Listed Articles

Bekerja sambil Tertawa

Oleh Admin
Bekerja sambil Tertawa

“Lha saya ini bukan siapa-siapa kok mau ditanya soal kecanduan kerja,” jawab saya. “Kan Pak Supiyo menulis di Rubrik Sela tentang masalah ini,” suara dari ujung telepon menyambung dengan nada halus. Saya lalu mengajukan syarat, tunggu sampai sambungan tulisan saya di-Sela-kan di Majalah SWA.No poblem, Pak,” jawabnya ringan.

Uraian yang saya petik dari Guardian News Service (GNS) dan hadir di ruang ini (SWA edisi 22/2004), memang masih ada lanjutannya. Tidak panjang, seperti yang Anda baca berikut ini. Bagaimana melampiaskan emosi terpendam dampak workaholic? GNS memberikan tip yang layak diperhatikan. Pertama, mulailah berlatih jika Anda menghendaki secara bertahap. Temukan aktivitas lain yang dapat membunuh obsesi kerja Anda. Pilih olah raga yang murah meriah bersama keluarga, tea walk, misalnya. Nonton TV tak akan membantu. Lebih ideal, kalau bisa menemukan aktivitas yang berorientasi pada upaya mencapai tujuan hidup. Seperti kegiatan sosial, keagamaan ataupun pelestarian alam.

Itu langkah pertama yang rasanya tak terlalu sulit dilakukan. Adapun langkah kedua, simak (dari buku, misalnya), dan perhatikan dengan cermat mereka yang sukses dalam karier, hidup, serta mengenyam kebahagiaan. Sebagian besar mereka memprioritaskan keluarga dan suka mengunjungi teman-teman. Mereka juga berminat pada hal-hal di luar pekerjaan, seperti bermain musik, punya rasa humor, bersilaturahmi, ataupun berlibur sambil bersantai. Karenanya, hidup mereka ceria dan segar, walaupun secara fisik sedang capek.

Yang juga amat perlu diingat adalah menyadari bahwa hidup ini memang sukar dan merupakan pekerjaan berat. Kalau dituruti, kerja itu tak ada habisnya. Bisa kebablasan. Jadi, jangan ditambah lagi dengan kecanduan kerja yang hanya mempersulit hidup, sementara pekerjaan bukannya bertambah ringan. Hidup dan kerja itu saling terkait, bisa saling mempersulit, dan berpotensi menciptakan masalah. Itu wajar. Sebab, kalau dalam hidup ini tak ada masalah, justru itulah masalahnya.

Orang arif berkata, yang penting bukan berlama-lama di kantor karena Anda terserang penyakit ingin bekerja ekstra keras. Melainkan, menyelesaikan kerja secara efisien dan bermuara pada hasil kerja. Setelah itu, nikmati kebenaran alami dan dendangkan sepotong lirik lagu …”The moon is shining, oh happy day …” Dan kalau hidup begitu tough, ikuti saja suara Barbra Streisand yang melantunkan: “Smile when your heart is aching …”

Herr Ludwig Meyers tersenyum ketika saya katakan bahwa orang Jerman jarang tersenyum kalau sedang bekerja. “Kecuali resepsionis hotel,” saya menambahkan. “Juga, staf pemasaran dan penjualan seperti saya ini,” Herr Meyers mengoreksi seraya mengurai senyum. Politisi bahkan petinggi negara masa lalu seperti Otto von Bismarck, apalagi Adolf Hitler, selalu tampil di depan publik dengan wajah serius, untuk tidak menyebut angker.

Anak zaman kelahiran sesudah Perang Dunia II seperti Ludwig Meyers memang tak mengalami masa silam yang mengutamakan disiplin dan kerja keras sebagai salah satu bentuk bakti dan rasa syukur kepada tanah air. Ludwig sedikit kaget ketika saya menggumam dalam lagu dengan menyenandungkan Treue Liebe. Pada lirik yang berbunyi: Was Ich bin und has Ich habe, Dank Ich dich mein Vaterland, Ludwig tersentak. “Bakti atau puja-puji pada mein Vaterland itulah yang turut membentuk kami kaya tekad disiplin dan kikir senyum saat bekerja,” ujarnya.

Namanya juga sedang bekerja, masak harus diinterupsi dengan tersenyum dan tertawa. Setelah membaca berita di Kompas edisi 13 Oktober 2004 halaman 12, saya makin mengerti kenapa orang Jerman jarang tersenyum kalau sedang bekerja. Berita tersebut mengatakan, bagi orang Jerman, tersenyum apalagi tertawa saat bekerja adalah tabu. Bercanda pada jam kerja dianggap cerminan kurangnya disiplin diri. “Di Jerman, menunjukkan kegembiraan dan tertawa sering dianggap sebagai hal negatif,” kata penulis dan konsultan perusahaan Thomas Holtenberg kepada Harian Bild.

Saya menahan diri untuk tidak tertawa ketika membaca ucapan Holtenberg yang berujar bahwa di Jerman, humor adalah hal yang tak bisa diterima di tempat kerja. Toh, saya sempat tersenyum seraya mengagumi Hotenberg, penulis buku Fuehrungsfaktor Humor (Kepemimpinan dengan Humor), yang aktif mengajari para manajer Jerman bagaimana caranya bercanda dan tertawa.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved