan hanya FO dan kafe. Toko-toko makanan dan kue juga. Nama yang cukup ngetop, antara lain Toko Kue Bawean, Soes Merdeka, Kartika Sari dan Prima Rasa. Masing-masing punya cirikhas. Toko Kue Prima Rasa misalnya, lebih dikenal dengan produk brownies, cake dan pastries-nya. Harga brownies yang dijajakannya, Rp 22-26 ribu, tergantung pilihan rasa: keju, moka dan kismis. Bisnis kue yang dirintis Theresia Yulianty ini punya dua cabang, di Jl. Kemuning dan Jl. Buah Batu.

Adapun Toko Soes Merdeka yang dirintis Lik Mustoyo, sesuai namanya, menyediakan salah satu makanan khas Bandung, kue sus. Dari kedua gerainya, di Jl. Buah Batu dan Jl. Merdeka, tingkat produksinya sekitar 4 ribu potong sus/hari, bahkan di akhir pekan mencapai 7 ribu potong.

Nah, selain beragam pusat belanja busana dan makanan seperti di atas, penunjang pariwisata Bandung lainnya adalah tersedianya 24 mal besar dan puluhan hotel berbintang. Paling tidak, saat ini Bandung memiliki lima hotel bintang lima, 7 hotel bintang empat, 16 hotel bintang tiga, dan 15 hotel bintang dua. “Peluang bisnis hotel masih terbuka di Bandung,” ujar Henry Husada, Dirut PT Renaldi Jaya Eka Inti (Rejeki), salah satu pengusaha hotel yang sudah merasakan manisnya bisnis ini.

Henry sebenarnya lebih dulu dikenal sebagai Raja Jins di Cihampelas, yang kemudian terpincut menggeluti bisnis perhotelan. Sejak 1998, ia mengelola Hotel Serana, Hotel Seranariti dan Apartemen Seriti. “Tingkat hunian kedua hotel tersebut cukup bagus, 70%-80%,” katanya. Menurut dia, di akhir pekan dan liburan, banyak wisatawan lokal dari Jakarta, Yogya, Solo, Surabaya dan kota lain yang menginap di Bandung.

Merasa belum cukup, bapak empat anak ini tengah mempersiapkan pembangunan Hotel Selera (bintang tiga) yang berlokasi di Jl. Otto Iskandar Di Nata. Dengan bendera PT Seranaritti Hotelindo, pembangunan hotel 128 kamar ini membutuhkan investasi Rp 30 miliar. Selain itu, ia juga sedang mengurus perizinan untuk pembangunan hotel bintang tiga lainnya (88 kamar) di Jl. Purnawaman dengan investasi Rp 21 miliar. Keduanya akan diluncurkan pada 2005. Pendanaannya? “Selain modal sendiri, juga ada pinjaman dari bank lokal. Persentasenya 50:50,” katanya.

Melihat peluang bisnis di Bandung begitu besar, Henry mengaku akan tetap fokus pada dua bidang, yaitu hotel dan fashion. Di bidang fashion, untuk menarik minat konsumen ia mencoba menerapkan konsep dekorasi outdoor di tokonya, di kawasan Cihampelas. Bahkan, semua toko miliknya agar lebih semarak tidak menggunakan satu nama dan didekorasi sesuai karakter tokohnya, seperti Super Rambo Jeans, Ksatria Baja Hitam, Batman, Mobil Jeans, Aladin Jeans dan James Bonds Jeans. Dari 25 toko jins di Cihampelas, 18 toko adalah miliknya — dua di antaranya belum lama ini ditutup, karena lokasinya dinilai kurang strategis.

Meskipun dari 16 toko jins yang beroperasi, ada yang mengalami kerugian, Henry berusaha mempertahankannya, dengan pola subsidi antargerai. Pertimbangannya, kalau ditutup, ia khawatir citra toko tersebut akan kurang baik. Sayangnya, ia enggan menyebutkan omsetnya sekarang. Yang jelas, ia berobsesi menjadikan Cihampelas sebagai kawasan toko jins terpanjang di dunia.

Rupanya, naluri bisnis Henry tak cuma berhenti di situ. Ketika bisnis FO menjamur di Bandung, ia tak mau ketinggalan. Ia membangun beberapa FO, menambah maraknya bisnis pakaian sisa ekspor ini. Beberapa FO miliknya, antara lain Putri Dago, Otten Mania, Gadis Funky, Funky Outlet Store dan Larissa Favorite Stock. Namun, beberapa FO tersebut terpaksa ditutup dan yang masih bertahan adalah Funky Outlet Store dan Larissa Favorite Stock. Namun, ia mengaku kedua FO ini hanya untuk menjajaki pasar dan tidak akan dikembangkan. Alasannya, citra FO sekarang sudah rusak lantaran banyak FO yang menjual produk non-branded.

Sebagai kompensasinya, penggemar golf ini mengembangkan toko fashion yang lebih spesifik: Relbi dan Ranaldi (RR) Hyper Fashion Store dan Renaritti Spectaculer Fashion Store. Perbedaannya, RR yang dibuka April 2001 menyediakan produk fashion yang sedang ngetren, Renaritti (dibuka 16 Agustus 2002) menyediakan produk dengan mode masa depan.

Besar investasi untuk RR Rp 20 miliar, sedangkan Renaritti Rp 25 miliar. Itu baru untuk bangunan. Kalau lengkap dengan isinya, dana masing-masing Rp 30-40 miliar. Sayangnya, Henry tidak bersedia menjelaskan kalkulasi bisnisnya dan kapan investasi kembali. Alasannya membuka toko baru, ingin menjaga eksistensi sebagai pemimpin bisnis. Selain itu, ia juga ingin RR dan Renaritti menjadi kebanggaan Kota Bandung. “Respons konsumen terhadap kedua rumah mode tersebut cukup bagus,” katanya mengklaim.

Hasil pemantauan SWA di Renaritti yang berlokasi di Jl. Riau 26 menunjukkan, meskipun bukan akhir pekan, jumlah pengunjung gedung berlantai tiga ini cukup banyak. Pengunjung bisa leluasa memilih berbagai produk fashion, baik lokal maupun impor, yang dijual dengan harga Rp 20-300 ribu. Dita (31 tahun), salah seorang pengunjung asal Jakarta, menilai mode yang ditawarkan Renaritti cukup bagus dan tak ketinggalan zaman, begitu pula kualitas bahan dan jahitan, tidak mengecewakan. Dari sisi harga, bila dibanding Jakarta, relatif lebih murah. “Saya sering membawa produk dari Renaritti untuk oleh-oleh famili di Jakarta,” ujar ibu dua anak ini.

Harga yang diminati, menurut Henry, Rp 50-120 ribu. “Kami hanya mematok margin 20%-30%,” katanya. Lonjakan penjualan umumnya terjadi saat akhir pekan dan liburan, masing-masing sebesar 30% dan 50%.

Henry memiliki tim kreatif beranggotakan 8 orang. Tim ini bertugas menggodok dan mengikuti arah perkembangan mode di Indonesia dan mancanegara. Selain itu, PT Rejeki, perusahaan yang menaunginya, juga menggandeng beberapa perajin di Ja-Bar untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Meskipun prospek bisnis fashion masih menjanjikan, Henry mengaku harus mengerem keinginan, agar tak terlalu agresif mengembangkannya. “Bisnis fashion masih menjanjikan di Bandung, asalkan konsepnya jelas dan ditata agar Bandung menjadi kota belanja fashion,” katanya. “Hingga akhir tahun, kami belum mau menambah jumlah outlet, tapi sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih unik,” tambahnya.

Riset: Asep Rohimat.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved